April 26, 2019

NAMANYA JUGA ANAK-ANAK

Kenapa kau habis wudhu bukannya masuk masjid malahan senyum-senyum sendiri.” Kalam menepuk punggung Jim yang ketahuan sedang memperhatikan anak-anak TPA yang sedang belajar shalat berjamaah.
“Bikin kaget saja kamu, Lam. Nggak, tadi merasa lucu aja melihat tingkah laku anak-anak tuh. Di luar tingkah laku mereka yang seringnya masih main-main dalam beribadah, ada saja yang membuat kita sebagai orang dewasa jadi merenung.”
“Misalnya?” Kalam mulai penasaran.
“Contohnya, tadi sewaktu wudhu ada dua anak yang hampir berantem gara-gara soal tumit. Yang satu ngasih tahu kalau wudhu temannya nggak sah karena dia lihat mata kaki temannya itu belum basah. Yang dikasih tahu juga ngotot kalau wudhu yang dia lakukan sudah benar. Ia merasa sudah membasuh semua kakinya bahkan sampai dengkul.”
“Terus menurutmu anak mana yang lebih benar?”
“Tadi sih pas diperhatikan si anak yang wudhu memang sudah basah dari dengkul hingga jari kaki. Tapi memang sebelah mata kakinya belum basah sempurna. Yang dia basuh cuma bagian kaki depan doang. Si anak yang menegor temannya juga sebenarnya wudhunya belum sempurna benar. Cepat banget udah seperti capung minum air.”
“Berarti kita masih punya PR untuk praktek wudhu lagi besok.” Kalam menyimpulkan.
“Nah, pas mau masuk masjid ada lagi anak-anak yang berantem. Yang ini lebih lucu lagi. Ada anak laki-laki yang main kejar-kejaran dan nggak sengaja menabrak anak perempuan yang sudah memakai mukena. Yang lain jadi ikutan ramai sambil berseru ‘batal tuh wudhunya kan kena kulit’. Anak perempuan yang ditabrak keliatan masygul karena merasa udah pakai mukena malas bukanya lagi.”
“Waduh ada-ada aja mereka.”
“Lucu melihat tingkah mereka yang secara nggak langsung lagi menerapkan hukum fiqih. Walaupun sebenarnya usia mereka masih jauh dari baligh.”
“Iya betul, Jim. Kita yang sudah lama baligh malah seringnya nggak hati-hati ya. Menabrak hukum ini itu.”
“Nah, itu yang tadi aku maksud jadi merenungi banyak hal. Kita masih suka susah menjaga diri bersentuhan dengan yang bukan mahrom. Baik yang nggak sengaja apalagi yang terang-terangan berjabatan tangan. Padahal di luar punya wudhu pun sudah haram hukumnya. Innalillah.”
“Betul sekali, Jim. Belum tentu wudhu kita juga sudah sempurna ya. Masih harus banyak belajar menjadi muslim yang kaffah. Yang menerapkan ketentuan-ketentuan dalam islam secara menyeluruh. Nggak sekadar maunya mengambil yang ringan-ringan saja. Yang memberatkan nafsu malah diabaikan.”
“Betul sekali, Lam.”
@azurazie_

April 25, 2019

MUNGKIN MEMANG TIDAK SEBERAPA


Waktu sudah menunjukkan pukul 21 lebih 15 menit, sudah cukup larut untuk para pekerja yang seharian berjuang untuk menafkahi diri sendiri dan keluarganya. Aku satu di antara yang selarut ini belum sampai rumah. Perjalanan cukup macet, sehingga aku memutuskan menepi untuk sekadar mencari minuman dingin di salah satu minimarket yang cabangnya makin menjamur saja.

Toko ini sedang tidak terlalu ramai, di depan kasir hanya ada satu pelanggan yang sedang bertransaksi. Seorang bapak yang aku taksir usianya sekitar 40-42 tahun. Kebetulan tadi masuknya berbarengan denganku. Ia membawa beberapa berkas di tangan kirinya.

Si bapak tersebut membeli beras 5kg, susu formula, tissue, dan 2 snack ukuran 200gr. Meski belanjaannya hanya 5 item produk, tapi transaksi itu belum juga selesai. Setelah diperhatikan, ternyata si bapak membayar dengan kartu debit. Dan mesin EDC-nya seperti sedang bermasalah, sehingga prosesnya gagal terus.

Ada yang menarik dengan transaksi yang sedang aku perhatikan ini. Sejak pertama masuk toko ini, aku menilai si penjaga kasir (laki-laki usianya sekitar 30-31 tahun) pelayanannya tidak terlalu ramah. SOP standartnya tidak jalan. Seperti 3S yang menjadi kewajiban sebagai pelayan di sebuah minimarket pun tidak ia jalankan.

Beberapa kali si penjaga kasir ngedumel sendiri, karena mesin EDC yang bermasalah. Si Bapak pembeli terlihat begitu sabar sembari menahan kantuk dan berulang kali melirik jam tangan. Sudah pasti keluarganya sudah menunggu di rumah.

“Ada uang cash, aja pak?” tanya si penjaga kasir tanpa memandang ke arah pembeli.

“Totalnya berapa emang?”

“64 Ribu, Pak.” Si penjaga kasir mengembalikan kartu ATM.

“Ya udah saya ke atm dulu.”

Kebetulan di dalam toko memang tersedia mesin ATM salah satu Bank. Kena biaya admin tambahan karena tarik tunai antar Bank.

Sembari menunggu si bapak tadi menarik uang di ATM, aku maju untuk bertransaksi. Tidak banyak yang aku beli, satu minuman dingin, satu lagi roti isi strawbery. Tidak lama kemudian si Bapak tadi kembali ke meja kasir dan menyodorkan dua lembar pecahan 50an.

“Kembaliannya pak 46ribu.” Si penjaga kasir memberikan uang 2 lembar pecahan 20an dan 3 lembar pecahan 2 ribuan, lengkap dengan struk belanjaannya.

“Terima kasih.” Jawab Si Bapak sambil siap-siap membawa belanjaannya. Tangan kanan membawa beras, tangan kiri ada berkas dan 4 belanjaan lain. Kebijakan baru walikota sudah melarang menyediakan kantung plastik untuk membawa barang belanjaan.

Melihat si bapak sepertinya kerepotan, aku menawarkan diri untuk membantu membawakan sebagian belanjaanya. Tapi, si bapak menolak dengan ramah karena merasa masih mampu sendiri. Aku hanya membantu membukakan pintu keluar saja.

Sesampainya di parkiran tiba-tiba si Bapak berhenti.

“Ada apa pak? Apa ada yang ketinggalan?” tanyaku basa-basi.

“Ternyata uang kembaliannya kelebihan 10ribu, nak.” Si bapak terlihat memastikan ulang hitungannya. “Kalau sekiranya sedang tidak buru-buru, bapak minta tolong, jagain sebentar barang-barang ini ya, nak.”

Aku mengangguk bersedia dan memperhatikan si bapak masuk kembali ke dalam toko demi untuk mengembalikan uang kembalian yang lebih. Masya allah, aku tersenyum memperhatikan kejadian ini. Meski sudah semakin larut, dan sudah pasti merasa lelah karena aktivitas seharian. Masih ada yang teliti dan bersedia untuk mengembalikan sesuatu yang bukan menjadi haknya. Meski mungkin untuk sebagian orang uang 10ribu itu nilainya tidak seberapa.

“Terima kasih loh, Nak sudah dibantu.” Kata si Bapak setelah kembali ke parkiran. “Alhamdulillah, Allah masih menjaga bapak.”

“Maaf, maksudnya gimana, pak?” Aku penasaran ingin tahu.

“Iya, Allah masih menggerakkan hati bapak untuk teliti menghitung kembalian. Jadi hak orang lain tidak terbawa pulang sampai rumah.”

“Walaupun hanya uang selembar senilai 10ribu ya, Pak?”

“Bagi karyawan toko tadi, selembar 10ribu itu bisa jadi sangat berarti, Nak. Karena termasuk gaji hariannya. Yang sudah menjaga amanah toko ini selama 8 jam kerja. Sedangkan bagi kita mungkin tidak ada apa-apanya, tidak banyak menambah tabungan atau terlalu sedikit juga untuk tambahan uang belanja. Tapi, satu lembar itu bisa jadi sumber penyakit yang bisa termakan oleh keluarga kita di rumah. Rezekinya jadi tidak berkah. Alhamdulillah, Allah masih menjaga keluarga bapak dari kemudhorotan yang bisa saja timbul karena hal itu.”

“Masya Allah, Pak. Terima kasih atas nasihat berharganya ini.” Kataku benar-benar merasa beruntung mendengarnya.

“Sama-sama, Nak. Bapak sedang mengingatkan diri sendiri. Mari lanjutkan perjalan lagi. Masih jauh toh sampai rumah?”

“Lumayan jauh, Pak.”

“Kalau begitu hati-hati di jalan. Bapak duluan.” Si Bapak pamit lebih dulu meninggalkan parkiran

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam.”

Aku tersenyum seraya berdoa, semoga selalu termasuk golongan orang-orang yang mampu menjaga diri dari amanah. Ada amanah dalam diri sendiri, yaitu memastikan tidak ada barang yang haram, bukan milik sendiri yang termakan atau terpakai oleh kita. Ada amanah dalam diri sendiri untuk menjaga keluarga juga dengan hal yang sama.


@quotezie



TENTANG BUKU

Kurang lebih 9thn lalu, saya punya mimpi memiliki ruang baca pribadi dengan rak dan buku-buku yang banyak. Saya membayangkan, di masa depan, ketika keluarga bertambah generasi. Anak-anak lahir, mereka akan tumbuh di lingkungan yang tidak asing dengan keberadaan buku. Dengan orang tua yang notabene-nya gemar membaca. Saya membayangkan akan ada waktu-waktu dimana kami berkumpul dalam satu ruangan dan mulai asyik dengan membaca buku masing-masing. Berjam-jam hingga mata mulai lelah. Di selingi dengan pertanyaan-pertanyaan polos mereka, tentang sesuatu yang mereka belum paham dan menarik di dalam buku tersebut.

Dan mulailah pada saat itu saya membeli buku-buku yang memang ingin dibaca, ingin dikoleksi. Hingga tidak terasa hari ini jumlahnya sudah cukup banyak. Kurang lebih hampir 350an buku (sebagian buku titipan kak @nufadilah  : blogger aktif pada zamannya, yang sudah 9th pula saya kenal lewat dunia maya. Lewat dunia literasi. Semoga bersama suami selalu dilimpahkan rezeki dan kesehatan.)

Kini buku-buku itu sudah membutuhkan rak baru. Kata @sekitar_putri sudah harus juga memikirkan tambahan ruangnya.

Dulu, saya pun mulai berani membayangkan di antara buku-buku tersebut, terselip pula buku hasil dari tulisan-tulisan sendiri. Qodarullah, hal itu terwujud. 7 buku berhasil ditulis dan cetak dengan baik. Beberapa buku pun sudah ada yang bersedia mengadopsinya oleh teman-teman di dunia maya. Dari mulai luar pulang jawa hingga luar negara. Sering saya dibuat terharu mereka bersedia mengeluarkan ongkir yang jauh lebih mahal dari harga cetak buku-buku saya. Masya Allah, saya cuma bisa berdoa agar mereka selalu dilimpahkan rezeki dari Allah ta'ala. Dan tulisan-tulisan saya itu sedikit banyak ada manfaat setelah dibacanya.

Tak lupa mohon doanya agar saya bisa lebih produktif berbagi sedikit kebaikan melalui tulisan yang sering saya bagikan di beberapa akun social media. Terbuka pula bila ada yang ingin menyampaikan kritik serta saran yang membangun.

Semoga kita semua selalu diberi kemampuan 'tuk menjadi pribadi yang bermanfaat untuk sekitar kita. Yang berjalan, bertutur dan berbuat tidak melampaui batas. Selalu ada dalam jalur kebaikan. Pun perbaikan. Aamiin.

#azurazie

April 22, 2019

AKU ADALAH SAJADAH

Aku adalah sajadah

Satu benda yang orang-orang tidak merasa jijik untuk bergantian sujud di atasnya. Padahal, kalau boleh jujur, sudah hampir tiga pekan ini, marbot yang biasanya membawaku ke laundry, seakan lupa dengan nasibku. Nasib, ya nasib. Barangkali budget untuk kebersihan bulan ini dikurangi atau entahlah.

Aku adalah sajadah.

Meski sudah beladus begini, orang-orang masih mau memakaiku. Entah karena memang sudah tabiat mereka yang beribadah dengan alas seadanya. - padahal dianjurkan oleh Rasulullah memakai pakaian yang paling bagus dan wangi. Atau mereka masih meyakini, aku hanyalah alas untuk sarana sujud. Hakikatnya yang berhadapan dengan Allah langsung, kala luruh bersimpuh adalah jiwanya.

Aku adalah sajadah.

Kau tahu, dari sekian banyak manusia yang pernah bersujud di atasku. Selalu ada yang menarik perhatianku. Sebagai alas yang menyentuh langsung kening-kening itu, aku bisa mendengar dan merasakan segala kegundahan mereka. Tiap-tiap embusan napas mereka. Tiap-tiap keluh kesah mereka. Apa yang dicurhatkan kepada Allah Ta'ala. Ya, kebanyakan tentang hajat di dunia. Malahan untuk akhirat porsinya lebih sederhana. Hanya seputaran ingin husnul khotimah. Padahal, ya. Setelah mati, justru perjalanan manusia mempertanggungjawabkan perbuatannya di dunia memakan waktu lebih lama.

Semisal, pemuda yang sekarang malah sibuk dengan ponselnya itu di pelataran masjid. Tadi, sujudnya hanya sebentaran saja. Itu pun posisi kedua lengannya tidak menyempurnakan sujud yang sebenarnya. Sepanjang sujud, di pikirannya tidak jauh-jauh dari jodoh yang tak kunjung datang. Padahal, ya. Seandainya ia tahu, jodoh itu cerminan diri. Siapa yang berusaha memperbaiki diri akan bertemu atau ditemukan oleh ia yang juga memperbaiki diri. Seandainya pemuda itu tahu, sebaiknya ia mulai memperbaiki kualitas shalatnya. Agar berefek pada kualitas hidupnya.

Lain hal dengan bapak-bapak hampir 40th yang sekarang sedang tidur-tiduran dengan kedua tangan menopang kepala. Dalam sujudnya tadi ia resah sekali. Tentang rezeki yang sulit sekali bertambah. Seandainya bapak itu sadar, tiap-tiap kepala makhluk hidup sudah diatur sedemikian rupa rezekinya oleh Allah. Kalau saja aku bisa memberitahu bapak itu, rezekinya sering tersumbat karena ada hak-hak orang lain yang masih menyangkut kepadanya. Walaupun ia tidak sengaja. Ia pernah menunda membayar hutang dengan segera. Padahal saat itu sedang lapang. Seringnya lagi ia takut kekurangan bila memberi lebih untuk bersedekah. Padahal Allahlah sebaik-baiknya pemberi rezeki dalam berkah.

Dan pak tua yang masih terjaga menggilir biji tasbih itu yang sempat membuatku terenyuh. Dalam sujudnya yang panjang pak tua itu terisak. Bukan karena takut dengan azalnya yang semakin dekat. Ia terisak karena merasa bekalnya belum lah cukup. Aku tahu sepanjang hidupnya pak tua ini ahli ibadah. Tapi, ia masih tidak percaya diri akan selamat meniti sirat. Hmm… bisa jadi demikian pak tua. Karena, meski ia rajin beribadah, tapi lalai mendidik anak-anaknya dengan pemahaman agama yang baik. Anak-anak perempuannya santai saja keluar rumah tanpa menutup aurat. Anak laki-lakinya sering bolong-bolong dalam mengerjakan shalat.

Aku adalah sajadah.

Dari sekian banyak manusia-manusia yang pernah sujud di atasku. Tak ada yang mampu menandingi rindunya seorang anak berusia 10th malam ini. Dalam sujud panjangnya ia hanya bershalawat. Hatinya bergetar menahan rindu. Hingga tersujud-sujud menyebut namamu Rasulullah Muhammad. Sujud itu begitu tulus bukan sekadar mengutarakan keinginan, tapi sujud untuk mengutarakan kecintaan.

Aku adalah sajadah.

Banyak sekali yang bisa aku ceritakan tentang perilaku orang-orang yang sujud di atasku. Dari seorang ibu yang tak pernah lupa menyelipkan nama anak-anaknya di sepertiga malam. Meski anak-anaknya itu pun sudah jarang sekali pulang. Sudah jarang menengoknya. Anak-anaknya lebih sering lupa mendoakan Rabbigfirli Waliwaalidayya…

Atau seorang ayah/suami yang bersujud mohon ampun untuk dirinya dan keluarganya. Terutama untuk perempuan-perempuan yang menjadi tanggung jawabnya. Bagaimanapun mereka sadar di pundaknya ada amanah besar untuk menjaga keluarganya agar jauh dari api neraka. Mereka sadar sebagai pemimpin kelak akan dimintai pertanggungjawabannya.

Aku adalah sajadah.

Aku hanya bantu berdoa, airmata-airmata tulus yang terlanjur tumpah membasahi tubuhku ini, semoga kelak menjadi saksi yang memberatkan timbangan amalan baik. Dan Allah Ridho memberi balasan yang terbaik.
Aamiin.

Aku adalah sajadah.

Ah, semoga saja selalu ada yang menyempatkan diri membersihkan tubuhku yang lusuh ini. Menyemprotnya dengan wewangian yang harum. Agar mereka-mereka yang masih mengandalkanku untuk menjadi alas bersujud. Lebih betah berlama-lama di atas sajadah. Lebih khusyu jiwanya berbincang-bincang dengan Allah.
Semoga saja.

April 17, 2019

BARAKALLAH, JENDRAL

Barakallah, Jendral

Bila kanan dan kirimu di kelilingi sahabat-sahabat yang baik. Yang mengajak dan mengingatkan kebaikan-kebaikan. Dan kebaikan lain pula yang akan menjadi sebaik-baiknya balasan.

Barakallah, Jendral. Bila di bagian bawah, setelah sujud-sujud mereka, diselipi doa-doa yang baik. Dan di atas pun harapan-harapan itu ikut melangit.

Barakallah, Jendral.

Bila di depanmu ada ulama-ulama yang membimbing dan menasehati. Agar tiap-tiap langkah ada dalam Ridho-Nya. Bila di belakangmu jua ada pasukan yang ikut beriring, menopang langkahmu untuk tetap berdiri. Memimpin kami ke arah yang lebih baik  dengan bijaksana.

Barakallah, Jendral

Rasanya kemenangan itu semakin menjelma nyata. Sujud syukur terbanyak bisa terjadi di bumi pertiwi ini, dengan haru dan rasa bangga telah berjuang bersama. 17 april 2019 pilih no 2, kita lagi-lagi merdeka.

Allahu Akbar.

Allah yang Maha Kuasa.
@Azurazie_

April 11, 2019

UNTUKMU, LIDAH

Duhai Lidah,
Jalan yang kau jejaki sungguh licin.
Mudah sekali kau tergelincir.
Seringnya kau melukai hati.
Memang tidak terlihat memar.
Tapi, ampuh membuat orang lain gusar.

Duhai Lidah,
Hati-hatilah dalam bertutur.
Apalagi dalam berikrar.
Janji-janji yang perlu kau bayar.
Kelak memenggal lehermu dengan sangar.

Duhai Lidah,
Berkata baik atau diam.
Sepotong nasihat untuk direnungi dalam-dalam.

@Azurazie_

April 06, 2019

HUKUM MEROKOK DI FASILITAS UMUM

Barangkali, saya bukanlah orang yang paling tepat untuk menasihati perihal ini. Siapalah saya? apalagi ditambah bukan termasuk konsumen untuk produk tersebut.

Anggap saja tulisan ini hanya untuk sekadar pengingat untuk kita semua. Menjadi ‘penyambung lidah’ untuk orang-orang yang juga ikut merasa keberatan akan perilaku dari segelintir oknum yang kurang bersahabat di dalam menggunakan fasilitas umum.

Betapa sebagai manusia, apalagi selaku muslim yang perlu menjaga tiap-tiap tindak tanduknya untuk selalu membuat orang-orang sekitarnya nyaman dari lisan dan perbuatan. Hablumminannas itu harus selalu terjaga dengan baik. Agar tidak menjadi boomerang kelak di akhirat. Menjadi bom waktu yang suatu saat memberatkan dalam timbangan amal baik.

Maka, mari kita terus intropeksi diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi setiap harinya. Untuk kepentingan sendiri dan sekitar kita. Berusaha menjadi lebih bijak dalam segala hal. Bila belum mampu membuat perubahan yang lebih baik, minimal tidak ikut mencemari proses orang lain yang ingin menjadi baik.
 
@azurazie_

April 04, 2019

MASBUK

Apa yang membuat seseorang itu datang terlambat? Banyak hal, kondisi, situasi, kesibukan, lebih seringnya malas gerak. Maka, seringnya ia menjadi masbuk.

Padahal, seseorang itu tetap berharap dalam keterlambatannya masih memiliki kesempatan untuk memperoleh 27 derajat pahala sempurnanya berjamaah. Bila hal itu di dalam shalat. Masih memiliki kesempatan menerima hal-hal yang utuh sempurna dan terbaik. Bila untuk kepentingan dunia.

Tapi, tidakkah kita berpikir, masihkah pantas menerima hal-hal terbaik, padahal kita sendiri seringnya terlambat? Untuk segala sesuatu yang memang penting untuk kita. Masihkah kita pantas menemukan seseorang yang terbaik, yang kita harapkan, kita doakan sepanjang siang dan malam, bila untuk menemuinya saja kita meragu, alih-alih menjadi terlambat?

Adakah yang selalu sedia memaklumi segala keterlambatanmu itu?

Bukankah orang lain pun memiliki harapan yang sama, inginnya yang terbaik. 

Memiliki waktu dan kesempatan yang sama, inginnya memperoleh segala hal tepat waktu. Maka, seharusnya tahu diri, siapa kita yang masih saja segala sesuatunya terlambat.

Maka, tak elok rasanya bila sudah terlambat, tapi lebih banyak mengeluhkan ini itu.
Malu.