Maret 31, 2016

PUKUL LIMA SORE

Kisahnya berada di sebuah coffe-book yang terapung di lautan. Bekas kapal pesiar yang dimanfaatkan oleh pemuda berandalan bernama Deras. Kalau mau ke sana harus menumpang perahu nelayan.

Setiap rembang petang (waktu 1/2 5) coffe-book selalu kedatangan pelanggan setianya. Perempuan sendu bernama Nafas. Yang selalu cemas di jam 5 sore. Menunggu seseorang yang berjanji pulang dari pelayaran.

Nafas punya kebiasaan unik. Saat langit cerah dia selalu memakai baju serba hitam. Kalau langit sedang diguyur hujan dia memakai baju berwarna cerah. Alasannya sederhana, Nafas tidak ingin dicemooh oleh cuaca. Dengan memakai warna yang kontras, Nafas ingin menunjukkan ketegarannya.

Salah satu pelayan di coffe-book itu bernama Udara. Yang selalu dikira orang asli padang karena orang-orang memanggilnya Uda. Padahal ia asli penduduk setempat. Bukan pendatang.

Udara sejak lahir pandai membaca tanda tanda cuaca akan hujan. Nah setiap pagi pukul 5 shubuh, Udara selalu mendapat sms dari Nafas  yang menanyakan cuaca hari ini. Untuk memastikan nanti pukul lima sore dia tidak salah kostum.

Kebiasaan itu lah yang membuat perasaan di hati Udara tumbuh. Merasa kasihan melihat Nafas yang menanti-nanti ketidakpastian. Seperti masa lalu Udara yang kelam. Sesungguhnya Udara sangat membenci lautan. Membenci dengan cara yang berbeda. Dengan tertawa di atasnya.

Lalu bagaimana kisah keduanya akan bersisian di masa depan. Akankah Udara tidak diperlukan untuk Nafas? Bisakah Nafas hidup tanpa Udara?

Tunggu kisah lengkapnya ya :) Insya Allah...

UNTUK APA? YA UNTUKMU SAJA

Alhamdulillah hari ini saya bisa menyelesaikan apa yang sudah saya mulai. Menulis kisah Kampus Hijaiah. Tulisan yang di mulai sejak tanggal 25 Januari 2016 itu selesai pada pagi tadi. Pukul 08:14 WIB. Sepanjang 391 Halaman. 52.412 Karakter. Berisi 28 sub bab (huruf Alif hingga Ya.)


Rasanya saya ingin berterima kasih kepada beberapa nama yang sudah ikut 'memeriahkan' proses penulisan itu.

Pertama kepada Ka Nurul Fadilah (Bekasi) yang selalu mau diajak diskusi, tentang plot, padanan kata dan segala macam bentuk lainnya. Kakak saya yang satu ini memang the-best untuk tempat sharing. Ditunggu lanjutan tulisanmu loh!

Kepada Lina Budiasih (Bojong Gede) yang telah memberikan ide konflik cerita. Meskipun  lebih banyak melenceng dari konsep awal ketika dieksekusi. Tapi tak apa, idenya itu membantu banyak sekali.

Kepada Aniza Makkiyah (Taiwan) yang nama belakangnya rela saya pakai untuk nama salah satu tokoh, (favorite saya). Dari Makki-Chan lah tercentus ide penyandang nama 'L' itu.

Kepada Rahmawati Fitria (Jogjakarta) yang mau iseng ditanya-tanya tentang kota Bandung. Maklum saya mah malas sekali riset yang berat-berat.

Kepada Tri Utami Putri (Parung), Ade Murni (Riau) Yessi Jumiah (Dramaga) Aar Nadiar (Dramaga) Mega Agustina (Dramaga) yang bersedia meluangkan waktu membaca beberapa halaman awal cerita.

Pokoknya terima kasih. Semoga apa yang sudah tertulis sedikit banyak ada manfaatnya. So, hari ini resmi naskah novel ke 2 saya selesai di waktu yang tepat. Sekaligus buku yang ke empat yang saya suka... saya suka... (NafAs 2 Masa, Lakaran Minda, Titik Temu, Kampus Hijaiah) Next? (Pukul 5 Sore....)

Lho kok semuanya perempuan ya? huh rasa-rasanya saya memang tidak punya kenalan teman laki-laki yang menyukai dunia literasi dan baca buku. 

Terakhir terima kasih kepadamu Fa. Untuk apa? ya untukmu saja.

RINTIK 18 - RINTIK



…………………………………………………………………..
rintik, 1 titik-titik, totol-totol kecil pada kain, bulu binatang, burung dsb; 2 percikan air (hujan, embun, dsb)
rintik-rintik, gerimis, renyai dikatakan pada hujan yang turun dengan titik-titik air kecil-kecil dan halus: di bawah hujan -, ia berjalan terus juga;
…………………………………………………………………………………

Fa, kita tahu semua hal yang besar dan bisa dikatakan jumlahnya banyak bermula dari rintik-rintik kecil. Turun dikit demi sedikit. Merintik. Perlahan, tidak serta merta jatuh berdebam sekaligus besar. Tapi biarpun dari hal-hal kecil, jika terus menerus terkumpul dampaknya akan sangat terasa.
            Seperti rintik-rintik gerimis yang kamu suka. Semua kisah seperti sedang terjadi satu-satu, di bawah awan-awan yang berarak. Di bawah langit yang sama.
Kisah yang aku sudah ceritakan di sini. Dan kisah-kisah yang belum sempat aku tulisankan. Satu-satu cerita itu bermula dari rintik-rintik kecil. Dan selanjutnya mengalir mengikuti arus kisahnya masing-masing.
            Seperti rintik-rintik gerimis yang kamu suka. Biarkan perasaan ku itu jatuh secara perlahan-lahan. Dari tetes-tetes kecil doa-doa kebaikan. Hingga pada akhirnya perasaan itu akan mulai menganak sungai. Mengalir dengan kesederhanaanya. Membawa puing-puing rindu yang di lewatinya. Dan Pada akhirnya rintik-rintik itu akan bermuara ke titik pertemuan yang sesungguhnya. Lautan cinta.  











Rintik-rintik itu menuju titik pertemuan.

Maret 30, 2016

TEPAT SELESAI

Apa yang lebih membahagiakan ketika sesuatu yang kamu pernah mulai kerjakan pada akhirnya selesai. Bukan seberapa cepat prosesnya. Bukan pula karena tepat waktu atau tidaknya. Tapi, sesuatu itu selesai karena keinginannya. Karena berlelah-lelahnya. Karena harapan yang menumpuknya. Dan pada akhirnya tetap selesai di waktu yang tepat.

Apa yang lebih membahagiakanmu ketika sesuatu yang pernah kamu mulai, pada akhirnya kamu mampu menyelesaikannya dengan tepat.

Bukankah yang demikian membuat langkahmu tiba-tiba jadi lebih ringan?
Tak masalah, mau TEPAT ataupun TETAP yang penting selesai.

RINTIK 17 - HARI DENGAN LEBIH BANYAK DOA



Hei gadis yang lahir saat musim hujan. Desember. Apakabar hatimu hari ini? Masihkah membuncah harapan-harapan baik itu? Lalu kejutan apa yang kamu paling tunggu untuk menggenapkan kegembiraanmu?

Hari ini jika kamu mampu memandang seluruh wajah semesta. Niscaya wajah itu terlihat begitu cerah. Terpancar jelas rona bahagia di sana. Tercermin dari wajahnya yang penuh rasa syukur. Kedua bola matanya berbinar bercahaya. Lesung pipitnya terlihat sempurna bersamaan dengan lingkar senyum yang merekah penuh.
            Itu gambaran dari wajah semesta yang aku perhatikan hari ini. Cukup lama aku terpesona memandangnya. Langit biru sejauh mata memandang membuat aku terus bertasbih atas kebesaran-Nya. Dan sejujurnya aku tidak bisa lama-lama memandang rona wajahmu saat ini. Aku tidak ingin terlihat kaku karena terpaku tertawan.
            Hari ini hari yang teramat bersejarah dari kelahiranmu. Hari dengan lebih banyak doa-doa baik yang dipanjatkan. Hari dengan lebih banyak derma syukur diungkapkan.
            Jujur saja aku ingin sekali berada di dalamnya. Ikut merayakan dan merasakan buncah bahagianya. Tapi aku tidak tahu caranya. Alih-alih takut merusak suasana. Tidak ada setangkai bunga mawar. Tidak ada nasi tumpeng yang menggunung. Aku memilih cara paling aman. Diam-diam akan selalu ikut mendoakan.
            “Menurutmu apa hal terbaik yang dilakukan ketika sedang diingatkan tentang hari kelahiran?”
            “Bersyukur dan muhasabah diri.” Katamu. Sembali menuliskan sesuatu di secarik kertas. Entah apa.
            “Itu pasti. Secara alamiah dua hal itu yang biasanya akan kita lakukan pertama kali. Kalau untuk orang lain di luar dirimu sendiri?“
Sejenak kamu menoleh. Mungkin merasa terganggu karena aku tanya-tanya.
“Berterima kasih dan balik mendoakan mereka.”
“Ooh ok!” aku bergumam pendek.
“Kenapa gitu?” kamu meletakkan pulpen di atas meja. Mulai tertarik dengan percakapan kita.
 “Hanya tiba-tiba terpikir. Sepertinya sekali-kali juga perlu dibalik deh.” Aku menyeruput lemon tea yang kamu buatkan tadi.
“Maksudnya?” Kali ini kamu antusias bertanya.
“Bersyukur atas hadirnya orang-orang yang peduli dan sayang di sekitar kita. Muhasabah diri, sudah sejauh mana upaya kita membahagiakan mereka. Dan sekali-kali kita juga perlu berterima kasih kepada diri sendiri.”
“Ok! Untuk hal yang pertama sependapat. Untuk yang kedua masih tidak ngerti.” Tanganmu mulai sibuk membentuk origami hati.
“Banyak alasan untuk berterima kasih pada diri sendiri. Sebab, siapa lagi coba yang setiap detiknya berusaha menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Selain diri sendiri. Siapa lagi yang setiap hari masih mau bersemangat. Berusaha tetap senyum ketika sedang jenuh. Berusaha tetap berdiri tegak ketika sedang lelah. Selain diri sendiri. Siapa lagi yang mau mengerti seberapa keras kepalanya kita ini. Setiap hari mengikuti ego kita. Siapa lagi juga yang tahu sebenarnya kita sedang menyimpan sedih, gundah, mencemaskan banyak hal. Selain diri kita sendiri.”
“Hah…. Kamu benar. Kenapa baru kepikiran sekarang ya.”
“Sekarang cari cermin sana. Senyum sambil mengucap terima kasih sedalam-dalamnya kepada yang nampak di dalam cermin itu. Terus bilang deh, terima kasih banyak, sudah seusia ini masih mau jadi diri sendiri.” Aku menghela napas sejenak. “Semoga yang sederhana itu bisa menggenapi hari bahagiamu. Selamat hari lahir ya.”
“Huuuuu….. telat. Udah jam berapa ini baru ngucapin.” Kamu pura-pura cemberut. Sambil beranjak bangun. Sebelum pergi melangkah, kamu menyodorkan origami hati yang kamu buat tadi.
“Ini apa?” tanyaku tidak mengerti.
“Baca aja.” Katamu sambil berlalu.
Buru-buru aku membuka lipatan origami itu. Ah kamu selalu pandai membuat origami dalam berbagai bentuk. Lipatannya rapi sekali.
Ada sederet kata-kata tertulis di dalam kertas itu. Kalimat sederhana yang membuatku kehabisan kata-kata.
TERIMA KASIH.
Untuk sejauh ini Sudah mau menjadi bagian dari hari-hari bahagiaku.

RINTIK 16 - ADA KEPENTINGAN MASING-MASING



Kota Jakarta sedang diguyur hujan siang itu. Tanpa hujan pun, pengguna jalan raya sudah berdesak-desakan. Titik kemacetan berada di mana-mana. Hujan dan genangan air menambah ‘drama’ itu semua.

Berteduh di bawah kolong flyover menjadi pilihan yang paling diminati para pengguna roda dua. Tidak ada genangan air. Bebas dari tampias. Dan cukup ‘lega’ tempatnya. Ketika hujan reda, bisa langsung melanjutkan perjalanan.
            Satu persatu penggendara motor mulai merapat. Parkir sembarangan. Tidak searah. Menghabiskan hampir separuh bahu jalan. Dan sayangnya hal itu justru menambah titik kemacetan. Tapi siapa yang peduli. Sejauh ada tempat berteduh agar tidak kebasahan akan jadi sah-sah saja. Termasuk aku ikut-ikutan menjadi ‘penghuni’ sementara di bawah flyover itu.
            Meskipun banyak orang senasib sepenanggungan. Sama-sama menunggu hujan sedikit reda karena tidak punya atau lupa membawa mantel. Kami sibuk dengan kepentingan masing-masing. Ada yang sibuk dengan gagetnya. Asyik mengobrol berdua saja dengan pasangan seperjalanannya. Banyak juga yang asyik benar mengepulkan rokok. Mendengarkan musik mp3. Dan beberapa orang terlihat basa-basi menyinggung Jakarta yang semakin panas blablabla…..    
Sebenarnya aku membawa mantel di dalam jok motor. Cuma kadang malas saja memakainya. Lagi pula aku sedang tidak terburu-buru. Jadi aku memilih ikut ‘berkumpul’ di sana. Sambil berharap hujannya kali ini tidak akan lama.
Dan ketika aku sibuk bermain games di hp untuk mengusir kebosanan. Suasanya tempat kami ‘menongkrong’ semakin gaduh. Mobil-mobil yang melaju tidak sabaran. Membunyikan klakson gandeng sekali. Ah… sudah biasa aku tidak peduli. Menyumpal telinga dengan hedset.
Saat itulah beberapa kepala menoleh. ‘keributan’ yang ini tidak lah biasa. Aku menduga, mungkin ada pengendara yang tidak sengaja menyenggol pengendara lain. Kemudian marah-marah tidak terima. Bukankah hal seperti itu sudah tidak asing lagi di Negara ini?
Tapi dugaanku ternyata salah. Suara keributan itu semakin mendekati tempatku memarkirkan motor. Ini bukan suara marah-marah biasa. Ini seperti orang yang sedang orasi dengan geram karena tidak ada yang mau mendengarkan dia bicara.
Semua kepala ‘penghuni’ sementara flyover ini mulai menoleh. Semua bertanya-tanya sebenarnya ada apa. Suara ‘orasi’ itu semakin lantang bertenaga.
“APA KALIAN SEMUA TAKUT SAKIT KARENA AIR HUJAN?”
“APA KALIAN PIKIR AKAN LANGSUNG MATI GARA-GARA HUJAN? ADUUUH BAPAK-BAPAK, SAUDARA-SAUDARA URUSAN SAKIT, URUSAN MATI BISA DI MANA SAJA.”
Aku mengerutkan dahi. Bertanya-tanya apaan sih maksudnya? Apa tiba-tiba digelar siraman rohani di ‘komplek’ peneduh ini? Aku membenak.
 Saat itulah seorang laki-laki berusia sekitar empat puluhan. Dalam keadaan basah kuyup, berjalan sambil teriak-teriak menyampaikan keluhannya. Seolah ingin memberitahukan kepentingannya.
“BAPAK-BAPAK NGGAK TAHU WAKTU PADA BERHENTI DI SINI. MEMBUAT MACET JALANAN. BAPAK-BAPAK NGGAK TAHU ADA YANG HARUS SEGERA DI KUBURKAN. BAPAK-BAPAK NGGAK LIHAT ADA YANG HARUS SEGERA DI BAWA KE KELUARGANYA.” Seorang laki-laki yang ‘berorasi’ itu memandang tegas wajah-wajah ‘penghuni’ sementara flyover satu persatu.
Demi menyaksikan itu semua. Aku menelan ludah. Aku mengerti apa yang sedang terjadi. Ketika melihat sebuah iringan mobil jenazah melewati kami semua. Lengkap dengan bendera kuningnya yang sudah lusuh terkena air hujan.
Ternyata seorang laki-laki yang tadi ‘berorasi’ putus asa melihat kemacetan Jakarta. Ditambah muak dengan orang-orang yang berteduh sembarangan. Menghambat iringan-iringan. Termasuk aku.
Sungguh aku tahu, kala hujan turun. Benar-benar ada kepentingan masing-masing. Kepentingan yang boleh jadi menghambat kepentingan orang lain.

Maret 29, 2016

RINTIK 15 - TEREKAM DENGAN BAIK



Fa, aku mengundangmu hari ini. Mumpung hujan sedang turun di belahan bumi lain. Boleh lah kamu sempatkan diri untuk berkunjung ke rumahku.

Sudah kusiapkan secangkir harapan. Dengan beberapa butir doa-doa. Aku membuatnya tidak terlalu manis. Aku ingin sensasi pahitnya menjadi alasan untuk tetap terima apapun hasilnya.
            Bagaimana? Bersedia hari ini berbagi secangkir harapan denganku? Jangan lupa kamu bawa butir-butir doa milikmu dalam perjalanannya.
            Fa, hari ini aku ingin mengundangmu. Berkunjunglah ke rumahku. Aku sudah sediakan sebatang pena dan beberapa lembar kertas kosong. Kita akan menghabiskan waktu hari ini dengan menulis. Tentang apa saja keinginan-keinginan kita. Karena aku percaya kata-kata bisa menjadikan asa dan doa menjadi satu suara.
Aku ingin mengeja asa-asa itu selantang mungkin di hadapanmu. Dan biarkan bait-bait doa yang sama-sama kita eja, menjadi hangat dalam hati kita berdua.
            Fa, hari ini aku ingin mengundangmu. Mampirlah ke rumahku. Sejauh ini percakapan kita lebih banyak dalam dunia maya.
Dan bila percakapan-percakapan sejauh ini terekam baik dalam memori kenangan. Yang suatu saat sedikit banyak akan kembali kita rindukan. Selalu selipilah dengan doa. Saat rindu itu datang, semoga asa itu ikut mewujud nyata.
Untuk itu, -dengan kamu bersedia datang memenuhi undanganku. Hari ini adalah waktu yang tepat untuk membuktikannya.
            Fa, barangkali untuk meminta bisa bersamamu selamanya itu terlalu muluk. Sebab waktu selalu berakhir. Tapi tidak ada salahnya untuk berharap diberi kesempatan umur kebersamamaan itu awet lebih lama.
            Dan pastikan kebersamaan itu terekam dengan baik dalam memori kenangan di masa depan.