Oktober 26, 2013

Pertanyaanmu tentang cinta yang utuh

Bukankah kau ingin merasakan cinta yang utuh, Nona? kemari sebentar duduk di sampingku. Aku akan tunjukkan sebuah kisah cinta dengan lebih nyata. Tunggu sebentar, barangkali satu menit lagi. 

Atau beberapa menit lagi. Atau….

Ini sesuatu yang spesial. Aku rasa tidak mengapa kita lebih bersabar menunggu, demi mendapatkan potongan utuhnya. 

Oktober 24, 2013

Berbekas

“Sedang memperhatikan apa? Segitu seriusnya.”

cangkok
“Ternyata benar ya, sesuatu yang pernah terikat ketika pada waktunya dilepas akan meninggalkan bekas. Seperti cabang pohon yang dicangkok ini. Ada luka terkelupas di kulit dahan yang ditinggalkan calon pohon baru.”

“Haha... itu sudah jadi takdirnya. Tapi jangan berkecil hati dulu, ketika pohon baru dari cangkokan itu sudah tumbuh subur, mulai berbuah ranum, menjadi pohon yang rimbun. Kau sendiri yang nantinya akan tersenyum bahagia. Tunggu saja prosesnya, tidak akan lama lagi.”

“Buah dari keikhlasan ya. Dan hanya waktu yang berperan memperoses hasil baiknya.”

“Waktu yang berbaik hati mengajarkan tentang sebaik-baiknya melepaskan, menerima kenyataan. Tentang atau apapun itu.”

“Tapi jangan salah, tidak semuanya hasil cangkokan akan tumbuh baik sesuai harapan.”

“Tak mengapa, barangkali kita hanya sedang tidak beruntung saja. Selalu ada pelajaran baik setelahnya. Selagi masih memiliki hati yang lapang menerima.”

“Semoga saja demikian.” 

Oktober 23, 2013

PERIHAL KEPEDULIAN

“Menurutmu apa masih berguna kepedulian yang terus menerus dilakukan pada seseorang yang tidak pernah merasa meminta, bahkan ketika kepedulian itu tidak ia pedulikan?”

“Bukankah memangnya itu arti sebenarnya kepedulian? Peduli adalah peduli, sekalipun tidak pernah mendapat balasan yang setimpal. Meskipun tidak harus selalu lebih dulu dipinta. Peduli ya peduli tidak penting lagi kalau pada akhirnya kau sendiri tidak dipedulikan.”

“Tapi kenapa aku merasa lelah sendiri ketika ia tidak juga menjadi lebih baik keadaannya, ketika ia tetap keras kepala dengan masalah-masalah monoton yang sebenarnya ia bisa sudahi dengan segera.”

“Seharusnya ia merasa beruntung masih ada orang yang mau peduli kepadanya, memberi semangat, selalu sedia memberi saran dan menasehatinya. Bersyukur masih ada orang yang peduli melebihi kepeduliannya sendiri.”

“Ia terlalu keras kepala untuk menyadari itu. Dan aku terlanjur mengkhawatirkan keadaannya sekarang. Menambah beban pikiran.”

“Kalau mendengar cerita darimu, satu hal yang aku bisa tarik kesimpulan. Semua itu tidak lepas dari pilihan. Kepedulian ini bukan soal kewajiban yang kau pikul, kau tidak ada kewajiban untuk itu bukan? tapi tentang pilihan yang akan kau ambil. Kalau kau mau bebas dari beban pikiran yang hanya mengganggu konsentrasi dan menghambat perjalanan hidupmu sendiri, kau bisa meninggalkannya dan berhenti peduli kepadanya. Biarkan ia mengatasi semua persoalannya sendiri. Doakan saja semua akan pulih seperti sedia kala. Tapi jika kau memilih tetap ikut campur dengan urusan itu, selalu sedia memasang punggung untuk tempatnya bersandar, dengan resiko yang sudah kau tahu dan perhitungkan matang-matang. Dan yakin dengan itu semua keadaan akan jauh lebih baik. Tetaplah pelihara kepedulianmu itu.”

“Ia aku sudah sempat memikirkan hal itu. Tapi aku belum mengambil keputusan. Aku merasa lelah sekaligus tidak ingin melihat ia menyerah.”

“Nah, terlepas dengan pilihan yang akan kau ambil itu. Mulailah belajar untuk menikmati pilihan. Dan ingatlah selalu ada tanggung jawab yang menyertai pilihan itu. Kira-kira demikian.” 

Oktober 21, 2013

Tentang air hujan, tanah dan cinta

"Aku selalu jatuh cinta melihat air yang mengalir apa adanya." Katamu memecah nyanyian rintik-rintik hujan yang hampir mereda. Aku mengangguk, ikut memperhatikan aliran air hujan yang membawa ranting-ranting pohon dan beberapa plastik bekas minuman. 

"Bau tanah yang emmmm..... benar-benar aku rindukan." Terdengar beberapa kali kamu menarik napas lebih dalam demi menikmati sensasi semerbak wangi tanah sehabis hujan. Sambil memejamkan mata. Aku tersenyum melihat raut wajahmu yang sungguh-sungguh melakukannya, terlihat lucu dan begitu menggemaskan. Ya, ini hujan pertama semenjak musim panas yang cukup panjang.

"Menurutmu wujud tanah yang sebenarnya seperti apa?" Aku menuliskan kata tanah di salah satu jendela yang berembun, tidak jauh dari tempatku bersandar.

Seketika kamu menoleh, mengerutkan dahi mendengar pertanyaanku. Kamu menggeleng pelan, entah karena memang tidak tahu atau tidak begitu tertarik dengan percakapan ini dan lebih memilih menikmati suasana sehabis hujan. Aku mengusap belakang kepala.

"Bukannya tanah itu aslinya berupa bubuk-bubuk halus ya? seperti serbuk susu formula." Aku menjawab santai pertanyaanku dengan pertanyaan pancingan.

"Terus?" Nah kan nada tanggapanmu jadi lebih antusias.

"Coba saja kalau lagi musim kemarau, serbuk-serbuk tanah ikut beterbangan bersama angin yang berhembus. Menjadi debu." Aku memperhatikan raut wajahmu yang terlihat sedang ikut berpikir. "Kalau kamu mengaku selalu jatuh cinta dengan air yang mengalir apa adanya. Aku selalu salut dengan ketabahan tanah yang sedia diapakan saja. Ia bisa menjelma menjadi tanah yang gembur, keras hampir menyerupai lapukan batu, bahkan menjadi sepekat lumpur."

"Karena pengaruh serapan air."

"Tepat sekali. Tanah menjadi penadah setia air yang meresap. Dan aku lebih suka menyebut kandungan air itu dengan cinta." Kamu menatap wajahku dengan lebih serius. "Sekarang diibaratkan saja tanah itu adalah hati yang selalu siap sedia menyambut cinta. Dan selanjutnya kita akan paham nasib hati itu akan seperti apa. Tentu tergantung seberapa besar basuhan cinta yang meresap ke dalamnya." Aku mengangguk-angguk sendiri atas teoriku.

"Bisa jadi debu-debu yang beterbangan, lembut menyuburkan, menjadi begitu keras, bahkan sekelam nasib lumpur jika dibiarkan menampung berlebihan. Ummm.... perumpamaanmu masuk akal juga." Kamu tersenyum sambil ikut menuliskan kata cinta di samping tulisan tanahku yang hampir pudar.

"Bagaimanapun tanah adalah ladang yang sempurna untuk tempat pertumbuhan. Tempat yang tepat untuk berpijak, bahkan menjadi tempat akhir untuk kembali pulang. Tanah akan selalu butuh air, setia akan posisinya menyimpan air. Selalu tabah menanti basuhan air." Aku tersenyum penuh arti. Memandang bola matamu yang berbinar-binar.

"Dan hati akan selalu membutuhkan cinta." Kamu tersenyum lebih berseri.

Aku melukis setengah lingkaran menyerupai bentuk hati di bagian jendela lain yang berembun, dan kamu menyempurnakan belahannya. Hati.

Oktober 17, 2013

Azalia, Nantikanku Di Batas Waktu

Pernahkah kalian ketika hendak mengunjungi seseorang mendadak jadi mencemaskan banyak hal? memikirkan banyak polah dan tutur sapa yang diupayakan lebih berkesan. Belum lagi soal penampilan dan buah tangan apa yang sebaiknya perlu dibawa. Pernahkan sebegitu mendebarkannya pertemuan itu?

Ini kunjunganku yang kedua, dan nyaris satu jam sebelumnya perasaanku tidak karuan. Merasa ada saja hal yang kurang pas, sebentar-sebentar melirik laju jam, menghembuskan napas, kembali memeriksa segala hal yang sebenarnya sudah lebih dari siap dan rapi. Sungguh satu jam yang konyol dan menguras tenaga.

Oktober 11, 2013

Bergerak

Hembusan angin melambai-lambaikan daun kelapa yang menjuntai ke segala arah. Dua buah kelapa hijau sudah berhasil aku petik. Napasku masih tersenggal-senggal selepas memanjatnya tadi.

Aku mengerutkan dahi, membulatkan mata. Enak saja, aku sudah susah-susah memetik kelapa segar ini, ia masih asyik sendirian dengan lamunannya. Membiarkan satu mata pancing hanya berkedip-kedip. Aku rasa satu ekor sudah berhasil terkait kailnya.

Oktober 08, 2013

Aliran rasa


Biarkan ia mengalir sedemikian adanya.
Untuk membasuh, untuk menghidupi, untuk memberi kedamaian.

Aliran rasa

Oktober 07, 2013

Kasih sayang itu sederhana

Ayah yang mengajariku sujud

Ketika azan berkumandang, selepas wudhu. Seorang ayah sedang membantu anak laki-lakinya memakai sarung sedangkan sang ibu memakaikan peci putih di kepala anaknya.

Sungguh demi melihat itu, senyum ini merekah sempurna.
 

PANGGILAN-MU

Hujan yang merintik riang
Panggilan itu membelah gemuruh hujan yang menderas. Tak lama dari berbagai penjuru, laki-laki, pemuda, seorang ayah, orang tua sepuh menuju rumahNya.

Ada yang berjalan santai menedengkan rumbai payung. Ada yang belingsatan berlari memayungkan sarung menutupi rambut dan sebagian muka. Ada yang tidak berlari -tapi tidak juga bisa disebut sedang berjalan, dengan telapak tangan melindungi kepala. Ada yang berjinjit dengan menggulung celana sampai dengkul, berkecipak-cipak melewati genangan air.

Bergegas untuk satu tujuan. Berjamaah.

Sungguh aku yang tengah duduk di samping bedug, menunggu muazin menyelesaikan seruan panggilanNya, demi melihat itu semua berdecak syukur berkali-kali.


Oktober 02, 2013

BARANGKALI NANTI



Nona, boleh jadi nanti ketika kita sama-sama sedang memiliki waktu luang dan bingung untuk mengerjakan apa lagi. Kita akan melunasi waktu dengan membaca atau sekedar berbincang tentang kisah-kisah yang ada di dalamnya. Kisah yang pernah kita baca.

Barangkali demikian.

Hari tanpa tanda tanya (?)

Ada seseorang yang aku kenal, sejak pagi kembali ia bertekad untuk menciptakan satu hari tanpa tanda tanya, kalimat tanya ataupun yang berhubungan dengan pertanyaan. Ia mengaku jengah. Satu hari ini tidak ingin otaknya digerumuti oleh pikiran-pikiran yang rumit. Yang menuntut untuk mengeluarkan jawaban. 

Satu hari tanpa tanda tanya. Hari yang semua orang hanya akan mengeluarkan kalimat pernyataan.

Kantung kenangan

Bicara soal kantung kenangan, selalu saja ada hal-hal yang menarik dan membuat gatal hati. Apalagi kantungnya sudah menggelembung besar, menjadi balon udara yang kapan saja bisa pecah dan isinya berserakan ke mana-mana. Udara yang keluar dari kantong tersebut bisa membius siapa saja, mempengaruhi kinerja hati dan airmata. Kalau sudah begitu, rusak sudah semua suasana hati yang ada.


Oktober 01, 2013

Nasib baik yang menuntun

Yang selalu perlu diingat, bahwa tidak semua upaya pencarian akan mulus menemukan. Pun demikian tidak semua perjalanan yang direncanakan akan sampai pada tujuan. Kadang kala ada takdir yang membelokkan semua itu. Bahkan sesekali kita menemukan sesuatu yang baru, di luar apa yang dicari. Sesekali kita sampai pada tempat baru, di luar apa yang menjadi tujuan. 

Boleh jadi itu adalah nasib baik dari apa yang kita usahakan. Jawaban alternatif dari apa yang selama ini dicari. Pengganti yang lebih baik dari apa yang diinginkan. Boleh jadi semua itu adalah bagian dari kebutuhan. Selagi pandai mensyukurinya. Selagi tabah menerima ujiannya.

Dan akan selalu perlu untuk mensyukurinya.

Bukankah banyak para pencari dan pejalan yang hanya mendapatkan kesia-siaan?


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Perkara (urusan) orang mu`min mengagumkan , sesungguhnya semua perihalnya adalah baik dan itu tidak dimiliki seorang pun selain orang mu`min, bila tertimpa kesenangan, ia bersyukur dan syukur itu baik baginya dan bila tertimpa musibah, ia bersabar dan sabar itu baik baginya.
(Shahih Muslim 2999-64)