Februari 23, 2014

CERURY: Sepuluh Tahun yang manis



Sudah sepuluh tahun aku bersahabat dengannya, masih tidak percaya jalinan itu diikat dengan hal yang lebih serius. Pernikahan. 

Aku dan Ra’ sudah bersahabat sejak zaman SMP. Tidak ada yang terlalu spesial dengan kisah persahabatan kami. Sekedar dua anak remaja yang suka tukar-tukaran mengerjakan PR di sekolah. Aku lemah di pelajaran IPA dan ia tidak terlalu suka pelajaran bahasa. Bisa dibilang awal terbentuk persahabatan itu tidak benar-benar tulus, ada kepentingan terselubung di sana.

Hampir setiap minggu aku main ke rumahnya untuk menukar lembar jawaban tugas sekolah. Dan kebiasaan itu terus berlanjut hingga kami sama-sama sudah kuliah di kampus berbeda. Meski bukan lagi karena tugas sekolah. Aku memang senang kerumahnya, orang tua Ra’ sangat menyenangkan. Ditambah masakan ibunya yang sayang sekali kalau dilewatkan.

Aku dan Ra’ memiliki sifat seperti bumi dan langit. Banyak sekali perbedaan di antara kami. Satu hal yang mungkin sama payahnya, kami sama-sama memiliki rahasia ‘diam-diam sedang menyukai seseorang’. Ya, kami termasuk golongan screat admirer, si penatap punggung seseorang. Ra’ mengaku sedang diam-diam menyukai teman kampusnya. Aku pun sedang tertarik dengan salah satu teman perempuannya Ra’. Sedangkan di antara kami berdua tidak pernah menyinggung soal cinta. Kami murni hanya bersahabat.

Sampai pada malam itu, aku ingat sekali jam delapan. Aku mengantar Ra’ pulang. Kami baru dari resepsi pernikahan salah satu sahabat Ra’. Dan ketika hendak pamit pulang, tiba-tiba ayah Ra’ menanyakan sesuatu yang membuatku terkejut.

“Kalian berdua kapan mau menikah?”

Aku dan Ra’ reflek saling pandang-pandangan. Aku mengerutkan dahi, sedangkan Ra’ langsung tertunduk. Malam itu untuk pertama kalinya aku memikirkan ulang ikatan persahabatan ini. Merenungkan apa perasaanku sebenarnya kepada Ra’.

Malam itu, 10 jam ke depan aku menimang-nimang hati ini. Dan pukul enam pagi akhirnya memutuskan sesuatu. Aku memberanikan diri melamarnya.

Melamar sahabat yang aku kenal 10 tahun lalu bernama Ra’.
***

Sepuluh hari berlalu setelah akad pernikahan, aku masih tidak percaya pada akhirnya kami mengisi hari-hari di bawah atap yang sama. Tidak ada yang berubah dengannya.Tidak ada yang berubah dari kami. Kami masih menjunjung tinggi perbedaan sifat-sikap masing-masing. Termasuk soal selera. Meskipun kami tahu harus sama-sama belajar beradaptasi, mencoba melebur perbedaan itu agar tetap seimbang pada tempatnya. Tanpa menghilangkan kenyamanan masing-masing dengan tetap menjadi diri sendiri.

Contoh sederhananya. Ra’ penggemar masakan pedas, tapi tidak terlalu suka dengan yang manis-manis. Sedangkan aku tidak pernah bisa memakan yang pedas dan paling suka dengan makanan manis. Ra’ pandai sekali menyikapi hal ini, ketika memasak ia selalu membagi dua bumbu yang berbeda. Sesuai dengan selera lidah kami masing-masing. Katanya, biarpun selera lidah kita berbeda, tapi lauknya tetap bisa sama. Dan aku mengacungi jempol bangga atas idenya itu.

Itulah kisahku dengan sahabatku Ra’ Dan aku mencintainya se jelas ujung lidah mengecap rasa manis.
  

Februari 16, 2014

CERURY: Sembilan point si manusia kaku



Banyak yang menjuluki ia adalah manusia kaku. Manusia yang direpotkan oleh peraturan yang dibuatnya sendiri. Meskipun perlu juga diakui ia adalah manusia yang perjalanan hidupnya terencana dengan baik. Lebih baik dari siapapun.

Aku salah satu orang yang mengenalnya dengan jauh lebih baik, bukan dari sisi yang menjulukinya kaku. Tapi dari sisi yang pergerakannya selalu terencana. Aku tahu salah satu kebiasaanya, ia selalu menyempatkan diri menulis point-point penting yang akan ia kerjakan besok, sebelum tidur. Baginya itu adalah jadwal kedisiplinan bukan sekedar oretan pengingat.

Secara garis besarnya, ia harus sudah tidur pada jam sekian-sekian. Harus bangun tepat waktu di jam sekian-sekian. Lalu harus mengerjakan ini-itu sampai jam sekian-sekian. Bla bla bla sampai catatan pada malam hari ini tercontreng sempurna. Itulah kebiasaan uniknya. Itu untuk jangka waktu yang pendek. 24 jam. Lain hal kalau menyangkut rencana seminggu ke depan, sebulan ke depan, se tahun ke depan. Harus mencapai ini di usia segini, harus sudah punya ini ketika usia beranjak sekian. Catatan itu lengkap tersimpan di file pribadinya.

Sejauh ini ia mengaku kebiasaannya itu sangat membantu ia mencapai apa yang sudah menjadi targetnya. Minimal mengurangi intensitas kegagalan. Sebagai alarm untuk dirinya sendiri. Meskipun ya itu, ia menjadi pribadi yang kaku. Seolah ada yang mengawasi dan memarahi jika ia sampai ia terlambat melakukan aktivitas berikutnya.

Pernah kami janjian makan malam bersama di luar kantor. Ada sekitar lima orang teman lain yang ikut. Malam itu kebetulan ada yang baru promosi jabatan. Hingga ia yang ditodong untuk mentraktir kita-kita. Setelah makan kami tidak langsung pulang, mengobrol-bergurau sampai tidak ingat waktu. Tiba-tiba si temanku yang kaku itu berdiri pamit duluan. Katanya dia harus bergegas pulang karena sudah terlambat lima belas menit untuk tidur. Kami semua menggelengkan kepala, sampai segitunya. Meskipun mau tidak mau menganggukkan kepala. Setuju ia pulang duluan.

Di hari minggu tidak terlalu padat aktivitasnya. Semalam ia sudah menulis sembilan point yang akan ia kerjakan/temui/kunjungi hari ini. Start jam enam teng, finish jam sembilan malam. Salah satunya, ia sudah janjian akan ketemu sahabat lamanya di salah satu kafe jam sembilan pagi. Itu point ke tiga yang harus ia selesaikan hari ini. Berarti masih sisa enam point kegiatan yang menanti.

Jam sembilan kurang sepuluh menit ia sudah sampai di kafe yang sudah ditentukan. Sengaja datang lebih awal, ia harus menyelesaikan tulisannya lebih dulu sebelum bertemu dengan sahabatnya itu. Ya di sela-sela waktu senggang ia memang berusaha menyempatkan waktu untuk menulis.

Pukul sembilan lewat lima belas, yang ditunggu belum juga muncul. Mungkin macet, ia berasumsi sembali menyeruput es teh manis yang tinggal setengah gelas. Kembali ia menekuri tulisannya.

Malang bukan kepalang. Si manusia kaku ini memang lihai mengatur waktu harus ini itu dan sebagainya. Tapi tetap saja ia juga memiliki kelemahan. Salah satunya rasa kecewa. Sudah satu jam berlalu dari jadwal yang ditentukan, sahabatnya yang ditunggu tidak kunjung datang. Padahal ia sudah memiliki harapan besar untuk pertemuan hari ini. Dan selanjutnya bisa ditebak, dengan tidak jadinya pertemuan itu, dengan rasa kecewa yang baru saja terbentuk di hatinya. Jadwal enam point ke depan sudah pasti berantakan. Ia sudah tidak selera untuk melanjutkan aktivitasnya. Memilih pulang dan tidur seharian.


CERURY: Delapan angka yang lemah

Angka Delapan

Banyak yang memfilosofikan angka delapan sebagai angka yang istimewa. Kata mereka, delapan terbentuk dari dua angka nol yang ditumpuk dan garisnya tidak terputus. Bentuk angka yang paling sempurna. Itu anggapan mereka. Bahkan ada yang beranggapan delapan adalah bentuk cinta yang awet. Cinta yang tidak akan terpisah.

Tapi lain bagiku, angka delapan adalah bentuk kelemahan itu sendiri. Itu jika dianalogikan dengan sifat manusia. Manusia yang cenderung memiliki sifat susah lepas dari kebiasaan buruk. Atau manusia yang selalu melakukan kesalahan yang sama secara berulang-ulang, meskipun ia teramat sadar kalau yang ia lakukan adalah salah. Yang ia lakukan merusak diri sendiri.


Manusia yang sebenarnya ingin berubah menjadi lebih baik, tapi ia selalu terperosok ke lubang yang sama. Manusia yang hanya skak di tempat, tidak bisa beranjak ke mana-mana.

Delapan Februari kemarin aku sengaja mengunjungi toko buku yang berada di kota depok. Daerah Margonda Raya. Tidak, aku tidak akan bercerita suasana toko buku, atau buku apa saja yang terbaru di sana. Aku akan bercerita sedikit pelajaran yang aku peroleh pada hari itu. Tentang hal yang berkaitan dengan sifat angka delapan pada manusia di atas.

Untuk ke toko buku aku harus menyebrangi jembatan penyebrangan. Baru menginjak tiga anak tangga pertama pun pemandangannya sudah tidak asing. Para pengemis dengan latar belakang usia yang beragam. Lebih di domisili oleh ibu-ibu paruh baya memakai kerudung sambil menyampirkan kain di pundaknya. Juga nenek-nenek lansia yang seharusnya layak dirawat oleh anak cucunya.

Sejujurnya aku sudah tidak tertarik memberikan uang kepada mereka. Itu bentuk kepedulianku dengan tidak memanjakan mereka. Mengurangi ketergantungan mereka atas pemberian orang lain. Jadi aku lengang saja melewati mereka.

Hingga akan menuruni anak tangga, aku melihat pemandangan tidak biasa itu. Dan langkahku tertahan cukup lama di sana. Ada seorang kakek yang menghampiri salah satu nenek pengemis itu. Kakek itu penjual emping. Ia sengaja benar berhenti hanya untuk memberikan plastik berisi makanan kepada nenek pengemis tadi.

Inilah salah satu kebiasaan burukku, di beberapa keadaan yang menarik perhatianku, aku cenderung ingin tahu urusan orang lain. Untuk itu, ketika ada kesempatan, ketika jarakku dengan jembatan penyebrangan sudah cukup jauh. Aku menghampiri kakek penjual emping tadi. Basa-basi bertanya harga dagangannya. Harganya empat ribu satu kantung plastik. Dan aku membeli dua bungkus.

"Abah kenal dengan nenek yang dijembatan penyebrangan tadi?" Mulutku sudah tidak bisa ditahan untuk bertanya.

"Ooh nenek tadi." Sambil menyiapkan pesananku. "Dulu dia teman mengemis saya, bertahun-tahun di jembatan tadi."

Aku mengerutkan dahi, sedikit terkejut.

"Suatu hari saya mendengar nasihat seorang ustadz, kalau manusia jangan sampai rugi di dunia dan akhirat. Sudah di dunia miskin, di akhirat bangkrut. Dan jangan merendahkan harga diri dengan meminta belas kasihan orang lain. Jadi delapan ribu aja." Aku menukar uang sepuluh ribu dengan dua kantung plastik berisi emping.

"Semenjak itulah saya berhenti mengemis, saya kasihan melihat nenek tadi. Bertahun-tahun masih aja jadi pengemis. Nggak berubah nasibnya."

Aku mengangguk sembari mengambil uang kembalian.

Februari 07, 2014

CERURY: Tujuh Kebutuhan



“Jika sudah lima yang kau tunaikan, tambahkan dua.”

Begitu nasihat ibuku jika aku hendak kembali merantau. Sejak kecil aku memang sudah terbiasa jauh dari orang tua. Ngekost di kota lain di luar tempat kelahiranku. Aku suka berpetualang mencari tempat baru, suasana dan segala macam pengalaman yang membuatku antusias. Karena itulah aku memilih sekolah jauh dari rumah sejak sekolah dasar. Dan sejauh ini orang tuaku tidak keberatan. Mereka percaya aku bisa jaga diri.

Aku mengangguk, menyelesaikan tali sepatu kemudian menghampiri ibuku untuk mengecup telapak tangannya. Kelopak matanya basah. Selalu begitu jika aku sudah harus berpamitan lagi.

Ibu tidak menasihatiku macam-macam, seperti jaga pergaulan, cari teman dan lingkungan yang baik dan sebagainya. Pesan ibu hanya kalimat sederhana, “Jika sudah lima yang kau tunaikan, tambahkan dua. Biasakan tujuh itu jadi kebutuhanmu sehari-hari.”

Ya, sederhana ibu hanya mengingatkanku untuk selalu menjaga shalat lima waktu di manapun aku berada. Dan berpesan agar aku selalu menyempatkan waktu untuk menambah dua hal lagi. Tahajud di sepertiga malam dan Dhuha ketika matahari mulai naik tujuh hasta sejak terbitnya. Itulah tujuh waktu yang awalnya seperti kewajiban rutin yang harus aku lakukan tiap harinya, dan lama-lama menjadi kebutuhanku sendiri. Seperti kata ibu.

Sewaktu umurku masih lima tahun aku pernah menanyakan alasannya. Kenapa kita harus shalat, kenapa harus bangun sebelum shubuh. Ibuku menjelaskan, sembari memakaikan seragam sekolahku. Ibuku paham, jika aku harus mengerjakan sesuatu, aku harus tahu lebih dulu alasannya. Katanya,

“Jika kamu sudah besar nanti, kelak kamu akan paham kalau shalat itu bukan sekedar rutinitas seorang muslim. Shalat adalah cara seorang hamba bersyukur dan meminta perlindungan Allah.” Ujar ibuku sembari mengancingkan bajuku.

“Misalnya shalat shubuh, kenapa kita harus buru-buru bangun pagi-pagi sekali yang bahkan matahari pun belum terbit untuk menunaikan shalat dua rakaat. Itu cara kita menyiapkan diri, jiwa dan raga untuk menghadapi kehidupan satu hari ke depan. Karena kita tidak tahu akan ada apa saja selama dua puluh empat jam ke depan. Bayangkan kalau orang bangun tidur langsung kerja, beraktivitas. Pasti rasanya malas sekali. Tapi dengan kita shalat pikiran kita akan lebih segar, raga kita akan lebih siap. Pagi-pagi sekali kita sudah terbasuh air, menghirup udara segar. Berkonsentrasi untuk sepenuh jiwa menghadapNya. Berdoa untuk meminta kemudahan. Insya Allah kalau kita melakukan shalat shubuh secara teratur –tidak kesiangan terus. Langkah kita akan lebih ringan, karena sudah sadar sepenuhnya. Sadar dari kematian sementara yang kita kenal dengan tidur, sadar bahwa kita sudah diberi kesempatan kembali hidup. Kamu ingat doa bangun tidur kan? Sering baca terjemahnya juga kan?”

Aku mengangguk, sambil kedua lenganku berpegangan pundak ibu karena harus mengangkat kaki kiri untuk memakai celana.

“Seperti itu juga empat shalat wajib lainnya, masing-masing memiliki manfaat bagi yang mengerjakannya. Pengetahuan kita saja yang masih terbatas. Kalau sudah besar kamu nanti jauh lebih paham dari ibu.”

Sampai usiaku sembilan tahun, aku hanya mengerjakan shalat lima waktu. Belum terlalu diperkenalkan dua shalat sunnah tambahan itu. Sama akupun menanyakan alasannya. Waktu itu aku sedikit jengkel karena sedang asyik bermain gundu, tiba-tiba aku disuruh pulang dulu karena harus mulai belajar membiasakan diri shalat Dhuha.

“Kebutuhan manusia itu banyak, tidak bisa seratus persen kita bisa berusaha memenuhinya. Untuk saat ini, itu cukup jadi alasan buatmu mengerjakan shalat Dhuha dua rakaat. Catat di hatimu, Dhuha lah caramu meringankan kebutuhanmu yang tidak bisa kamu penuhi secara sempurna. Dhuha penyeimbang usaha-usaha yang sedang kamu lakukan. Berharaplah diberi kemudahan, selalu diberi jalan terang. Cukup itu dulu yang jadi alasannya, pelan-pelan ketika kau sudah rutin mengerjakannya, ibu yakin kamu akan menemukan alasan lain. Kamu akan pahami dengan sendirinya.

Sedangkan untuk Tahajud, baru belakangan ini aku tahu alasannya kenapa ibu menasehatiku untuk selalu bangun di sepertiga malam. Waktu masih sekolah aku jarang sekali bangun untuk shalat Tahajud, karena di sekolah aku pasti menguap karena mengantuk. Makanya untuk shalat malam ini, dalam sebulan bisa dihitung dengan jari. Hingga setelah kerja inilah pemahaman itu mulai datang membawa alasan-alasan yang jiwaku menerimanya. Ternyata aku memang membutuhkan shalat malam itu, membutuhkan tempat untuk berkeluh kesah setelah seharian disibukkan dengan rutinitas yang monoton. Membutuhkan waktu sendiri dalam sepi untuk perenungan, untuk menyejukkan jiwa-jiwa yang mulai lapar oleh basuhan rohani. Dengan Tahajud jiwa manusiaku kembali kepada fitrahnya, sebagai seorang hamba. Dialog diri sebagai seorang hamba itu yang membantuku kembali ke tujuan semula aku merantau di bumi ini. Setelah seharian penuh aku dibutakan jalan oleh dunia.

Dalam perjalanan kembali ke kosanku, aku mengingat kembali pesan sederhana ibu. “Jika sudah lima yang kau tunaikan, tambahkan dua.”

Lagi-lagi aku mengangguk meski jarak ibu sudah berkilo meter di belakang. Mengangguk seolah ibu sedang berada di depanku seperti ketika waktu kecil dulu. Akan selalu aku usahakan menunaikan yang tujuh ini, sesibuk apapun itu. Aku bertekad. 




Februari 06, 2014

CERURY: Enam yang spesial


Namaku Sittah. Aku anak bungsu dari enam bersaudara dan tahun ini genap enam tahun. Ah entah kenapa aku selalu antusias jika ada yang berkaitan dengan angka enam. Seperti ikan mas koki yang aku punya. Anak si manis kucingku yang baru melahirkan kemarin. Jumlahnya enam dan lucu-lucu menggemaskan. 

Dan hari ini, untuk pertama kalinya aku dibolehkan oleh ibu pergi bersama paman Gopar. Pamanku satu itu sudah berjanji menjemputku jam enam pagi. Katanya aku mau diajaknya memancing di setu gede. Kata paman ikannya besar-besar. Tempat yang sama sekali belum pernah aku lihat. Dulu aku selalu merengek dibolehkan ibu jika paman Gopar hendak ke sana. Tapi ibu selalu melarang karena menurutnya aku masih terlalu kecil.

Kecil-kecil begini aku pengingat yang baik. Termasuk janji seseorang. Bagiku janji adalah janji, harus tepat waktunya bagaimanapun keadaannya. Makanya sejak pukul setengah enam tadi aku terus mondar-mandir melihat ke arah luar. Tidak menghiraukan panggilan ibu yang menyuruhku untuk sarapan lebih dulu. Ibu tidak tahu sih kalau aku sedang antusias menyambut hari ini.

Sudah hampir pukul enam. Setiap ada suara aku langsung lari mengeceknya. Siapa tahu itu pamanku yang baru datang. Tapi ternyata bukan, itu mang Rohim yang hendak ke pasar.

Belum, masih ada waktu. Pamanku selalu menepati janjinya. Iseng aku menutup mata, memasang telinga baik-baik agar tidak ada satu suarapun yang lepas dari pendengaranku. Mulai mengitung dari satu sampai enam puluh untuk menit terakhir sebelum jam enam tepat. 

Dan tepat hitunganku yang ke enam puluh. Suara yang aku kenal itu sampai juga. Paman Gopar datang dengan tas besarnya membawa peralatan yang dibutuhkan untuk hari ini.

“Paman hampir saja berhutang cokelat kepadaku.” Kataku sambil tergopoh-gopoh menyambutnya di teras. 

“Siapa bilang? Pamankan sampai satu menit lebih awal.” Ujar pamanku sembari menurunkan tas dari pundaknya. “Siap untuk hari ini prajurit kecil?”

Buru-buru aku melirik arloji pamanku, menepok jidat. Aku baru ingat jam tanganku memang lebih cepat satu menit. Aku terkekeh sendiri. 

“Sudah pamitan sama ibu belum? Pamitan dulu sana.” Paman mengacak-ngacak kepangan rambutku. Aku mengangguk. Ketika hendak berlari ke dapur, ibu sudah lebih dulu datang membawa rantang makanan dan botol air.

“Kalau hujan cepat-cepat meneduh Gopar. Kau tahu sendiri Sittah ringkih sekali dengan air hujan.” Paman mengangguk, Aku mengambil rantang makanan dari ibu. 

“Habiskan sarapannya.” Kata ibu sebelum kembali ke dapur. 

“Sepertinya ibumu belum tahu, Sittah. Betapa menyenangkannya memancing sambil hujan-hujanan.” Pamanku berbisik sambil menempelkan telunjuknya di bibir. Aku tertawa setuju. Ah sudah pasti perjalanan hari ini akan menyenangkan. 

***
Aku paling suka bepergian dengan pamanku satu ini. Ia pandai sekali membuat mainan dari apa saja. Seperti membuat peletokan dari bambu, kincir angin, gansing dari tutup botol, atau membuat si cepot dari batang-batang daun singkong. Dan tentu saja ia gemar sekali memancing. Kadang seharian baru pulang membawa ikan-ikan besar yang disindik menjadi satu ikat dengan tali bambu.

Sesampainya di setu gede, kami langsung mencari tempat yang paling nyaman buat memancing. Ada batang pohon kelapa yang sengaja dijadikan tempat duduk oleh paman. Rupanya itu tempat favoritnya. Tidak ada orang lain selain kami di sana. Setunya besar sekali, airnya jernih dan memang banyak ikan-ikan kecil hilir mudik ke sana kemari mencari makan. Udaranya sedikit dingin, mungkin karena masih terlalu pagi. 

“Sebelum ikan, perut kita dulu yang perlu dikasih makan. Ayo buka rantangnya, Sittah. Masakan ibumu sayang kalau harus dilewatkan kelezatannya.” 

Aku mengangguk, cekatan membuka rantang ibu. Aroma sayur asem dengan lauk lainnya sangat menggiurkan. Paman menebas satu batang daun pisang sebagai alasnya. Kami pun langsung lahap menikmati sarapan.
***

Setelah sarapan, paman langsung membagi jorannya denganku. Ada empat joran dengan kail sudah berisi umpan siap digunakan. Aku antusias sekali memegang joran untuk pertama kalinya. Meniru paman mengulurkan benangnya sampai menjulur jauh ke tengah setu. Tidak terlalu sulit dan memang menyenangkan. 

“Nah ini yang menarik dari memancing, Sittah. Saat kita menunggu umpan itu di makan ikan. Seperti kebiasaanmu kalau lagi menunggu orang menepati janjinya. Seperti menunggu perjalanan hari ini. Bukankah itu membuatmu antusias? Seseorang akan sangat antusias jika sedang menunggu, yang tahu ada harapan di sana. 

Aku mengangguk, meski tidak terlalu paham dengan kalimat paman yang terakhir. Ini memang menyenangkan. Aku berharap umpanku akan di makan oleh ikan besar. Lebih besar dari yang paman dapat. Haha... 

“Sekolahmu gimana, Sittah?” tidak sampai semenit satu kail paman sudah bergerak-gerak. Cekatan paman menyentak jorannya. Dan satu ikan mujair sebesar telapak tangan orang dewasa terjerat di sana. Aku sampai berdiri melihatnya. Itu ikan pertama hasil kami hari ini. Sudah aman tidak bisa ke mana-mana lagi di bubu yang sudah paman siapkan untuk menyimpan ikan hasil tangkapan.

“Ibu guru kemarin menyuruh kami menghafalkan rukun iman, Paman. Bahasa arab dan artinya.” Aku melihat kailku yang belum juga bergerak. Pasti masih ada ikan yang lebih besar dari itu. 

“Waah penting itu, kamu sudah hafal di luar kepala bukan?” lagi-lagi paman menarik jorannya yang bergerak. Satu ikan tidak terlalu besar berhasil ditangkapnya. “kalau sudah besar kita ketemu lagi.” Kata pamanku sebelum melepaskannya kembali. 

Aku tertawa mendengar gurauannya itu. “Sudah dong, Paman. Beriman kepada Allah dengan juga mengetahui dua puluh sifat-sifat yang wajib dan dua puluh sifat mustahil bagi Allah. Terus beriman kepada Malaikat. Ada sepuluh malaikat yang wajib diketahui dengan tugasnya masing-masing.” Aku menarik napas sejenak. “Terus beriman kepada kitab-kitab, ada Kitab Zabur, Taurat, Injil dan Al-Qur’anur Kariim. Terus beriman kepada Rasul-rasul Allah. Ada dua puluh lima Nabi dan Rasul yang diceritakan di dalam Al-Qur’an. Terus beriman kepada hari kiamat, yang tidak ada satu pun yang tahu kapan kejadiannya. Dan terakhir beriman kepada qada dan qadar, takdir yang baik dan buruk.” Aku menyelesaikan jawabanku. Pamanku tersenyum ia sudah paham benar kelakukan keponakan paling kecilnya ini. Selalu antusias jika diminta menjelaskan sesuatu secara detail. 

“Keponakan siapa dulu.” Lagi-lagi joran paman bergerak, kita tidak hanya satu tapi dua joran. Aku membantu menarik joran satunya. Kami seperti sedang berlomba memancing, saling cepat-cepatan menggulung benang pancingan. Sungguh ini seru sekali, ada dua ekor ikan gurame yang sama besar sedang kami coba kuasai. Agar tidak lepas lagi ikannya. Aku dan paman sampai berdiri tidak sabaran. 

“Waaah hari ini kita beruntung sekali, Sittah. Ibumu pasti senang melihat tangkapan kita sebesar ini.” 

“Iya tadi seru sekali, Paman.” Aku senang sekali, meskipun joranku belum juga mendapatkan hasil. Pasti masih ada ikan yang lebih besar dari ini. Dengan cekatan paman menyimpan kedua ikan itu ke bubunya. 

“Kembali ke hafalanmu tadi. Jangan cuma sekedar di hafal ya. Tapi benar-benar diyakini dalam kehidupan sehari-hari.” Kata pamanku sambil memasang umpan berikutnya. 

“Iya Paman. Aku percaya, aku beriman sepenuhnya.” Kataku mantap. 

“Seperti udara yang berhembus ini, Sittah. Meski kita tidak pernah melihat wujudnya. Tapi kita bisa tahu keberadaannya. Yang tidak terlihat belum tentu tidak ada.” 

Lagi-lagi aku mengangguk meski tidak terlalu paham dengan kata-kata terakhir paman. 
***

Hampir setengah hari kami memancing, bahkan kail paman sudah berkali-kali di makan ikan. Yang kecil dilepas kembali. Yang cukup besar disimpannya di bubu. Aku mulai cemberut karena kailku belum juga membuahkan hasil. Paman membesarkan hati agar aku tetap antusias menunggunya, masih ada harapan besar di ujung kail itu. Aku hanya diam tidak menanggapi apa-apa. Melihat aku yang sudah mulai murung, paman berinisiatif mengambilkan aku buah kelapa muda. Ia tahu aku suka sekali air kelapa. 

Dan ketika kami sedang menikmati buah kelapa, akhirnya kailku bergerak. Bahkan hampir joranku terbawa kalau aku tidak cepat-cepat menariknya. Aku berseru-seru riang, sepertinya aku mendapatkan ikan yang besar sekali. Aku menoleh ke paman, paman mengangguk mantap. Aku terus berusaha mengalahkan tenaga ikan itu. Sampai hampir jatuh terduduk. Pada akhirnya pamanku membantu menariknya. Dan satu ekor ikan patin berukuran paha orang dewasa berhasil terjerat di ujung kailku. Besar sekali. Aku baru melihat ikan sebesar itu. 

“Waaah ini sih bukan hanya ibumu yang senang, Sittah. Pak RT juga bakalan senang, ikan ini bisa dibagi-bagi ke tetangga terdekat.” Dengan kecekatan paman Gober ikan itupun berhasil kami tangkap. "Paman selalu yakin setu gede ini memiliki ikan yang sebesar ini, bahkan lebih. Dan kamu berhasil mengungkapnya hari ini.

Aku tertawa sedikit bangga. Sayangnya keseruan hari ini harus usai. Kata paman hari ini cukup enam ekor ikan saja yang dibawa pulang. Katanya sesuai dengan angka kegemaranku. Tiga ekor mujair, dua ekor gurame dan satu ekor patin hasil tangkapanku. Bahkan paman harus menggendong ikan patin besar itu di punggungnya. Dan aku menenteng ikan yang lainnya.