Juni 28, 2013

Dunia yang risih

Dunia sudah terlalu ribut mendengar keluhan. Yang senantiasa bersyukur seakan memiliki pelindung untuk tidak terganggu kebisingan.

Bumi sudah terlalu renta diteriaki kemarahan. Yang senantiasa sabar seakan memiliki penyerap untuk tidak merasa kerisihan.



Juni 24, 2013

Pesan nyawa sebelum ajalnya tiba

Usiaku bertambah senja..
Dan kematian pastinya semakin mendekat saja..
Sedangkan manfa’at belum sedikitpun kalian dekap..
Tujuan hidup yang selalu mampu membangunkanku saban tejatuh dan terjerembab..

Selama napas masih di kandung badan, aku masih dibutuhkan untuk memberi peran kebaikan.
Selama waktu masih bergerak berdetak, selalu ada asaku untuk memperbaiki diri menjelajah kehidupan.
Selama jiwa masih terpanggil untuk menuju seruanNya, aku luruh bersimpuh bersujud mengharap ridho dan ampunanNya.


Juni 22, 2013

Di Pematang Hati

Di pematang hati, tanaman rindu rentan diserang hama ketidakpastian temu.
Di pematang hati, harapan-harapan tumbuh menghijau. Diberi pupuk doa setiap menjelang fajar dan sebelum surya tenggelam.
Di pematang hati, angin berseliweran membawa putik-putik bunga rasa. Ikhlas mengikuti arah angin, mencari pelabuhan yang sudah digariskan. 
Di pematang hati, ada aliran air yang terus mengalir. Dari kebaikan-kebaikan yang sengaja disiapkan si penanam.
Di pematang hati, ada musim yang tidak bersahabat. Badai hujan yang terlalu lebat. Memporak-porandakan ladang-ladang yang hampir menguning. Rebah terjerembab. Terhambat, terlambat.
Di pematang hati ada sepasang penunggu, tak jemu menanti ketepatan waktu. Bersama memetik hasil upayanya. Dalam panen yang sesungguhnya.
Di pematang hati ada cinta yang menjaga kesuburan ladangnya. Ada rasa yang mengikat janji-janji buah manisnya. Jawaban segala doa dan harapan-harapannya.

Juni 20, 2013

Kebiasaan yang mendokrin

Ada kebiasaan yang benar-benar mengganggu pergerakan.
Adakala merubah pola hidup sendiri yang menuntun jadi lebih baik itu tidak mudah.
Pun demikian, banyak yang hanya skak di tempat. Tak ke mana-mana, tak merubah apa-apa. Dengan dalih : sudah kebiasaan. 
Kebiasaan mendokrin itu semua.
Kebiasaan meracuni polah dan laku.
Bergerak.
Lawan kebiasaan lama yang menghambat.
Ubah kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru yang lebih baik.
Bergegas.

Juni 12, 2013

Arisan dan Anak Tangga (jodoh)



Cafe sedang tidak terlalu ramai. Memang waktu makan siang sudah lewat, jadi hanya beberapa orang saja yang masih menikmati makanannya atau sekedar memesan minum dan berbincang-bincang.
            “Terima kasih banyak loh Kak. Nasihatmu sangat berharga waktu itu. Entah bagaimana aku membalasnya.” Mata Mia membinarkan bahagia.
             Alhamdulillah, kebaikan itu datangnya dari Allah. Apa yang kamu rasa saat ini, itu buah dari kesabaranmu. Jadi kamu nggak perlu melakukan apa-apa Mi. Melihat kamu seperti ini saja itu sudah cukup membuatku bahagia.” Mata Najma ikut berbinar.
            “Oh iya, kenapa nggak kamu utarakan saja keresahanmu ke Kak Najma, Deb? Siapa tahu ada jalan keluar. ” Mia menyikut tangan Debrina yang sedang membaca dafar menu.
            Debrina mendelik ke arah sepupunya. Masih merasa canggung. “Eh, iya Kak....”
            “Memangnya ada apa?” Najma bertanya lirih. Sambil tangannya memanggil pelayan cafe untuk memesan makanan dan minuman.
            “Gini loh Kak. Debrina ini suka sok sibuk orangnya. Sampai-sampai lupa untuk menentukan pasangan hidup. Dan sekarang orangtuanya berkali-kali menanyakan hal ini. Teman-temannya juga ikut-ikutan bertanya. Dia risih dan nggak nyaman kalau ke tempat acara-acara pernikahan atau reunian. Sedikit-sedikit yang dibahas tentang nikah.” Mia sudah terbiasa bicara apa adanya di hadapan Najma dan sepupunya itu. Bahkan ia tidak khawatir sepupunya akan keberatan.
            Wajah Debrina bersemu merah. “Kenapa ya, difase usia kita ini seolah pertanyaan itu sangat pokok dan wajib ditanyakan oleh orang-orang. Kapan menikah, kapan menikah, kapan menikah. Seperti nggak ada pertanyaan lain.” Ia mendesah.
            Najma tersenyum, tanpa ada yang tahu hal itu pun kadang meresahkan hatinya. “Begini Deb, Mia. Anggap saja mereka itu jam beker untuk kita. Adakalanya ketika kita sedang benar-benar lelah. Lama tertidur. Bosan atau bahkan terlalu asyik dengan dunia sendiri yang keluar dari tujuan utama, kita butuh dibangunkan oleh orang lain. Untuk segera bangkit melanjutkan hal yang sudah tertunda itu. Sebagai pengingat, kalau ada yang seharusnya kita kejar. Nah, saat ini anggap saja orangtuamu sedang menjadi jam beker itu. Mereka dan teman-temanmu hanya sedang mengingatkan, jadikan saja itu bagian dari doa dan bentuk kasih sayang. Aku bicara ini bukan untuk hal menikah saja loh, bisa saja untuk hal yang lain. Mengejar cita-cita misalnya.”
            “Tapi kenapa Allah menentukan takdir kita misterius ya Kak? Nggak diberitahu urutannya saja gitu, biar kita nggak bertanya-tanya dan muncul pertanyaan ‘kapan’ itu?” Mia bertanya sambil menikmati kwetiaunya.
            “Iya, iya kenapa itu Kak?” Debrina menimpali. Ia menyeruput es teh manis dua kali tegukan.
            “Disitulah letak rahasia Allah. Itulah salah satu bentuk kasih sayang-Nya. Kalau menurut kita sih berurutan lebih enak. Umm... misalnya kita logikakan dengan anak sekolah. Anak berusia lima tahun mulai didaftarkan sekolah oleh orangtuanya. Sedangkan kakaknya yang berumur satu tahun lebih tua sudah duduk di kelas dua SD. Kalau dilihat sesuai urutannya, mereka akan melangkah seperti menaiki anak tangga. Adiknya naik kelas dua, kakaknya kelas tiga. Adiknya lulus kelas tiga, kakaknya mulai belajar di kelas empat. Begitu seterusnya sampai lulus. Nggak ada yang saling mendahului.”
            Najma menyeruput juice alpukat pesanannya. “Tapi beda dengan jodoh dan kematian. Bukan urutan seperti itu yang berlaku. Tapi sebuah ‘perjudian’ langit yang sudah ditentukan dari dulu. Kalau diibaratkan dengan arisan, nama-nama kita itu sedang berada di dalam sebuah gelas berisi daftar nama, ‘kocokan’. Mendebarkan, nggak ada yang tahu nama siapa yang akan keluar lebih dulu. Dan hanya dengan izin Allah lah pergiliran itu terasa adil. Makanya jodoh itu nggak ada yang tahu persis datangnya di usia keberapa. Dan siapa yang lebih dulu mendapatkannya. Begitu juga kematian, nggak ada yang tahu siapa yang lebih dulu harus berpulang. Hikmahnya ada harapan yang mengiringi itu semua, ada upaya untuk selalu memperbaiki diri. Ada kesadaran untuk selalu waspada. Ada hak untuk memilih dan menentukan keputusan. Bukannya anak sekolah tadi nggak bisa langsung memilih kelas berapa? Melainkan harus menaiki anak tangga satu persatu.”     
            “Waah iya benar. Tapi zaman sekarang masih ada loh Kak orangtua yang melarang anak gadisnya menolak lamaran. Apalagi kalau lamaran untuk pertama kalinya. Alasannya pamali, nanti jadi susah dapat jodoh, jadi perawan tua dan sebagainya. Banyak perempuan yang akhirnya merasa terkukung oleh pilihan orangtuanya. Padahal di hati nggak sepenuhnya menerima.” Mia menghabiskan sendok terakhir makanannya.
            “Nah itu yang aku nggak setuju dari dulu. Kesannya seorang perempuan nggak berhak mengambil pilihan. Padahal dia punya hak loh untuk menolak, apalagi kalau sudah yakin calon pemimpinnya itu nggak baik untuk agama dan anak-anaknya kelak, masa harus mau saja kalau ada yang datang memintanya jadi istri. Menurutku itu hanya bentuk kekhawatiran orangtua saja, yang sudah menjadi budaya sampai saat ini. Kalau memang dilarang menolak, lalu untuk apa Allah memberi cara terbaik mengambil keputusan dengan Istikharah? Padahal kalau jodoh nggak akan tertukar ya. Insya Allah kita sudah punya pasangan hidup masing-masing. Makanya sebagai perempuan kita perlu berdoa, semoga yang datang kelak adalah seorang ikhwan yang bisa memimpin, berakhlak baik. Kalau sudah begitu nggak ada alasan untuk menolak pinangannya. Terutama yang kita cintai.”
            “Aamiin ya Allah. Waaah beruntung bisa ketemu Kakak hari ini. Dapat banyak pencerahan.” Debrina berseru senang.

*koleksi lama diambil dari naskah NafAs2Masa