Haloo selamat pagi semuanya. Sudah sarapan apa hari ini? saya sedang
menyantap goreng ubi dan segelas teh hangat. Bagaimana dengan yang di
sana? Sepanjang pagi ini saya sudah duduk manis di depan monitor. Siap
melanjutkan misi berikutnya. Hari ini tidak langsung terjun kelapangan.
Dari ruang kerja saja. Sebab saya juga perlu menyiapkan review untuk di
evaluasi besok.
Ada kabar baik nih, sistem di komputer
‘agak’ canggih saya menemukan dua titik yang sedang berdekatan. Setelah
ditinjau lebih detail ternyata Fa dan Ra’ sedang bersama sepagian ini.
Mantaaap. Mari kita lihat akan seperti apa cerita yang kita dapat hari
ini.
“Sedang apa Kak?” Ra’ menghampiri Fa yang sedang
sibuk dengan skop kecil, pupuk kandang dan polybag. Sepagian ini Fa
sudah berkutat dengan tanaman-tanaman apotik hidup. Ada beberapa tunas
kunyit yang perlu dipindahkan ke tempat yang lebih besar.
“Boleh aku mengganggumu sebentar?”
Fa
menoleh. “Hei kamu Ra’. Tumben main-main ke sini. Lagi nggak meliput?”
Fa memeriksa tangan Ra’. Memastikan tidak ada alat perekam dan
sebagainya. Fa tahu, biasanya sabtu pagi memang jadwal Ra’ untuk mencari
bahan tulisannya. Untuk buletin mading hari senin.
Ra’ tertawa kecil. “Tenang Kak, aku hanya ingin mengobrol saja.”
“Waaah
ada apa nih? Pagi-pagi sudah serius sekali.” Fa mengusap keringat di
dahi. Membetulkan posisi kacamatanya. “Mengobrol tentang apa adik manis?
Nggak keberatan kan kalau tangan ini sambil tetap bekerja?"
Ra’ tertawa. “Tentu saja Kak. Sekalian sini apa yang bisa aku bantu?” Ra’ menawarkan diri.
“Baiklah
kalau begitu. Tolong bawakan cangkul itu ya. Sepertinya kita perlu
tambahan tanah lagi.” Fa menenteng dua ember besar berisi pupuk kandang.
Ra’ mengangguk, mengikuti langkah kakaknya ke bagian belakang pekarangan apotik hidup.
“Aku mau tanya, apa sih alasan Kakak berhijab dan berpenampilan selayaknya muslimah yang baik?” Ra’ memulai pertanyaannya.
Fa
menoleh sebentar. “Kakak bukan lagi sedang di wawancarai kan?” Fa
menggoda lagi. Ra’ ikut tertawa, “Kamu berlebihan Ra’. Aku belum sebaik
yang kamu kira. Bukankah kamu sendiri sudah berjilbab sayang? Alasanmu
sendiri apa?”
“Aku kan baru tahap belajar, Kak. Belajar
menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Termasuk dalam berpakaian. Dan
Kakak bisa lihat sendiri, aku masih saja lebih sering memakai celana
jeans ke mana-mana, dibanding rok. Lebih lama Kakak istiqomahnya.” Ra’
mengaduk-aduk pupuk kandang dengan tanah hasil cangkulan kakaknya.
“Subhanallah,
niat yang baik. Pertahankan niat itu, sayang. Insya Allah
kebaikan-kebaikan berikutnya akan ikut serta dalam keseharianmu.”
“Sebagai
seorang muslim. Ibadah kita kan masih banyak yang berdasarkan
ikut-ikutan, Kak. Misalnya dalam takbiratul ihram ketika shalat. Aku
yakin orang-orang shalat dengan di awali Takbir semata-mata karena
mengikuti contoh yang sudah ada. Atas didikan orang tua. Kalau shalat
harus begini harus begitu. Kata Guru ngaji dan sebagainya. Bukan karena
tahu dalilnya, mengerti landasannya. Lebih sedikit orang yang paham atau
pernah mendengar/membaca hadist yang menerangkan kalau Rasulullah
memang melakukan Takbiratul ihram ketika memulai shalat.” Obrolan mereka
semakin serius dan menarik. Dengan tangan tetap bekerja.
“Iya
kamu benar.” Fa’ menghentikan sejenak pekerjaanya. “Kebanyakan kita
tumbuh menjadi muslim yang mengikuti, bukan muslim yang mencari.”
“Nah,
sekarang kembali lagi ke soal hijab, Kak. Aku takut berjilbab ini juga
karena faktor ikut-ikutan. Atau bahkan suruhan orang tua. Dan nggak tahu
sebenarnya apa yang mendasari niat kita untuk berjilbab. Makanya aku
ingin tahu alasan Kakak berhijab apa?” Ra’ tersenyum.
“Seperti
yang kamu bilang tadi Ra’, awalnya kakak memakai kerudung hanya karena
terbiasa dari kecil. Kebiasaan orang tua kakak yang memakaikan penutup
kepala sejak bayi. Hanya sebatas itu. Tapi beberapa tahun lalu kakak
mulai berpikir, persis bertanya pada diri sendiri dengan pertanyaan yang
sama sepertimu.”
Lengang sejenak.
“Ternyata
sebagai muslimah, bukan sekedar berkewajiban menutup aurat dengan
berhijab. Tapi ada yang memang seharusnya dijaga. Sesuatu yang lebih
besar dampaknya. Fitnah dunia, Ra’. Kakak nggak ingin menjadi salah satu
perempuan yang menjadi fitnah dunia. Perempuan yang pada akhirnya akan
menyicipi jilatan api neraka karena nggak pandai menjaga dirinya,
perbuatannya, tutur katanya dan juga dalam berpenampilan
sehari-harinya.”
Ra’ terdiam lama.
“Bergetar
hati kakak waktu itu, Ra’. Ketika mendengar penghuni neraka lebih
banyak dari kaum kita. Lebih banyak perempuannya. Kakak takut sekali.
Semenjak itulah kakak mengerti hijab bukanlah sekedar kewajiban. Tapi
kebutuhan. Ada hal yang memang seharusnya dijaga. Yang jika dibiarkan
akan menimbulkan fitnah yang lebih besar.” Fa menghela napas sejenak.
“Masya Allah. Aku ikut merinding mendengar penjelasanmu, Kak.”
“Ada
satu lagi alasan pribadi Kakak, Ra’. Sebagai seorang perempuan,
tentunya kakak ingin mendapat calon imam yang baik. Ia yang pandai
menjaga pandangannya. Untuk itu kakak belajar istiqomah berhijab, dengan
menjaga hak yang akan ia terima dari kakak kalau sudah menjadi
istrinya. Tentu kamu mengerti maksud kakak.”
“Subhanallah.
Aku memang nggak salah memilih tempat bertanya.” Ra’ memeluk Fa seakan
lupa tangannya sedang blepotan dengan tanah. “Terima kasih, Kak. Aku
ingin sekali belajar lebih banyak lagi darimu.”
“Adu duh... pekerjaan kita masih banyak, Dek.”
“Ups!”
Ra’ terkekeh. “Uraian dari Kakak tadi boleh nggak jadi bahasan mading
hari senin?” Ra’ menyeringai memamerkan gigi gingsulnya yang tumbuh satu
di bagian atas. Bukan masalah besar untuk seorang Ra’ merangkum
obrolannya sejak tadi. Ia perempuan berpredikat sebagai pengingat yang
baik. Tidak perlu alat rekam.
“Eh?” Fa melotot. Memperbaiki letak kacamatanya.
“Haha...
bercanda, Kak. Buletin untuk senin sudah beres kok.” Ra’ mencuci
tangannya. Pekerjaan mereka sudah selesai. “Kak, satu pertanyaan lagi
deh. Bagaimana caranya membiasakan diri memakai rok?”
“Haduuuh
pertanyaanmu aneh sekali Ra’. Kakak kan memang dari kecil sudah biasa
memakai rok. Seharusnya kakak yang bertanya bagaimana rasanya memakai
celana seharian?”
Keduanya tertawa.
“Buat
dirimu senyaman mungkin, Dek. Dengan menjadi diri sendiri. Yang penting
tahu batasan-batasan yang seharusnya dijaga. Dan bertanggung jawab
dengan apa yang sudah kita pilih. Kakak rasa itu yang lebih penting.”
“Siiip.
Terima kasih Kak untuk pelajaran hari ini. Aku pergi dulu ya. Ada yang
harus aku kerjakan.” Ra’ menyodorkan secarik kertas. Sebuah ilustrasi
gambar seorang Fa dengan jejeran tanaman apotik hidupnya.
“Ra’, Ra’ sejak kapan coba dia menggambar ini?” Fa tersenyum. Punggung Ra’ sudah semakin jauh.
Syukurlah
liputan hari ini lancar-lancar saja. Yup file cerita mereka bisa
menambah rating review saya besok di markas. Untung saja sepagian ini
mereka memakai bros kupu-kupu yang sama. Jadi rekamannya tidak mengalami
hambatan seperti yang sudah-sudah. Beberapa pekan lalu mereka
membelinya. Tentu saja itu saya yang menyamar menjadi pedagang bros di
depan kampus. Waktu ada acara bedah buku. Salah satu alat pendeteksi
keberadaan mereka. Ah menyenangkan sekali menjadi agen rahasia ini.
Bisa menyamar menjadi apa saja. Lumayan kan kalau saya sudah pensiun
bisa membuka banyak wirausaha. Bhahaha....
Baiklah sampai di sini dulu. Sampai jumpa di kisah selanjutnya.

Saya sendiri berhijab karena ikut2an pada awalnya, karena lulus di kuliah negeri sebagai tanda syukur.. Buka tutup sih, hijabnya.. Tapi semakin ke sini semakin paham pentingnya hijab dan akhirnya setahun kemudian sy pun menutup sepenuhnya meskipun tanpa cadar.. Salam silaturahmi :)
BalasHapusAlhamdulillah mudah-mudahan selalu istiqomah ya :)
Hapus