Oktober 19, 2012

Ketika Malaikat Maut Bertamu Ke Istanaku


141012 21.00

“Tidur dek udah malam.”

“A, ikan layang-layangnya suka naik turun ikutin tangan Afiq. Nih... tuh.” Sambil memperlihatkan pertunjukan yang menggemaskan itu. Ya anak kecil memang selalu polos, ada saja tingkah lakunya yang menggelitik.  “Tapi yang koki itu diam aja A.” Satu ekor koki mutiara memang sedang diam didasar akuarium tapi siripnya masih saja berenang.

“Lagi tidur kali. Udah sana kamu juga tidur.”

“Yang layang-layang nggak tidur A.”

“Nanti waktu Afiq tidur, si layang-layang juga tidur.” Jawabku sekenanya. Meskipun aku juga masih sangsi, apa ia ikan tidur? Bukannya mereka nggak punya kelopak mata? Ah pasti tidur dong, sewaktu kecil saja ketika diajak bapak ke empang malam-malam, selalu saja ada ikan yang menepi sedang diam, tak banyak bergerak. Dan keisenganku pun mulai bereaksi, tunggang langgang ikan itu terbirit karena kaget ketika aku sentuh. Hahaha... kenangan yang manis dan jahil. 

***
151012 03.00

Senat-senut seakan aliran darah di kepala ini menggumpal di satu titik. Tidak nyaman sekali harus terbangun dengan keadaan seperti itu. Mata kunang-kunang menyisir jalan ke arah dapur untuk mengambil segelas air putih, dan wudhu. Semoga saja karena itu akan segera hilang rasa sakitnya. Alhamdulillah, satu napas kehidupan sudah aku miliki. Satu kesempatan untuk memperbaiki diri sudah kudapati. Sepertinya hanya rasa syukur yang bisa menjajarkan nikmat itu semua. Dalam balutan kesunyian sepertiga malam, meraih kerinduan. Terpekur di kesendirian.

Satu jam berlalu, lantunan kidung Qur’an sudah menggema dari Masjid dekat rumah. Bersyukur masih ada orang tua yang bangun sedini itu menyempatkan diri untuk mengiramakan suasana fajar, Masya Allah. Meskipun dengan suara yang sudah sayup-sayup di makan usia. Tapi itu sudah membuktikan bahwa ada yang lebih baik daripada sekedar tidur. Ya satu langkahku tertinggal yang masih belum bisa aku sejajari, aku berdoa semoga orang tua itu di berkahi sisa umurnya dengan Al-Qur’an yang sudah di dawamnya. Jasanya lah membangunkan semua yang terlelap agar segera terjaga. Sepertinya sebentar lagi azan subuhpun akan menggema.

Tiba-tiba mataku terbelalak melihat enam ekor ikan sedang tertidur pulas di dasar (Apa mungkin tertidur? Tapi mereka terdiam, jadi anggap saja begitu.) sekonyong-konyong aku memanggil bapak yang sedang menggunakan koko dan kain sarung.

“Pak lihat ikannya lagi pada tidur.” Aku mengarahkan pandangan mata bapak dengan jari telunjukku, layaknya anak kecil yang baru menemukan hal yang baru.

“Oh iya.” Seketika saja aku melihat si bapak seperti anak kecil juga, ups! “Pantas saja ya kalau di empang suka pada diam dipinggir tapi kalau di colek langsung kabur.” Sayangnya sedini ini Syafiq belum terjaga untukku beri tahu. Tak apalah ada yang sudah memanggil telingaku, Azan sudah berkumandang. Dan kini kedua anak kecil itu menyusuri malam menuju panggilan Tuhan, yang telah menghidupkan kami setelah mematikan.

08.00

“Aa nggak kerja?” Ketika waktu matahari terbit aku masih saja belum berangkat.

“Nggak. Tuh lihat Dek ikannya masih pada tidur.” Sepertinya gumpalan darah dikepala belum juga mau terurai, nggak memungkinkan untuk mengendarai motor selama satu jam. Bisa saja nekat, ah tapi tidak ada salahnya satu hari istirahat. Hoho...

“Oh iyaa. Kasih makan A. Aa libur?”

“Ya nggak bisa atuh Dek, kan masih pada tidur. Iya A libur, mandi sana.” Aku mengusap lembut kepalanya, sambil mengetik sms untuk meminta izin tidak masuk hari ini. Lalu menyalakan laptop untuk meneruskan tulisan, berharap semoga saja rasa sakit itu mereda (Memang cara yang aneh, tapi kalau hanya diam saja tidak memikirkan apa-apa justru menambah sakit. Aneh ya? Biarlah.) Tapi tidak lama malah tertidur.

10.00

“A ikannya masih pada tidur.”

“Oh iya.” Tapi kok sepertinya ada yang nggak beres, apa iya ikan selama itu tidurnya? Mungkin saja kali, toh biasanya aku ke kantor jadi nggak tahu aktivitas ikan-ikan itu selama seharian. Lagi pula sirip-sirip mereka masih bergerak-gerak. Tapi nggak selang lama satu ekor ikan koki mutiara menyembul ke permukaan.

“Yah Dek si kokinya mati satu.” Aku memastikan lima ikan yang lain. Masih berpindah tempat ketika di ganggu. Berarti memang satu yang mati. Aku menghela napas panjang. Berarti memang ada yang nggak beres dengan keadaan mereka, bukan hanya semata-mata sedang tertidur. Aduh bodoh sekali.

“Kok mati A. Kenapa mati?”

“Mungkin syurganya sudah merindukan dia Dek.”

“Iya A? Syurganya di mana?” Aduh harus cari jawaban lagi nih ‘tepok jidat’. Tapi dasar anak kecil, temannya datang saja sudah lupa sama pertanyaannya barusan.

“Push-push.” Aku memberikan jenazah ikan itu kepada seekor kucing yang melintas. Sekejab tubuh mungil itu lenyap tak tersisa, mungkin itu memang sudah rezekinya. Setidaknya aku sudah menemukan jawaban kalau si Syafiq bertanya lagi. Syurga si koki sementara di dalam perut si mpus hahaha...

Masya Allah rupanya hari ini malaikat maut memang sedang bertamu ke istana kami. Satu jam kemudian menyusul dua ekor yang mengambang ke permukaan, meyisakan tiga ekor yang masih bergerak-gerak di dasar tapi seakan tak bergairah. Entah apa yang salah dengan keadaan akuarium itu, airnya kah yang tidak bersahabat (Tapi nggak bau dan penyaringan kotoran berjalan baik.) makanan? Aku rasa cukup dan tidak berlebihan. Atau ikannya yang sakit? Ah kemarin-kemarin semua nampak sehat dan lincah. Ya apapun itu yang pasti itu memang sudah takdir hidup mereka. Satu pelajaran berharga, seakan aku diingatkan kembali bahwa kematian memang sangat misterius, dan malaikat pencabut nyawa teramat sangat dekat. Seakan sosoknya selalu berseru : “Perbaharui syahadatmu... perbaharui syahadatmu. Jangan terlena... tetap waspada.” Masya Allah, rasa bersyukur masih diberikan kesempatan hidup untuk memperbaiki diri.

071012 07.00

Gemericik air mulai terdengar lagi di sudut ruang ini, membangunkan 'sepi' yang lama mati suri. Mungkin nanti malam akan ada teman kecil yang menari-nari, melenggokkan ekornya mengelilingi gemericik air ini. Aquarium selamat datang kembali.

081012 20.00

Selamat datang cantik di rumah barumu. Berenanglah yang bebas, menarikan ekormu dengan senyuman menyeringai, tertawakan aku yang lama terpekur dalam kesendirian malam.

Selamat malam cantik, biar saja mata cicak itu mendelik, menatap culas, mengeryitkan dahi ketika melihat aku memandang lurus ke arahmu, tanpa jemu. Setidaknya malam ini cicak itu tahu, sudah ada empat penghuni baru kamar sunyi ini. Kalian semua ikan kokiku.

*Yang pasti akan selalu ada yang tersirat meskipun tidak sedang tersurat, meskipun mungkin tidak kita sadari.

10 komentar:

  1. baru nengok, belum sempat baca. ntar malam Insya Allah saya baca. soalnya crowded nih jam segini malah dapet kerjaan, hehe

    BalasHapus
  2. X_X keren kata-katanya.
    Dan makasih banget buat pengingatnya tentang kematian :).

    hayoo kenapa tuh ikan ikannya. abis dibuat mainan sama tom & jerry mungkin :D

    BalasHapus
  3. Ngintip dulu...
    selalu tertegun baca fiksi2mu Zy... pemilihan katanya itu loh.

    BalasHapus
  4. aku juga punya koki hitam 2 ekor gendut sekali :)
    keep bloging bang , dari dulu aku suka sama tulisanmu :)

    BalasHapus
  5. masya Allah abang fauzi sellau bikin saya terkejut dgn tulisannya bagus bgd. Gak muji emang nyata, kata2nya ngalir asyik bgd, Jadi berasa Guruku nomor 2 hihihi....

    duh, cara menceritakannya SMART

    BalasHapus
  6. eh nyasar kemari...
    saya suka templatenya....:D
    dan tulisan ditas saya sangat suka bagian akhir 081012 20.00

    BalasHapus
  7. gua suka dengan analogi "kok mati kak" ..... terus dijawab "karna surga udah merindukan dia" keren banget

    BalasHapus
  8. langsung terngiang2 kalo malaikat maut menghampiri saya sambil berbisik "Perbarui syahadatmu, perbarui syahadatmu"

    *merinding*

    BalasHapus
  9. kirain kisah nyata om, serem juga

    BalasHapus

Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)