Desember 20, 2013

Even in My Dream

Aku melemparkan topi sembarang. Membuka satu kancing baju agar napas terasa lebih lancar. Umm... hari yang cukup melelahkan. Rasanya tubuh ini sudah minta jatahnya untuk istirahat. Tapi rindu ini masih butuh untuk ditenangkan.
Aku menghela napas, duduk di bahu tempat tidur. Pukul delapan malam. Semoga saja istriku masih terjaga. Ah bidadari kecilku, sedang apa ia? ingin sekali aku mendengar suaranya yang lucu menggemaskan. Mendengar ia memanggilku ayah, bercerita apa saja yang seharian ini ia lakukan, ia lihat. Mengayun-ayunkan tubuh mungilnya ke udara.
Tapi jarak ini lagi-lagi yang menghalangi rindu itu bertemu. Sungguh, jika bukan karena mengemban tugas negara. Aku lebih memilih ingin sepanjang hari bersama mereka. Menikmati kebersamaan dengan senyuman menyenangkan. Canda tawa mereka yang membuat aku tersenyum bahagia.

Umm... telponku belum juga diangkat. Mungkin istriku sudah tidur, lelah dengan tugas-tugas hariannya. Ya sudahlah, beberapa hari lagi aku bisa pulang.
Aku memandangi foto keluarga kecilku di dompet. Betapa aku merindukan mereka.
Even in My Dream by edcoustic
kau selalu di hati
selalu di pikirku
sepanjang hidupku
kau buat ku tersenyum
buat ku terharu
bidadari kecilku

dekap aku walau sekejap
biar kan lelah ku hilang
walau hanya mimpi

meski jauh kau selalu ku tunggu
kau tertidur
cintaku tak tertidur

ku timang-timang selalu rinduku
i see you
even in my dream

di manapun kini kau ada
separuh hidupku ada di hatimu
ku kan selalu ada menjagamu selalu

Desember 02, 2013

Sya, yang berbeda



Sya, semoga kau tidak mendengar degup jantungku yang sedang tidak beraturan ini. Tentu saja tidak, aku hanya berani memperhatikanmu dari jarak yang cukup jauh. Tapi bukan berarti kau tidak menyadari keberadaanku bukan? Siapa sih yang tidak terganggu jika diperhatikan berjam-jam oleh seseorang.

Aku berdiri, bersandar pada tubuh pohon buni tua ini. Tempat kau dulu menangis sambil berlari menghampiri nenekmu. Kemudian mengajakmu pulang, padahal jam sekolah masih berlanjut. Tempat di mana aku terakhir kalinya melihat –tepatnya menertawakanmu menangis. Aku menahan ketawa mengingat kejadian itu.

Sya, aku masih ingat betul potongan kejadian itu. Ketika sedang belajar bernyanyi bersama, suara kau yang paling menonjol berbeda. Jelas-jelas aku tertawa sendirian paling keras. Sambil berteriak mengejek, “Si keriting gagu.” Semua orang menoleh ke arahku. Semua anak riuh bak lebah ikutan tertawa. Dan kau berlari keluar kelas sambil terisak. Sedangkan aku dihukum berdiri di depan kelas hingga bel pulang. Kata nenek, lidahmu memang terlalu pendek. Jadi tidak berfungsi dengan baik ketika bicara.

Suasananya tidak jauh berbeda dengan waktu itu. Masih dengan riuh riang canda tawa anak-anak TK nol kecil. Masih dengan bangunan lama, meski cat tembok lebih terlihat segar. Hanya saja saat ini posisi kita yang bertukar, aku memperhatikanmu dari bawah pohon buni ini. Hampir menangis, tak kuat menahan haru. Sedangkan kau tertawa bersama anak-anak dengan riangnya.

Tapi entah apa yang sudah dinasehati oleh nenekmu. –beberapa hari ini aku baru tahu rahasia nasehat nenekmu itu. Esok harinya kau tidak menaruh dendam kepadaku. Tidak menangis lagi ketika aku ejek “Si keriting gagu aa... uu... aa... uu...” Kau malah membalas senyum. Tertawa meskipun tidak dengan suara. Aku jadi kesal sendiri, senjata untuk mengganggumu tidak berhasil. Tidak kalah akal, aku sengaja benar mematahkan semua crayon-crayonmu ketika sedang belajar menggambar. Agar kau marah dan menangis lagi. Dan lagi-lagi kau hanya tersenyum memamerkan susunan gigimu yang banyak bolongnya itu.

Aku juga pernah mempermalukanmu di depan teman-teman dan bu guru. Ketika seorang guru menanyakan apa cita-cita kita. Kau menulis sebuah kata GURU dan memamerkannya tinggi-tinggi. Spontan saja aku berteriak, “orang gagu mana bisa jadi guru.”

Sya, betapa kalau ingat masa itu, aku sangat badung dan menjengkelkan di matamu ya.

Sya, kini aku kembali dari perantauanku ke negeri orang. Aku sudah menyelesaikan study-ku dengan baik. Usiaku sudah cukup matang untuk mulai merencanakan masa depan. Mencari pendamping hidup. Entah kenapa sekelebat kenangan masa kecilku datang. Tiba-tiba saja aku teringat dengan sosokmu. Penasaran ingin tahu, bagaimana rupa si keriting gaguku dulu. Ah, sudah lama sekali kita tidak berjumpa.

Kebetulan pula kita bertemu di sekolah ini. Setelah bertahun-tahun lamanya. Jujur aku kaget sekali ketika pertama kali bertemu denganmu lagi. Akupun menangkap hal yang sama di matamu. Aku terkejut, sangat jelas kau sekarang berbeda. Aku seperti tidak mengenali lagi sosok si keriting gaguku dulu. Yang ada di hadapanku saat ini adalah Sya yang lain. Sya yang membuat aku lama tertegun. Memang kau tidak menjelma menjadi perempuan yang sempurna cantik. Tapi sudah lebih dari cukup menjadi alasanku untuk memandangmu sebagai perempuan yang menarik. Apakah ini yang dinamakan energi cinta? seseorang akan melihat sosok yang ia kagumi menjadi sosok yang lebih sempurna. Dengan kacamata cinta. Berapapun kekurangannya.

Kau masih saja tersenyum menghadapi kecanggunganku yang memberanikan diri menanyakan kabar. Seperti tidak memerlukan jawaban, aku mengangguk paham. Tentu saja kau sedang dalam keadaan baik. Pancaran cahayamu mampu aku lihat dengan baik. Ah, jelas-jelas itu adalah binaran mataku yang memendar ke arahmu.

Sya, aku tahu kapan pertama kalinya kau memutuskan untuk berkerudung. Sejak masuk sekolah menengah pertama. Kata nenekmu hari itu kau pulang dengan wajah yang memerah sekali. Bukan karena habis menangis atau kesal. Kau hanya menahan malu. Malu diperhatikan oleh teman-temanmu yang baru. Apalagi kalau bukan soal rambut keriting dan suaramu itu. Tapi lagi-lagi esoknya kau kembali tersenyum ramah ketika mereka mengganggumu. Hingga akhirnya mereka terbiasa dengan ‘kelebihanmu’ yang tidak dimiliki oleh mereka. Dan mulai mengenalmu dengan julukan, si puteri tersenyum yang tak banyak bicara.

Darimana aku tahu soal itu? Tentu saja aku tahu. Karena aku memutuskan untuk mencari tahu banyak hal tentangmu melalui cerita-cerita nenekmu. Beliau antusias sekali menceritakan semuanya. Hmm.... sejujurnya aku belum berani mengutarakan langsung ke inginan itu di depanmu. Takut kau keberatan.

Aku juga tahu kenapa di usiamu sekarang –hanya selisih beberapa bulan denganku, dan sebagai seorang perempuan seharusnya sudah menikah. Kau masih saja seorang diri. Bukan karena tidak ada laki-laki yang tertarik kepadamu. Banyak sekali kalau kata nenek, hanya saja mundur perlahan ketika tahu lebih dalam kekuranganmu. Ah mereka lelaki yang payah menurutku, tidak bisa melihat dengan jelas sisi lain yang kau punya. Tapi kau tetap tidak berkecil hati menanggapi hal ini. lebih memilih sibuk mengajarkan banyak hal kepada anak didikmu.

Sya, di sinilah aku sekarang. Bersandar pada tubuh pohon buni tempat kau menangis dulu. Karena ejekanku. Memperhatikanmu dengan senyum berkembang. Lihatlah, kau pandai sekali mendidik mereka semua. Seakan anggota tubuhmu kecuali lidah menjadi mulut kedua untukmu menyampaikan materi. Dan mereka tidak terlihat kesulitan untuk mengerti apa yang ingin kau sampaikan. Lihatlah bu guru Sya yang selalu tersenyum untuk sekitarnya.

Sya, aku akan menunggu hingga bel pulang berbunyi. Setelah meneguhkan hati beberapa hari ini, izinkan aku meminangmu hari ini. Sebagai lelaki badung dan menyebalkan di matamu. Lelaki yang memiliki banyak kekurangan sepertimu. Sebab bagiku, untuk menyempurnakan kekurangan, seseorang tidak perlu mencari sosok yang memiliki kelebihan. Sama saja itu tidak akan seimbang. Yang sempurna adalah dua orang yang saling menghargai kekurangan dengan sama-sama belajar memperbaikinya. Saling mengukuhkan kekurangan untuk kelebihan bersama.

Dan ternyata nasihat nenekmu dulu begitu sederhana, jangan membalas perbuatan buruk seseorang dengan dendam. Balas dengan senyuman ketabahan. 




November 30, 2013

Desember

Desember. Bulan penutup di perhitungan Tahun Miladiyah. Jika diibaratkan dengan alur kisah yang utuh, dalam novel-novel atau film. Bulan ini ibarat epilog. Bagian cerita yang menjadi penentu akhir dari perjalanan kisah, sejak bulan pertama yang menjadi prolognya. Hingga penghujung Desember yang merupakan endingnya.

Atau jika kisah-kisah itu masih panjang perjalanannya, Desember adalah penutup bab pertama. Hingga awal Januari menjadi pembuka kisah di bab berikutnya. Sebab, seperti pendapat seorang sahabat, kisah-kisah yang ada di dalam novel, cerita, dongeng, film ataupun di kehidupan nyata sekalipun, tidak ada yang namanya ending. Kisah itu tidak ada yang benar-benar sudah tamat, selagi tokoh-tokoh yang terlibat dalam rangkaian kisah itu masih ada yang hidup. Seperti kehidupan ini, kisahnya akan terus berlanjut semenjak manusia pertama, hingga hari kiamat nanti. Yang tamat dan berakhir hanyalah si tokoh jika ia ditakdirkan menjemput ajalnya dalam sebuah cerita, bukan kisahnya.

Desember. Jika diibaratkan sebuah project besar, mungkin inilah deadline pengerjaannya. Waktu yang sudah seharusnya pekerjaan itu matang, hanya tinggal memoles komponen-komponen kecil untuk mempercantik tampilan.

Desember. Jika diibaratkan sebuah perjalanan jauh. Si musafir dalam pengembaraan. Barangkali ini penghujung penantiannya untuk pulang, sampai tujuan. Atau masa-masa semua keinginan dan harapan itu tercapai.

Desember. Jika diibaratkan seorang yang pekerja keras. Ini waktu-waktu berharga yang bisa ia nikmati untuk bersantai menikmati hasil jerih payahnya. Bersama keluarga dengan senyum yang mengembang. tawa-tawa riang anak-istrinya.

Desember. Jika diibaratkan sebuah pohon yang besar. Inilah waktu untuk memuai bunga-bunga itu menjadi bakal buah. Waktu bunga-bunga mulai bermekaran. Kumbang-kumbang berdatangan.

Desember. Bulan penghujung tahun. Si bungsu yang selalu menjadi pusat perhatian. Anak terakhir yang dimiliki Tahun, yang paling ringkih dan manja. Yang rentan kecewa. Rentan kegagalan. Dan menjadi ujung tombak penentu keberhasilan.

Desember. Boleh jadi untuk seseorang atau lebih banyak lagi jumlahnya, yang entah siapa itu, entah di mana ia. Desember adalah waktu-waktu terakhir ia mengukir kisah sejarah di dunia. Tidak ada pintu belakang untuknya melihat Januari, si anak sulung yang pemberani. Siapa yang tahu ajal seseorang. Tidak ada yang tahu.

Tapi Desember untukku. Desember harapan-harapanku. Semoga ia adalah Desember yang lebih banyak lagi membawakan kabar gembira. Menjadi tempat dan waktu yang baik untuk bertemu dengan seseorang yang mengutuhkan kisah-kisah perjalananku. Yang menjadi penentu ending di bab pertamaku. Desember menjadi 'pintu belakang' untukku menjumpai masa depanku di tahun-tahun kemudian. Di bab-bab berikutnya.

Desember yang lebih banyak lagi mengajarkan arti kesyukuran. Yang membimbing dalam pemahaman-pemahaman. Yang mendewasakan kesalahan-kesalahan masa lalu. Desember yang di ridhoi Tuhanku, dengan mengabulkan harapan-harapan itu. Semoga.    



Penghujung November

Tak terasa sudah di penghujung bulan November. Dan rasa-rasanya saya hampir melupakan satu hal, masih ada kewajiban untuk menggenapkan postingan di blog ini. Hah, bisa dibilang ini bulan yang cukup membuat tarikan napas lebih menderu. Awalnya niat akan memposting satu hari sekali, tapi prakteknya tetap saja nihil. Tak mengapa, setidaknya sudah ada 28 judul postingan untuk bulan ini. (Dan beberapa draft tulisan yang masih menggantung dasbor.) Benar tidak? :D

Rahasia kecilnya, sistem kinerja dari resolusi-resolusi yang saya buat di bulan lalu memang agak sedikit melenceng dari jalur. Siklus kesehariannya agak goyang, banyak faktor yang membuat jadi demikian. Seperti waktu kepulangan yang agak melarut dari biasanya, faktor cuaca yang seperti ombak di lautan. Kadang pasang kadang surut. Dan daya tahan tubuh yang agak menurun. Meski hal-hal itu tidak semestinya menjadi alasan untuk tidak menyelesaikan semuanya dengan baik. Selagi pintar-pintar membagi waktu dan mengatur kendala-kendala yang datang. Seharusnya kan ya, seharusnya.

Ah, bagaimanapun saya akui, 'dapur' hidup saya memang masih saja berantakan di sana sini. Masih banyak yang perlu dibenahi dan lebih 'didewasakan' lagi. PR.... PR... 

Dan untuk bulan desember yang Insya Allah di mulai esok hari, saya berencana menulis kisah empat keseharian. Dengan empat tokoh utama yang memiliki karakter-karakter berbeda (semoga saya berhasil dibagian ini, mengingat saya masih lemah dalam membangun karakter tokoh fiksi). Kisah Lam, Jim, Ra' dan Fa. Dengan latar belakang kampus Hijaiyah. Empat tokoh yang mengisi keseharian dengan cara mereka masing-masing. Niatnya ingin menyelipkan sedikit-banyak pesan-pesan baik dari keseharian mereka. Tentang bagaimana mengisi waktu luang, menghabiskan masa muda. (semoga tidak berakhir dengan cerita yang sok tau ya, mengingat saya pun masih belajar menjejaki kehidupan saya pribadi.) Akan dibuat perjudul dengan kisah yang habis tuntas di satu judul, tapi masih memiliki keterkaitan satu sama lain. Kalau di pikiran saya sih alurnya begini begitu. Semoga saja waktu prakteknya mudah dituangkan dalam bentuk tulisan.  

Lalu apakah ada kisah-kisah rasa yang tumbuh di antara mereka? lihat saja nanti.

Untuk project bulan desember ini saya belum tahu nih menulisnya dalam bentuk online di blog atau lebih banyak offline. Kemungkinan besar sih offline dan akan lebih sedikit postingan di Lakaran Minda ini. Kita lihat nantilah. Doakan saja saya mengerjakannya nggak nanggung, mengingat banyak naskah cerita yang berceceran nggak dituntasin. haha....

Itu saja untuk tulisan kali ini. Besar harapan saya, apa-apa yang sudah atau akan tertulis di sini, lebih banyak mengandung kebaikannya dibanding perkataan/tulisan yang kelak harus saya pertanggungjawabkan di hadapan Allah Subhanahu wata'ala. Aamiin.

Demikian.... Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca.... sudah menjadi pengunjung Lakaran Minda yang bijaksana. Sampai ketemu di postingan berikutnya.

Adios



November 24, 2013

NYAMAN

Nyaman. Tiba-tiba aku ingin mengurai kata itu. Lalu terbesit pertanyaan, seperti apakah suasana yang nyaman itu?

Kala menikmati kesendirian dalam sunyinya kamar. Ketika yang terdengar hanya bunyi detak-detik jam dinding. Hening. Tidak ada satupun yang menggangu. Ditemani rintik-rintik hujan yang turun di balik jendala. Atau ketika terbaring di hamparan rumput menghijau. Memejamkan mata, menikmati semilir angin yang membawa wewangian bunga dari pohon-pohon. Ditemani dengan gemericik alir mengalir. Atau mungkin duduk bersandar pada batu besar, kaki menjuntai ke air laut. Memandangi deburan ombak yang memecah karang.

Apakah seseorang akan merasakan kenyamanan di saat itu? Umm... bisa demikian bisa juga tidak. Boleh jadi pikirannya sedang rumit, hatinya sedang resah. Nyaman suasananya, tapi tidak jiwanya. Dan jangan lupakan satu hal, kebosanan yang kerap kali datang.

Nyaman. Apakah ketika berbincang berjam-jam dengan orang yang mengerti kita. Menceritakan apa saja. Tentang kisah-kisah masa lalu, mimpi-mimpi masa depan di depan beranda rumah kala senja. Sembari menikmati potongan buah magga yang diiris dadu. Ditemani dua cangkir coklat hangat. Bersenda gurau dengannya. Tertawa mendengar celotehnya.

Ataukah hanya sekedar chatting dengan seseorang nan jauh di sana. Seseorang yang belum dikenal di dunia nyata. Tapi terasa dekat di dunia maya. Seseorang yang belum pernah ditemui, mendengar suaranya, melihat wajahnya secara langsung. Tapi selalu dinantikan waktu luangnya untuk chatting dengannya. Seseorang yang kerap kali membuatmu tersenyum, tertawa riang sekalipun ia tidak akan melihat bahwa kita sedang tersenyum karena ulahnya, tutur katanya, candanya. Seseorang yang belum lama dikenal tapi kita sudah merasa biasa untuk menceritakan apa saja. tentang keseharian kita. Tentang mimpi-mimpi kita. Tentang kegiatan-kegiatan yang disukai. Ia tidak merasa keberatan untuk mendengarkannya. Dan kita sendiri menyediakan diri untuk menjadi pendengar yang baik untuknya.

Apakah saat-saat itu kita akan merasakan yang namanya nyaman? Aku tidak tahu persis apa yang membuat orang lain merasa nyaman. Yang kutahu, nyaman adalah saat di mana keberadaan kita, yang sedang kita lakukan seolah tidak terikat waktu. Tidak ada ukuran baru melewati waktu bersamanya sebentar, atau sudah berjam-jam. Itu teoriku. 

Mungkin suatu saat nanti kalian akan menemukan seseorang, ketika dengannya akan terasa nyaman, meskipun kalian tidak melakukan apa-apa, tidak membicarakan apa-apa. Sekalipun yang kalian lakukan hanyalah diam dalam waktu yang lama. Karena kalian tidak merasa bosan menghabiskan waktu bersamanya.
 

November 23, 2013

Kepedulian dan kasih sayang di gerobak siomay

Betapa bentuk kepedulian dan kasih sayang itu berwujud sederhana.

Aku meyiapkan pesanan untuk satu porsi. Ada-ada saja permintaan pembeli. Beli siomay tapi nggak pake siomay. Lah? Aku mengambil dua potong tahu, satu kol, satu kentang sesuai pesanan. Dan mulai memotong-motongnya di atas piring.

Setelah dibumbui kacang, sedikit saus dan kecap, aku hidangkan di atas meja. Pembeliku seorang perempuan berkaca mata. Ia membawa banyak sekali buku yang ia taruh di pangkuannya. Mungkin baru dari perpustakaan dekat sini untuk mengerjakan tugas. Ia tidak memesan minum, karena sudah ada air mineral kemasan botol yang sebenarnya sudah mau habis.

Berjualan di pinggir terminal ini tidak heran jika makan sambil melihat lalu lalang pengamen, pengemis atau pemulung. Itu sudah biasa. Kulihat pembeliku melahap siomay tanpa siomaynya dengan lahap. Hingga pemandangan itu tiba. Ia berhenti menyuap. Mungkin merasa risih karena ada bapak-bapak pemulung yang membawa karung dan gancu memperhatikannya dari tadi.

"Ada yang bisa saya bantu Pak?" Tanya pembeliku dengan ramah.

"Eh nggak Neng, bapak cuma nungguin botol bekas minum Neng. Dilanjut aja makannya." Bapak-bapak pemulung itu sedikit malu. Iyalah aku saja malu kalau berada di posisi itu.

"Udah makan Pak? Nunggunya sambil makan aja sekalian." Tanya pembeliku lagi. Ia benar-benar tidak merasa terganggu dengan kehadiran pemulung ini.

"Eh, nggak usah Neng. Terima kasih." Pemulung itu hendak berlalu. Mungkin udah nyadar nggak enak.

"Tunggu Pak. Makan dulu aja, saya yang bayar. Bang satu lagi ya buat bapak ini." Aduh Neng baik pisan ini mah. Aku mengangguk.

"Eh, Neng...." Pemulung itu mau menolak.

"Nggak apa-apa Pak. Saya mah makannya lama." Kata pembeliku tersenyum ramah.

"Bisa nggak dibungkus aja siomaynya. buat anak istri saya di rumah." Pinta bapak pemulung tadi. Alah ngerepotin urang si bapa mah. Aku memasukkan potongan siomay ke kertas bungkus nasi. 

"Kalau gitu, tiga porsi bang, dua dibungkus yang satu di makan di sini. Buat si bapak." Kata pembeliku lagi. "Ayo Pak silakan duduk."

Pemulung tadi nggak berkata apa-apa. Langsung duduk di bangku bakso yang ditunjuk si Neng geulis tadi. Ah entahlah apa yang ada di pikirannya. Yang penting daganganku laris manis.

Sejam berlalu. Bapak-bapak pemulung tadi sudah entah ke mana. Setelah makan ia langsung pergi dengan membawa dua bungkus siomay dan bekas botol air mineral. Dan si Neng pembeliku juga sudah pulang naik Bus Pusaka. Satu hal yang masih tertinggal di gerobak siomayku. Kepedulian dan kasih sayang yang mereka kisahkan di depanku. Kepedulian seorang pembeli kepada pemulung yang menggangu waktu makannya. Dan kasih sayang pemulung tua kepada keluarganya.

Ah, sepertinya aku perlu membeli satu loyang martabak manis buat keluargaku di rumah.

  

Pesan ibu tentang perempuan

Aku menjemur handuk. Baru selesai mandi. Setelah berpakaian rapi, hendak ke kantor post. Ada paket yang ingin aku kirim hari ini.

"Paket untuk siapa Lam?" Ibu jahil bertanya. Ia sedang menyabuti rumput liar yang tumbuh di sekitar tanaman apotek hidupnya. "Perempuan yang hati kau suka?"

"Untuk perempuannya benar, Bu. Selebihnya bukan." Dua hari yang lalu ada yang mengirimi aku sebuah buku baru, dan aku rasa tidak ada salahnya jika membalas kebaikannya dengan mengirimkan paket buku juga.

Tidak ada komentar lagi dari ibu. Jawabanku cukup kurasa. 

Lengang sejenak.

Aku dan ibu memiliki sifat yang sama. Lebih banyak diam, bicara seperlunya dan pemerhati yang baik. Bahkan bisa dibilang ibu adalah pemerhati yang super duber baik. Tidak ada yang luput dari pengawasannya. 

Aku jarang sekali mengobrol panjang dengan ibu. Ya, itu lebih banyak diam. Jadi memang agak aneh kalau pagi ini ibu membicarakan soal perempuan. Apalagi perempuan yang aku suka.

Dibanyak kesempatan aku merasa sifatku sebelas dua belas dengan ibu. Keras kepalanya, tidak suka yang bertele-telenya, menunjukkan sifat keterus terangannya jika ada yang tidak disukai. Dan sifat-sifat yang lain. Mungkin karena kami sama-sama anak yang dilahirkan pertama kali oleh ibunya. Sederhananya, ibu adalah anak pertama dari nenek yang melahirkan aku sebagai anak pertama. Ah malah jadi terdengar muter-muter ya?

Aku merapikan tali sepatu, kemarin baru dicuci. Ibu masih sibuk dengan sapu dan pengkinya.

"Bu, perempuan seperti apa yang seharusnya aku suka?" Ah, sekalian saja aku menanyakan itu.

Ibuku menghentikan sejenak aktivitasnya.

"Kenapa kau tiba-tiba menanyakan itu?"

"Ingin tahu pendapat Ibu saja, biar aku nggak salah pilih pendamping hidup." Jawabku mantap. Sembari memasukkan alas kaki sepatuku.

"Lam, carilah perempuan yang pandai memelihara sifat haya-nya, tanpa kehilangan sikap tegasnya. Penting itu. Dengan ia memelihara rasa malu sebagai kodrat seorang perempuan, ia akan pandai menjaga kehormatan dirinya. Pandai menjaga pandangannya, menjaga tingkah lakunya. Tutur katanya." Ibu menghentikan sejenak kata-katanya. Aku mendengarkan dengan seksama. "Carilah perempuan yang masih menjaga pandangan dengan menunduk malu jika berpapasan denganmu. Tapi ia tegas jika kepribadiannya sudah mulai terusik. Perempuan yang seperti itulah yang kuat menjaga hati dan dirinya."

"Bisakah Lam mendapat yang seperti itu, Bu di zaman sekarang ini?" Aku mengambil tas dan memakainya. Tidak lupa memasukkan paket yang akan aku kirim.

"Bisa, selagi kau sendiri pandai menjaga sikapmu terhadap perempuan mana pun. Selagi kau masih menghormati dan menghargainya. Dari perkataan, dari tingkah laku. Sesederhanapun itu." 

Aku mengangguk, aku berusaha untuk bisa menjaga itu. Aku mencium punggung telapak tangan ibu. Pamit berangkat. Mulai menghidupkan motor. Memakai helm. dan Mengucapkan salam.

"Ingat Lam, jangan pernah sembarang mengumbar kata-kata cinta sebelum kau siap menikahinya." Ucap Ibuku tegas setelah menjawab salamku.

Aku mengangguk memikirkan perkataan ibu.

  

Kesaksian langit

Sebagai langit yang terbentang luas, aku bebas melihat apa saja ke bawah. Betapa menyenangkan sekali memantau aktivitas makhluk hidup dari atas ini -terutama tingkah polah manusia. Allah dengan segala kuasanya mentakdirkan aku bisa menggantung tanpa tiang dan menyaksikan apa-apa yang terjadi di bumi. Untuk itu aku sangat bersyukur.

Ketika menyaksikan tingkah polah manusia beraktivitas di bumi, terkadang aku tersenyum, -kondisi cuaca berarti sedang biru berawan. Tertawa, -sedang tidak terik tidak pula mendung. Berduka, -sudah pasti gerimis, bahkan hujan lebat. Atau sebal sekali, -petir, guntur menggelegar ke sana kemari. Menyambar apa saja yang aku kehendaki.

Coba tebak bagaimana dengan keadaan wajahku hari ini? Sepagi tadi aku tersenyum, mendegar dua hati manusia sedang berdoa diam-diam. Membisikkan pesan-pesan permintaan kepada Allah untuk hal yang sama. Mereka minta dipertemukan. Bahkan yang laki-laki gigih sekali nada suara hatinya. Sedangkan yang perempuan sedikit resah. Cemas. Mungkin memang begitu, perempuan akan jauh lebih cemas menunggu jodohnya.

Aku pernah melihat keduanya tidak sengaja berpapasan. Yang perempuannya menundukkan pandangannya. Yang lelaki tidak berani menatap lama-lama. Lucu sekali melihat kelakukan mereka. Aku tidak tahu apakah Allah berbaik hati mentakdirkan mereka berdua bersatu. Aku hanya bisa membantu, membuat suasana agar lebih nyaman. Awan-awan kubiarkan berarak cerah ke sana kemari. Bagaimana pun doa yang baik akan selalu didukung langit.

Nah, sekarang mari kita pantau dua manusia tadi. Keduanya baru saja menunaikan shalat Dhuha. Si lelaki merebahkan badannya menatap langit-langit. Dan mulai berbisik-bisik. Hatinya mulai berkata-kata.

Perihal mencarimu, aku berusaha memaksimalkan waktu yang kupunya. Tidak hanya terfokus untuk menemukanmu. Aku pergunakan waktu yang ada untuk sekalian mempelajari, mengamati, memahami banyak hal. Mencoba tantangan baru dalam setiap kesempatan sepanjang perjalanan pencarian. Sebab aku tidak ingin waktuku habis sia-sia hanya untuk mencari tanpa menambah bekal pada diri sendiri. Dan ketika ternyata takdir berkata lain, kau tak jua berhasil aku temukan. Semoga saja aku tidak terlalu berkecil hati. Boleh jadi ada hal lain yang lebih menarik perhatian, yang aku temukan. Sekalipun tidak, aku sudah lebih dari cukup menambah pengalaman, pemahaman hidup. Bahwa tidak selamanya misi pencarian akan berakhir dengan apa yang diinginkan, mungkin saja akan mendapat yang sebenarnya lebih dibutuhkan.

Aku menyunggingkan senyum, sudah seharusnya begitu. Banyak manusia lain hanya sibuk mencari apa yang mereka inginkan, tanpa berusaha lebih dulu memperbaiki diri. Akhirnya mereka hanya sibuk mencari, habis sudah masa waktunya, tidak juga menemukan yang ia inginkan. Padahal jika saja sambil memperbaiki banyak hal, mungkin diperjalanan mereka menemukan sesuatu yang sebenarnya lebih dibutuhkan. 

Aku dukung manusia satu ini, untuk itu awan-awanku bertambah cerah untuknya. Mari kita pantau si perempuan yang ia sukai diam-diam. Perempuan itu masih melipat kain mukenanya. Sama, sambil berbisik-bisik menunduk. Hatinya berkata-kata.

Perihal menunggumu, aku tetap menghargai waktu. Memupuk kesabaran dengan sembari mempersiapkan, memperbaiki, menata banyak hal. Agar ketika kamu datang dengan senyuman, kamu akan tinggal dengan lebih nyaman. Sekalipun takdir berkata lain, pada akhirnya bukan kamu yang datang, tak mengapa. Siapa tahu ada orang lain yang dikirim Tuhan untuk menggantikanmu. Ia yang lebih pantas menghargai kesabaranku menunggu, ia yang lebih berhak menikmati kenyamanan tempatnya yang baru. Bersamaku.

Aduhai, ideal sekali ini pemahaman keduanya. Cocok-cocok. Aku tertawa senang mendengarnya. Hei, sudah seharusnya begitu. Sebagai perempuan yang hatinya lebih lembut, yang pertahanannya lebih mudah rapuh, sudah seharusnya lebih kreatif dalam menunggu. Menyiapkan banyak hal. Agar jika tidak sesuai harapan sudah punya obat penawarnya. Benar-benar, bukankah hati seorang perempuan memiliki ego yang lebih susah menerima keadaan? Nah, hanya hati yang tangguhlah, hati yang memiliki pemahaman baik itu yang punya penawarnya sendiri. Hati yang tidak gampang cengeng. Aku salut, sangat salut. Aku tertawa mendengar penuturan hati perempuan ini. Ah, suasana yang tidak mendung juga tidak terik memang kadang lebih menenangkan.

Aku jadi lebih bersemangat mendengar kata hati mereka. Ini seru. Ya Allah ya Rabb, Engkau Maha Mendengar sekecil apapun bisikkan hati manusia. Tidakkah Engkau berkenan menyatukan keinginan keduanya?

Duhai waktu yang telah menguji ketabahanmu, sungguh kelak aku akan berterima kasih. Karena waktu setia menghiburmu menanti kedatanganku. Duhai engkau hati yang telah teruji, doakan aku agar aku bisa mengganti waktu luangmu untuk sabar menungguku, dengan senantiasa meluangkan waktu untukmu, merajut kebahagiaan yang sama-sama kita tuju. Meski itu tidak sepadan dengan pengorbananmu untuk tetap percaya bahwa aku memang akan datang menujumu.”
 
 Lihat-lihat, Oh Tuhanku. Lihat kata-kata hati mereka. Kata hati lelaki itu begitu penuh penghargaan. Begitu berharap dalam kesungguhan.

Kamu tak perlu giat menjadi apa. Tak perlu mengusahakan membawa apa. Berusaha saja untuk tetap menyentuh hatiku. Jika sudah begitu, tentu saja kamu datang dengan apa adanya pun, kamu sudah lebih dari cukup untuk membahagiakan aku.

Dan lihat-lihat, Maha KuasaMu Tuhan. Jika saja mereka bisa melihat doa-doa mereka sedang saling bersahut-sahutan di langit. Saling mendukung satu sama lain mengetuk kasih sayangNya. Niscaya hati mereka jauh lebih tenang. Tidak ada lagi hati yang begitu resah mencari. Tidak ada lagi hati yang bermuram resah menunggu.

Tapi bagaimana pun aku tahu skenarioMu lebih indah ya Rabb. Beruntung sekali aku ditakdirkan menjadi langit yang bisa menyaksikan itu semua. Melihat tali kasih itu tumbuh bersimpul. Aku akan tetap menjadi saksi untuk mereka berdua. Dua hati yang begitu percaya akan takdirnya, akan jodohnya dengan meminta langsung kepada pemilik alam semesta. Hingga cinta mereka merekah sempurna

Rasa-rasanya sepanjang hari ini wajahku akan cerah. Ah semoga saja. Asal jangan melihat ada yang bergandengan tangan saja. Jelas-jelas belum ada izinNya. Aku tersenyum.


  

Review Buku Benang Merah

Seperti sudah sama-sama kita ketahui, dan betapa pentingnya agama kita menganjurkan hal ini. Bahwa setiap perbuatan, amalan, ibadah, tingkah laku kita sehari-hari harus diiringi dengan pemahaman ilmunya. Agar apa-apa yang kita kerjakan lebih banyak memberikan manfaat, menimbulkan kebaikan-kebaikan untuk sesama -khususnya untuk diri pribadi. Dan yang terpenting agar apa yang kita lakukan tidak berujung sia-sia.

Selain dengan mempelajari ilmunya, kita bisa dapat pemahaman baik itu dengan membaca, mendengar ataupun melihat pengalaman orang lain. Mengambil pelajaran, hikmah, pesan-pesan yang baik dari kisah mereka. Agar langkah kita ke depannya atau jika sedang mengalami hal yang sama jadi lebih mantap. Memperteguh keyakinan. Ibaratnya, pengalaman itu adalah lentera yang mengiringi perjalanan kita, sedangkan ilmu adalah sumbu yang membuat lentera itu tetap menyala sampai tujuan.

Sebenarnya mau ngebahas apa sih Zie? Tumben jadi serius begini?

Nah, dari dua paragraf pembuka di atas, mari kita ambil BENANG MERAH-nya.

Buku Benang Merah (Gramedia Botani Square Bogor - stok 39 pcs tanggal 231113)
Keterangan Buku:
------------------------
Judul: BENANG MERAH, ketika sepasang hati bertemu
Pengarang: Nurmayanti Zain
Penyunting: Dewi Widyastuti
Desainer: Meita Safitri
Ilustrasi Cover: Apple Heart Illustration (Ulfa Febryanti Zain)
Penerbit: Qibla (Imprint PT Bhuana Ilmu Populer)
Ukuran: 14 x 22 cm
Tebal: xviii + 126 halaman
ISBN 10: 602-249-391-9
ISBN 12: 978-602-249-391-4
Terbit: November 2013
Harga: Rp 31.500,-

Pemilik Kisah:
Hima Rain, Ahmad Fauzi, Rezky Batari Razak, Muhammad Scilta Riska, Annur El Karimah, Irda Handayani, Abdur Rosyid, Hariyanto Wijoyo, Ar Rifa’ah, Haris Samaranji, Abi Sabila, Jiah Al Jafara, Siti Rahmadayanti, Arrabby Ahmady, Nurul Fadilah, Dina Desriany, Insan Robbani, Sun, Wawan Setiawan, Alaika Abdullah, Mugniar Marakarma

------------------------
Penggalan Cerita:
------------------------
Ini kumpulan kisah cinta yang menginspirasi. Ditulis untuk menemani masa penantian sekeping hati, mengungkap benang merah dua hati dan mengawal ketika sepasang hati berikrar.

Entah ini kebodohan atau kegundahan. Seperti dalam sebuah pepatah cinta. Katanya, “Cinta tidak pernah mengikuti sajak atau alasan. Tidak peduli seberapa besar perasaan cinta yang tertanam di hati, ketika kau tidak memberitahukannya maka itu tak akan ada artinya. Jadi jika kau mencintai seseorang atau sangat mencintainya, nyatakanlah cintamu dengan baik.”

Bagai mengurai benang kusut, perlahan kau masuk dalam kehidupanku dan menatanya kembali. Tanpa kata, kau sukses merasuk ke relung hatiku. Karenanya aku bertekad, untukmu, semoga aku bisa mengungkapkan cintaku dengan baik.

 ***

Nah, itulah Benang Merah yang saya maksud. Untuk kalian yang sedang berencana menggenapkan kisah cintanya ke jenjang pernikahan, atau sedang memikirkan, mencari tahu, menerka-nerka sebenarnya apa sih itu c.i.n.t.a, yang seharusnya dibawa ke ikatan yang lebih sunnah. Buku Benang Merah ini bisa menjadi acuan untuk membaca, melihat, mendengar pengalaman-pengalaman tentang itu. Tentang benang merah kisah yang mengutuhkan dua hati menjalin ikatan lebih hakiki. Ini bisa disebut, pengalaman, pemahaman dari segelintir kepala yang belajar memahami, bahwa untuk saling mengenal tidak harus dilalui dengan jalur pacaran. Untuk menemukan cinta tidak harus ditempuh dengan berdua-duaan ke sana kemari sebelum ada ikatan halal.

Buku benang merah ini disulam dengan sangat baik oleh penulis : Nurmayanti Zain (pemilik blog Kemilau Cahaya Emas). Di dunia maya orang-orang lebih mengenalnya dan memanggilnya Putri Cahaya. Betapa di awal bab saya dibuat tersenyum, tertawa oleh kisahnya, rupanya di istana Putri Cahaya pernah ada diskusi panjang tentang definisi cinta, dan dibahas dengan latar belakang profesi yang berbeda. Sungguh menggelitik hati, membuka pemahaman-pemahaman baru. Lalu di bab selanjutnya, jangan tanya, lagi-lagi tulisan Nurmayanti Zain membuat saya merenungi banyak hal. Ah, pokoknya beli dan baca saja jika ingin tahu lebih banyak. Kalau perlu main-main saja ke blog pribadinya  penulis : nurmayantizain.com

Dua buku penulis yang sudah resmi jadi koleksi taman baca pribadi saya :) (Kemilau Cahaya Emas - Benang Merah)
Note : Keterangan buku hingga penggalan kisah saya copast dari blog penulis.


  

November 19, 2013

Perjalanan mengembalikan 6hak

Lepas shalat shubuh berjamaah, beberapa orang masih terlihat khusyu dengan aktivitasnya. Bertadarus, menengadahkan kedua tangan atau sekedar tidur-tiduran di dalam masjid. Ini hari ahad, mereka tidak ada kewajiban untuk berangkat melakukan aktivitas formal, seperti bekerja, sekolah, ngampus dan sebagainya.

Begitu juga dengan dua pemuda yang akan kita ceritakan kali ini. Sebut saja mereka Lam dan Jim. Mari kita ikuti aktivitas apa yang mereka lakukan seharian ini. Apa menarik? semoga saja.

Terlihat Lam baru selesai meneruskan tadarusnya, kemudian membangunkan Jim yang sepertinya sebentar lagi pulas. 

"Daripada cuma tidur-tiduran, lebih baik ikut aku." Ajak Lam sembari membenarkan posisi pecinya.

Benarkah ia? Siapa yang tahu?

Setiap pribadi pasti memiliki pertanyaan yang sama dalam hidupnya. Salah satunya tentang teman hidup. Sosok jiwa lain yang pada akhirnya melengkapi sisi kesepian. Yang menyempurnakan rasa yang dulunya lebih banyak menyendiri. Ia yang layak menemani kita mengisi setiap jengkal sisa kehidupan. Menggenapkan isi hati.

Yang belum menemukannya sedang sama-sama menunggu alur waktu menjawab pertanyaan yang membenak itu. Siapa dia? Apakah berasal dari sosok asing yang selama ini belum pernah kita kenal. Hingga kemudian dekat dan pada akhirnya terpilih oleh hati, memenangkan perasaan. Benarkah ia? Siapa yang tahu?

Ataukah ia masih bertemakan seputaran masa lalu. Ia yang sempat menawarkan diri untuk lebih saling mengenal dan pada suatu hari entah memiliki keberanian apa untuk mencabut pernyataannya sendiri. Ia yang pernah dengan sengaja memutuskan ikatan tali yang pernah ia simpulkan sendiri. Kemudian pergi. Benarkah ia? Siapa yang tahu?

Atau mungkin ia adalah sosok yang beberapa waktu ini sering kita lihat. Sering bertemu. Meski belum saling mengenal lebih lanjut. Atau sebatas menyapa ketika sedang ada keperluan. Entah karena tugas, entah karena pekerjaan, entah hanya sepintas bertanya satu dua hal. Benarkah ia? Siapa yang tahu?

Atau pribadi lain yang sampai detik ini belum sama sekali terbayang dalam pikiran. Belum sama sekali terlihat oleh pandangan mata. Ia yang masih memunggungi kita dengan segala penjuru sisi gelapnya. Benarkah ia? Siapa yang tahu?

Sungguh semua praduga itu masih dalam bentuk lembaran-lembaran pertanyaan. Yang seiring waktu kita sama-sama percaya akan ada jawaban yang melegakan. Hanya mencoba menyimpulkan satu hal, selamat untuk siapa saja yang sudah digembirakan waktu menemukan separuh dari sisi jiwanya. Jagalah selalu, sebagaimana pertama kali ingin mendapatkannya. 


  

INGIN DITEMUKAN SAJA

Kendati menunggu adalah perihal mendapatkan sesuatu, aku tidak ingin menghabiskan waktu dengan menunggu yang semu. Sekalipun mencari adalah langkah untuk menemukan sesuatu, aku tidak berharap sisa waktu luangku hanya untuk mencari yang bukan tujuanku.” 
— 
Sungguh jika bisa memilih, aku lebih ingin ditemukan saja. Tidak merasa perlu berlama-lama menunggu, tidak harus bersusah payah mencari. Aku ingin ditemukan saja dengan segera. Hingga sisa waktu hidupku jauh lebih bermakna, berwarna, berharga.

Tapi aku sadar inilah hidup, jika kau tidak ingin menunggu kau harus mencari. Jika malas mencari kau harus sabar menunggu. Jika memilih untuk tidak melakukan apa-apa. Sisa hidupmu sungguh benar-benar sia-sia tanpa mendapatkan apa-apa.

  

Tulislah lebih banyak lagi.

Duhai engkau yang biasa merajut kata demi kata menjadi sulaman yang bermakna. Tetaplah menulis, penuhilah kata dengan pesan-pesan yang meluluhkan ego manusia. Yang membawa pemahaman, bahwa selalu belajar memperbaiki diri adalah jalan untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Duhai engkau sang dalang pena, ceritakanlah terus kebijakan-kebijakan alam, hikayat-hikayat pelajaran masa silam untuk bekal manusia-manusia yang masih saja buta arah menuju masa depan.

Goreskanlah tintamu lebih banyak lagi. Kisahkan banyak hal. Tulislah. Dan biarkan kami yang meluangkan waktu membaca setiap jeda kata-katamu. 

Dari yang sedang kehausan kata-kata bermakna.


  

KESABARAN ADALAH GARANSI TERBAIK

Kepada doa-doa yang melambung ke langit, bersabarlah, terus melaju hingga Tuhan mengabulkannya satu-satu.

Kepada rasa yang tersembunyi di hati, bersabarlah, pada waktunya semua merdeka. Tidak selamanya terpenjara di jiwa.

Kepada rindu yang terus menerus memanggil temu. Bersabarlah ada masa segala yang dirasa mengecap manis putik-putik cinta.

Sebab kesabaran adalah garansi terbaik untuk menyelamatkan apa-apa yang selalu dijaga, tetap terpelihara, dari matang dan keluar sebelum waktunya. 

Maka izinkan aku melapadzkan rasa, sebelum terlanjur sulit untuk diterjemah kata. Izinkan aku menyampaikan asa, hingga waktu membawa kabar baik terkabulnya doa-doa.

Fungsi doa untuk orang lain itu seperti dua mata koin. Jika tidak tepat untuk kebaikannya, pasti tepat untuk kebaikanmu. Untuk itu teruslah berdoa untuk kebaikan kita bersama.

 
 

Per(pisah-temu)an

Langit petang sedang begitu muram. Seakan malam malam datang lebih awal dari biasanya. Aku lihat seseorang sedang termangu di tepian kolam pengembangbiakan ikan patin. Entah sedang memikirkan apa. Baru kali ini aku melihatnya. Aku menghampirinya, bukan niat untuk mengganggu. Memang sudah jadwalku untuk memberikan makan ikan-ikan itu, sebelum langit kapiran menurunkan amunisi hujannya.

Ia hanya menoleh sepintas ke arahku. Ia tidak merasa terganggu, meski sepertinya tidak ada niatan untuk sekedar basa-basi menyapaku.

Aku berkeliling kolam menyebar pakan secara merata. Menyenangkan sekali ketika melihat ikan-ikan itu berenang ke sana kemari berebut jatah makanan dengan teman-temannya. Makannya lahap, aku rasa sekitar tiga mingguan ke depan sudah bisa dipanen. 

November 18, 2013

Membuat permainan

"Halooo perempuan keras kepala."

Baru saja senyuman ini akan berkembang karena melihat sebuah nama tertera dalam kotak pesan. Urung saja ketika membaca pesannya. Ada yang mulai mengajak perang lagi rupanya.

"KENAPA LELAKI KAKU?" aku sengaja menulisnya besar-besar. Meski tidak dipungkiri hati tetap senang karena ia yang menghubungi. Mungkin inilah caranya kami berkomunikasi. Beberapa menit kemudian rangkaian sms pun saling kait berkait.

"Jiah segitunya, bosan nih menunggu dosen pembimbingnya."

"Terus?" Aku melanjutkan membaca buku.

Ada sapa yang lebih nyata

Tidak ada yang lebih sepi ketika detak-detik jarum jam terdengar begitu jelas. Dan waktu seakan melambat ketika sedang merasa tidak ada lagi yang bisa dikerjakan selain menunggu rasa kantuk datang secara alamiah.

Pukul delapan malam, jadwal rutin menulisku sedang tidak jalan. Perangkat penunjangnya sedang pindah tangan. Rasanya aneh sekali kalau harus menulis manual melalui 'bibir' pulpen. Ah, dasar saja jemari ini sudah terlalu manja.

Yang tengah ditunggu

Jika ada waktu senggang, sempatkanlah kalian mengunjungi pematang sawah. Di kala senja, jika langit sedang berbaik hati, tidak ada hujan yang turun. Kalian akan dapati sekumpulan burung yang sedang giat mengepakkan sayapnya ke sana kemari. Menunggu panggilan.

Musim ini memang musim yang benar-benar membuat lelah. Maka alternatif terbaik jika hanya ingin mengusir gerah, menikmati sepoi-sepoi angin dari lambaian pelepah kelapa. Dan tentu dari pohon-pohon lain yang tumbuh di galengan sawah. 

November 14, 2013

Nasehat nenek tentang pendamping hidup

Setiap akhir pekan seperti biasanya aku dengan adik perempuanku mengunjungi kediaman kakek-nenek dari ayah. -Kakek-nenek dari ibu sudah tiada. Selepas Isya biasanya kami mengisi waktu dengan berkumpul di depan teras rumah. Ada bale-bale bambu yang cukup lebar di sana. Lampu minyak menerangi kebersamaan kami.

Langit sedang cerah, bintang nampak gemerlapan menemani bulan yang menyerupai kantung doraemon. Binatang malam riang bersiul. Aku memijat-mijat betis kakek yang merebahkan badannya di atas bale-bale. Sedangkan nenek terlihat sibuk dengan parutan kelapanya. Nyamuk cukup aktif menyerang kami. Desiran angin tidak menghalangi mereka untuk tidak agresif mencari makan.

November 12, 2013

TAK LUPUT DARI PERHATIAN-MU



Aku percaya, penggenggam jiwa-jiwa yang hidup adalah Dia.

Aku menjalani takdirku di tempat ini, tumbuh dan besar sebatang kara. Di tengah-tengah lapangan luas yang permukaannya sudah hampir separuh beraspal. Ketika matahari sedang terik-teriknya, tubuhku seakan terbakar. Berada di antara aspal-aspal yang terbakar panas bukan lah pilihan yang menyenangkan bukan? Belum lagi hampir setiap hari harus mau menghirup polusi-polusi kendaraan yang berlalu lalang, tidak memedulikan keberadaanku.

November 11, 2013

ISTANA REZEKI

Selain itu Syauqi mencontohkan kebiasaan sederhana, menunaikan shalat Dhuha sebelum bekerja. Suatu ketika Roni seorang office boy baru, tertangkap basah sedang memperhatikan Syauqi berdoa dengan khusyu di mushalla.
“Ma… maaf Pak.” Roni tampak malu dan takut sang direktur akan memarahinya.
“Ada apa Ron? Kamu mau shalat juga? Silakan.” Tanya Syauqi sambil beranjak dari sajadah.
“Oh nggak Pak, saya cuma lewat saja. Bapak selalu mengerjakan Dhuha ya?” Roni menyampirkan celemeknya di pundak, sesekali merapikan rambut yang panjangnya sudah melebihi daun telinga.
“Bagi saya, Dhuha itu ibarat kunci Ron. Kalau kamu mau memasuki sebuah istana megah dan melihat isinya, tanpa kunci kamu nggak akan bisa masuk bukan?
Roni tampak mengerutkan dahi, rupanya perkataan sang direktur terlalu sulit untuk ia cerna.
“Tapi Pak, maaf… kalau bukan saya yang punya istana itu gimana?”
Syauqi tersenyum, rupanya pertanyaan itu berhasil memancing lawan bicaranya jadi ingin lebih tahu.
“Begini, kalau istana itu memang bukan milikmu, tetap kamu bisa masuk. Dengan syarat, kamu harus permisi dulu kepada pemiliknya, tentu dengan cara yang santun. Nah, sekarang ibaratkan saja istana itu adalah gudang penyimpanan rezekimu, dan jadikan Dhuha sebagai  cara permisimu yang paling sopan. Agar pintu rezekimu dibukakan dengan selebar mungkin oleh pemiliknya. Siapa tahu yang punya istana tersentuh dengan caramu bertamu, kemudian berbaik hati memberikan singgasana dan isi-isinya untukmu.”
            “Oh gitu ya Pak.” Roni mulai mengerti. Aamiin ya Allah.”
“Masuk rumah sendiri saja kita dianjurkan untuk berucap salam, meskipun tahu nggak ada orang. Apalagi masuk istana besar.
Iya Pak terima kasih banyak. Kalau gitu saya permisi, mau shalat dulu.” Roni tampak sumringah. Ia memang sedang gundah karena belum mengirimkan uang ke kampung, perkataan sang direktur seakan membentangkan jalan keluar untuk persoalannya itu.
“Oh... iya Ron. Sebentar.
“I... iya Pak?” Roni agak terkejut.
“Alangkah baiknya kalau mau bertamu ke istana, rambutmu di cukur dulu biar lebih rapi.” Syauqi menyindir secara halus rambut OB-nya yang sudah tampak gondrong.
“Oh iya Pak, besok saya cukur. Maaf.” Roni salah tingkah dengan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Buru-buru ia mengambil wudhu, sampai tidak sadar celemeknya terjatuh.
Syauqi hanya menggeleng geli memperhatikan tingkah OB-nya itu. Sejak itulah satu persatu karyawannya mulai terbiasa menerapkan Dhuha di sela-sela kerja mereka.  
***
*Koleksi cerita lama (NafAs2Masa) #Naskahyangtercecer