November 12, 2012

Mentimun

Di persimpangan jalan Damar berhenti, wajahnya tampak kusut, ini memang bukan kali pertama artikelnya ditolak. Sebagai mahasiswa sekaligus freelance di salah satu media kabar, lagi-lagi dia gagal menerbitkan artikelnya. Editor beralasan bahwa berita yang dia cari kurang hangat, berbobot dan tidak menjual. Padahal dia sudah berusaha mencari berita yang berkualitas.

“Harusnya loe manipulasi saja Mar biar makin heboh, sesuai mau si bos. Kaya gue ini!” kata-kata Faza mengiang-ngiang di telinga Damar. Memang mudah jika mengikuti saran temannya itu, tapi prinsip Damar, berita ya berita, fakta ya fakta. Harus selalu apa adanya, tidak di kurangi atau di lebih-lebihkan. Sudah terlalu sering kasus besar tenggelam seolah tidak pernah terjadi apa-apa, kasus kecil justru lebih di besar-besarkan.

 “Gue nggak mau fakta yang ada hanya jadi gosip murahan yang di baca banyak orang.” Elaknya tegas. Damar prihatin dengan kondisi ‘informasi’ zaman sekarang, semua tidak lagi transparan. Justru acapkali kebenaran tidak di tampilkan di muka. Bahkan oleh segelintir orang justru ‘aib’ yang menjadi trending topic, tanpa melihat sisi baiknya lebih dulu. Banyak yang berlomba-lomba mengemukakan pendapat, tapi tidak bertanggung jawab dengan apa yang sudah di utarakan.

 “Sepandai apapun loe kasih berita, ujung-ujungnya di penggal juga Mar, bagian editor yang berkuasa. Okelah... gue jalan dulu ya.” Lanjut Faza, sebelum berpamitan.

 Protes keras Damar bermula, ketika dua tahun lalu dirinya meliput berita di salah satu desa yang baru terkena bencana longsor. Di sana dia menemukan fakta kalau penyebab longsornya  dikarenakan adanya pengeboran batu bara ilegal. Tapi opini yang muncul di berita hanya sebatas erosi tanah alamiah. Miris! Padahal banyak korban yang berjatuhan. Rumah-rumah warga rusak berat. Semenjak itulah Damar berusaha keras memperbaiki keadaan yang ada dengan memberikan informasi yang benar.

-Z-


Hembusan angin membawa langkah Damar semakin jauh, beberapa ekor burung dara beterbangan ke sana ke mari menggoda setiap yang melintas. Damar berhenti di sebuah batu besar di tepi jalan. Duduk untuk menyeka keringat di ujung dahi. Sekitarnya merupakan ladang luas, pematang hijau dari pohon-pohon padi yang baru sekitar lima belas sentimeter tingginya. Pematang sepi, hanya berkelebatan burung-burung kutilang bergerombol mencari makan, lalu terbang ketika orang-orangan sawah bergoyang.

“Permisi.” Tiba-tiba seorang kakek separuh baya melangkah di depannya. Santun dan sangat lembut. Lalu di sapa anggukan sopan oleh Damar. Tapi kakek itu berhenti dan memilih untuk ikut berteduh.

“Hmm... cukup terik hari ini ya nak.” Kakek itu mengibas-ngibaskan topi ‘camping-nya’ untuk sekedar mendapatkan angin.

“Iya kek... kakek mau ke mana?” tanya Damar basa-basi.

“Masih jauh, ke desa di sana.” Sambil menunjuk arah yang akan di tuju. Yang tampak hanya jalan kecil berliku, belum terlihat ujungnya.

“Oh... iya.” Damar melemparkan senyum. Sejenak hening kembali sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Damar membuka modul yang terjilid rapi, tapi sudah ada tinta silang merah di halaman pertamanya. Ia Menghela napas panjang, lalu menutupnya kembali.

“Nak semua orang pernah berada di sebuah jurang, paling tidak di jurang kesalahan. Apapun penilaian orang, tanggapi saja dengan santun. Yakinlah suatu saat akan kamu dengar tong siapa yang paling nyaring bunyinya,” Damar tampak tertegun mendengar kalimat kakek itu. “Kakek duluan ya nak. Mari.” Lanjutnya.

Angin yang berhembus menerpa daun-daun ilalang di tepi jalan, menari-nari dengan riang. Di atasnya beberapa belalang melompat-lompat dari satu daun ke daun lainnya. Damar juga merasakan sedikit kesejukan dari sapaan angin. Ia masih merenungi kata-kata kakek itu. Ada benarnya juga, pikirnya dalam hati.

“Tunggu kek,” setengah berlari Damar menyusul sang kakek yang sudah beberapa langkah di depan, cukup gesit langkah kakek itu jika di lihat dari usia senjanya. Tidak sampai satu menit Damar berhasil menjajarkan langkah. “Boleh aku ikut kakek? Kebetulan tujuan ku juga ke desa sana.” Katanya penuh harap. Sepertinya kakek sudah terbiasa menempuh perjalanan jauh, terbukti dengan napasnya yang masih stabil. Kakek itu hanya tersenyum.

“Kek, boleh aku bertanya? Maksud pernyataan kakek yang tadi apa yah? Aku belum sepenuhnya mengerti.” Tanya Damar penuh selidik. Ia membetulkan ransel di bahunya agar lebih nyaman. Lalu menunggu penjelasan dari sang kakek yang lagi-lagi hanya tersenyum.

Lima belas menit berlalu, sepanjang perjalanan tampak sepi, tidak ada satupun orang lain yang lewat kecuali mereka berdua. Damar belum juga menemukan jawabannya. Sang kakek menepi, meneguk air dalam botol yang dibawanya untuk sekedar menambah tenaga. Di keluarkannya pula dua potong roti dari dalam celana.

“Istirahat dulu, kita makan sebentar, kadang kala saat berjalan kita butuh sejenak untuk berhenti. Kaki juga kan menuntut haknya, perut ini juga. Ayo silakan. Kakek cuma ada roti nak.” Kakek menawarkan satu rotinya, dan di sambut hangat oleh Damar. Damar mengangkat kedua alisnya, berpikir apa maksud pernyataan kakek itu. Apa ada korelasinya dengan yang ia pertanyakan tadi?

“Kamu pernah makan mentimun?” kakek itu menangkap raut bingung di wajah pemuda yang berjalan bersamanya.

“Pernah kek.” Damar semakin tidak mengerti. Ia memandang lurus ke sebuah ladang yang tumbuh pohon-pohon mentimun merambat di tanah. Sepertinya mentimun-mentimun itu sudah masuk masapanen. Selain mentimun, di petakan lain terdapat juga pohon-pohon terong dan kacang panjang yang sudah siap panen juga. Rupanya kakek ini ingin aku memperhatikan sekitar. Simpulnya dalam hati.

“Apa yang kamu lihat dari sebuah mentimun?” kembali ia meneguk air minum.

Sekali lagi Damar lamat-lamat memperhatikan buah mentimun itu. Mencari jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan kakek. Bagi Damar ini seperti teka-teki, rumit tapi menjadi tantangan untuk menyelesaikannya. Dan Damar tahu kakek itu sedang mengujinya.

 “Umm... mentimun itu bersifat dingin kek, tapi ada juga bagian yang pahit jika di makan.” Damar tampak ragu menjawabnya, tapi setidaknya itu yang ia tangkap setelah sekian menit menatap buah mentimun. Damar mengingat-ingat seperti apa rasa mentimun yang pernah ia makan.

“Terus bagian mana yang biasanya kamu makan lebih dulu?” kakek mulai melangkah lagi, mengajak Damar menempuh sisa perjalanan yang sempat tertunda.

“Umm... Tentu bagian yang kulit dagingnya berwarna putih kekuningan kek, dari ujung, karena pangkal yang bergaris-garis hijau biasanya pahit.” Jawab Damar yakin.

 “Benar nak,” kakek itu tersenyum, “Itulah sebuah pilihan, kamu bisa bijak memilih pilihanmu sendiri. Seperti kamu sedang makan mentimun, sudah jelas kan mana yang enak untuk di nikmati, mana yang pahit. Mana yang kamu makan lebih dulu, dan mana yang kamu sisihkan.” Damar sungguh-sungguh mendengarkan penjelasan kakek itu. “Begitu juga dengan memilih, pilihan baik buruknya ada di tanganmu. Tinggal kamu yang cermat melihat kemungkinan dan resiko yang ada.”

 “Tapi kek, kadang ada pilihan yang samar bukan? Yang memberatkan hati.”

 “Keraguan yang membuat semua itu tampak samar, sejatinya baik dan buruk itu sudah jelas. Dan jangan kamu samarkan. Hidup memang ada sisi positif dan negatif, sisi negatif manusia lah yang membuat semua itu jadi ragu. Umm... perjalanannya jadi nggak kerasa, sebentar lagi sampai.”

  “Yakinlah hatimu tidak akan mengambil pilihan yang menjerumuskan kamu. Tapi nafsu yang kadang datang merusaknya. Baiklah... sepertinya kita harus berpisah di sini nak Damar. Tujuanmu masih beberapa meter ke depan kan?”

“Lho? Kakek tahu nama saya? Kakek tinggal dimana?” Damar memperhatikan sekitar, yang ia dapati hanya sebuah jalan kecil di balik kawat berduri, kawat pembatas itu di tutupi pohon hijau menjalar menutupi hampir semua bagian. Ada celah di antara kawat pembatas itu, sepertinya karena sengaja di rusak, hanya cukup untuk satu badan manusia masuk dengan posisi miring. Tapi secara kasat permukaan celah itu tidak tampak terlihat, kecuali bagian daunnya di singkap lebih dulu. Umm... semacam tirai seperti itulah. Dan di sampingnya terdapat sebuah plang lusuh bertuliskan ‘WARNING! DILARANG MASUK AREA ANGKER’ dengan cat warna merah. “Kakek tinggal di dalam sana?”

 “Iya saya tahu, jelas tadi tertera di buku yang nak Damar bacaBenar, saya tinggal di dalam.”

 “Tapi kakek nggak....” sekali lagi Damar melirik tulisan itu. Damar yakin di dalamnya adalah sebuah hutan rimba yang banyak di tumbuhi pepohonan besar. Dan mungkin saja banyak binatang buas yang hidup.

 “Manusia selalu lebih cepat menduga di muka, sebelum tahu baik buruknya di dalam. Karena itulah prasangka buruk selalu dominan. Satu lagi yang kamu harus ingat, kadang kita tidak sengaja telah memakan bagian pahit dari mentimun itu, dan rasa pahitnya itu tidak bisa di sembunyikan. Mari nak.” Kakek itu memasuki celah tadi. Meninggalkan Damar yang masih tidak mengerti.

 Lagi-lagi otak Damar mencari jawaban untuk pernyataan kakek itu. Damar melongok ke dalam, “Kek, nama kakek siapaaaaaaa?” Dengan setengah berteriak.

“Panggil saja Wantaru.” Terdengar kakek menjawab. Dan bayangannya perlahan hilang di balik pohon-pohon berdiameter besar.  “Pahit yang tidak bisa di sembunyikan? Apa itu resiko pilihan? Entahlah!” Delus melanjutkan perjalanannya.

#naskah lama yang tak jua selesai dari seri - Lakara Minda
#mohon maaf jika susunan kata masih berantakan, semoga ada yang bisa dipetik.

8 komentar:

  1. keren (y)
    aku bisa gampang masuk dalam alur ceritanya =D
    aku suka. hoho..

    BalasHapus
  2. filosofi mentimun :) nice story :)

    BalasHapus
  3. uyeah saya dapati tapi musti saya korek lagi biar paham bener
    makasih bang zay, mantap berbobot banget heuheuheu

    BalasHapus
  4. ya, rasa pahit itu tak bisa disembunyikan :)
    uzay, aku mengirim kartu pos ke alamat kantor. semoga bisa keterima ya insya allah. walau aku sendiri tak tahu kapan sampainya ^^

    BalasHapus
  5. Maasya Allah...

    Tapi kenyataannya dalam kehidupan, lebih sering memakan di 'bagian pahitnya'...
    Setelah lewat bagian pahit, baru makan di 'bagian putih'-nya...! Hahaha...

    Oh iya, Uzay lagi beruntung... Ada kiriman kutukan nih.
    ~coba tengok di langit yang bermandikan awan putih.

    BalasHapus
  6. wah wah, bagus banget tulisannya..
    ada manfaat yang dapat aku ambil juga :D
    terima kasih :)

    BalasHapus
  7. berasa lagi dinasehatin ame elo Zay :D *TOP daahhh*

    BalasHapus

Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)