November 12, 2015

RINTIK 3 - SIKLUS



Waktu hujan turun.

"Hei, di sana hujan menyapa?" Deras mengusik ketenagan Rinai yang sedang mengetik tulisan terbarunya tentang hujan.

Dalam obrolan maya.

"Tentu saja. Bukan sekedar menyapa. Ia menemaniku hampir satu jam menuliskan cerita." Balas Rinai. Mengalihkan perhatian Deras yang sedari tadi membaca buku bertemakan hujan.

"Kali ini apa yang bisa dipelajari dari hujan?" Deras mulai membuat menarik percakapan.

Dalam obrolan maya.

"Hujan : triliunan rintik-rintik air yang turun dari awan. Suka datang tak terduga. Meski bukan di musimnya. Nyata terlihat wujudnya. Bisa dirasakan keberadaanya. Tapi saat triliunan air itu menguap. Pulang ke awan. Kita sama sekali tidak menyadari prosesnya."

"Seperti perjalanan hidup ini." Deras menandai halaman bukunya. "Seseorang datang silih berganti. Entah berasal dari mana. Orang asing yang menyapa hidup kita. Seiring berjalanan waktu. Banyak yang tiba-tiba pergi begitu saja. Kadang tanpa penjelasan apa-apa. Sampai kita sadar sudah tidak ada lagi keberadaanya."

Rinai menghela napas membacanya.

Dalam obrolan maya.

"Artinya kita tidak pernah memiliki apapun di bumi yang sedang di guyur hujan ini." Rinai menyimpulkan. Siap melanjutkan tulisannya yang tertunda.

"Semua yang datang hanya singgah. Cepat atau lambat akan pulang ke pemilik asalnya." Deras menambahkan kembali menekuni bacaannya.

Dan waktu seperti musim. Selalu berakhir. Ujar mereka dalam hati masing-masing.

Dan hujan pun semakin larut dalam deras.




RINTIK 2 - DERAS & RINAI


Kisah kali ini di latarbelakangi oleh guyuran hujan. Tentu saja hujan pertama setelah berbulan-bulan kemarau adalah sesuatu yang spesial di nanti kehadirannya. Termasuk oleh dua nama manusia yang menjadi tokoh utama kisah ini.

Yang pertama adalah Deras. Pemuda optimis kebanggaan kota ini. Ia tersenyum melihat siluet kilat di antara awan hitam yang berarak. Dari balik jendela kantornya. Itu pertanda baik. Hujan yang telah lama di tunggu akhirnya datang bertamu.

Yang kedua gadis berhati paling lembut yang dimiliki kota ini. Rinai, orang-orang biasa memanggilnya. Di waktu bersamaan. Di kota yang sama. Kota hujan. Di gedung kantor yang berdekatan - hanya terpisah oleh sepetak tanah lapang. Rinai tidak kalah manis senyumnya. Wajahnya sumringah ketika melihat beberapa tetes rintik gerimis jatuh sempurna di kaca jendela. Ruangan tempat ia sedang berdiri sekarang. Itu pertanda baik. Hujan yang setelah lama menghilang akan kembali menyapa.

Deras dan Rinai. Seandainya saja mereka tahu sedang merasakan hal yang sama belakangan ini. Ini akan menjadi kisah yang menarik. Seandainya mereka tahu sedang berada di kota yang sama. Sedang termenung di bingkai jendela gedung yang sama tingginya. Sedang sama-sama menarik napas perlahan. Mencoba membaui aroma tanah yang diterpa hujan. Seandainya saja mereka tahu itu. Seandainya.

Deras dan Rinai. Satu hal yang sama-sama sedang mereka tunggu kala hujan turun. Dan ingin dipastikan kepastiannya segera. Pesan apa yang akan di sampaikan hujan kali ini. Harapankah? Atau sekedar kenangan?

Seperti halnya genting-genting bangunan. Pucuk-pucuk dedaunan. Yang sudah rata disirami oleh rintik hujan. Deras dan Rinai pun mulai kebasahan. Hujan yang telah lama dirindu sedang benar-benar turun.

Dan mereka sedang kebanjiran perasaan.

Rahasia kecilnya. Sejauh ini Deras dan Rinai hanya saling mengenal lewat tulisan. Hanya sebatas nama pena. Tidak ada alamat rumah. Apalagi gambaran bentuk wajah.

Dan tulisan yang berperan membuat keduanya nyaman. Hingga berujung perasaan.


RINTIK - HUJAN

Namaku Hujan. Gumpalan awan pekat adalah rumahku. Tugasku sederhana, ketika datang perintah untuk turun. Aku merintik. Terjun bebas berdebam ke bumi. Ketika sudah waktunya kembali. Aku akan memuai di bantu cahaya matahari. Kembali melangit.

Aku Hujan. Banyak yang bilang aku egois. Akan tetap turun, tidak peduli dengan dengusan sebal orang-orang yang merutuki kehadiranku karena terhambat perjalanannya. Tetap tidak terlalu peduli meski ada sebagian lain yang bersyukur aku hadir menyapa genting dan halaman rumahnya. Karena jadwal aku bertugas adalah prioritas.

Aku hujan. Kadang datang perintah turun landai perlahan seperti halnya sedang terjun payung. Sampai bumi menjadi gerimis yang puitis. Kadang pula aku harus terjun bebas bak meteor bening berjatuhan. Melesat cepat menimpa apa saja. Jatuhku merusak sarana di sekitar manusia. Minimal membuat kulit mereka sakit.

Aku Hujan. Pujangga bilang aku penyampai pesan. Menjadi sumber inspirasi mereka menuliskan kata-kata romantis berbau gombalan. Kalimat puitis yang menawan. Di pena mereka lahir cerita-cerita penuh rasa. Mengupas tuntas filosofi tentangku. Terpikat oleh simponi irama tarianku.

Aku Hujan. Penggalau bilang aku pembuka gerbang kenangan. Tempat yang sebelumnya sekuat tenaga mereka kunci rapat-rapat. Segala macam bentuk perasaan mengendap di sana. Tentang rindu yang menggebu. Tentang kehilangan yang mengiris perih ulu. Tentang harapan-harapan yang tak jua bertepuk kepastian. Tentang surat cinta yang tak penah benar-benar terbaca.

Aku Hujan. Terkadang kehadiranku menjadi penyampai perasaan. Di lain waktu keberadaanku adalah harapan. Bagi siapa-siapa yang mengerti apa yang sedang dibutuhkan hatinya sendiri. Bagi siapa-siapa yang mengerti aku datang hanya sekedar singgah. Lambat laun aku pasti mereda. Aku selalu turun sesuai kadarnya. Dan yakin setelahnya perasaan-perasaan itu akan melega. Harapan-harapan itu akan kembali tumbuh tegak seperti semula.

Aku Hujan. Sudah kubilang aku egois. Kehadiranku kali ini nikmati saja. Jika tidak suka abaikan juga bisa.   Karena kali ini tugasku turun berdurasi lebih lama dari biasanya.

Aku Hujan. Dan aku pastikan akan menghujani kalian. Bersiaplah kebasahan.

Karena akulah Hujan.