Januari 20, 2019

CERMIN

Jodoh adalah cerminan diri.

Sebelum menikah, kalimat di atas hanya terasa tidak lebih dari sekadar kata-kata kiasan. Sebagai motivasi untuk mendapatkan teman hidup sesuai dengan harapan kita. Yang baik untuk yang baik dan sebaliknya.

Tapi, setelah menikahi @sekitar_putri rasanya-rasanya kalimat di atas jadi lebih 'hidup'. Bukan lagi sekadar kata-kata kiasan. Setiap harinya, sejak bangun, hingga tidur lagi saya seakan sedang melihat cerminan diri saya sendiri. Melihat kembaran atau replika saya sendiri. Bagaimana cara ia bangun, pola ketika tidur. Bagaimana ia memperlakukan sesuatu, menanggapi sesuatu dan sifat-sifat lain yang sulit saya ceritakan melalui kata-kata. 

Meski tidak semua kebiasaan-kebiasaan kami itu sama, tapi semakin ke sini seakan ada satu dua atau lebih kebiasaan itu menular, melebur atau bahkan jadi tertukar. Hingga tidak sadar lagi kebiasaan siapa yang masih original.

Begitulah, bersamanya saya merasa sedang memandang cermin dengan lebih seksama. Sampai-sampai saya menyadari sesuatu, bahwa ketika kita sedang bercermin, itu tidak sekadar untuk terlihat lebih manis. Cermin menampilkan keadaan kita apa adanya, dan setelah itu kita berusaha untuk membuatnya terlihat lebih pantas. Intropeksi untuk lebih percaya diri.

Tulisan di bawah ini untuk yang masih berusaha mencari jodohnya.

Bila kalimat "jodoh adalah cerminan diri" masih terasa hanya sekadar kata-kata kiasan untukmu, tak apa. Tapi, cobalah pastikan cerminmu itu selalu dalam keadaan baik, (tidak retak, bernoda, kusam, dll) agar apa-apa yang akan ditampilkan oleh cermin tersebut adalah sebenar-benarnya tampilanmu. Tak ada yang ditutup-tutupi. Jujur untuk selalu jadi diri sendiri.

Pun sebaliknya, bila cermin itu memang sudah sempurna. Tapi, menampilkan sesuatu yang tidak kamu suka untuk melihatnya. Maka, yang perlu diperbaiki adalah dirimu agar cermin itu optimal untuk membuatmu menjadi lebih baik lagi. 

Dan untukmu @sekitar_putri aku tidak pernah keberatan untuk selalu bercermin kepadamu. Dalam keadaan bagaimana pun. Karena apa yang selalu kita tampilkan adalah selalu apa adanya.

@azurazie_

Januari 18, 2019

BUKU T(J)INTA YANG BERCERITA

T(J)inta Yang Bercerita

Seberapa banyak tinta-tinta itu telah bercerita melalui tulisan-tulisan yang pernah kita buat? Dari tulisan yang benar-benar niat untuk dituliskan atau sekadar iseng dalam bentuk coretan, komentar atau bahkan keluhan.
Seberapa banyak cinta-cinta itu bercerita dalam keseharian, melalui orang-orang yang datang dan pergi dalam kehidupan. Dari yang menetap lama, hingga yang sekadar berseliweran, singgah atau bahkan 'nyasar' tak bermaksud bersinggungan dalam hidup kita.

Seberapa banyak tinta-tinta tulisan itu mewakili cinta dan perasaan. Minimal apa yang sedang terlintas dalam pikiran.
Aku tidak pernah benar-benar iseng menghitungnya. Tapi, tinta-tinta itu akan selalu ada dan tersedia bila ingin menuliskan suatu cerita. Cinta itu akan selalu ada dan tersedia bila ingin mengungkapkan rasa.

T(J)inta Yang Bercerita.... apa adanya... #30Haribercerita
#30HBC19
#30HBC1917
#Nulisyuk
#Tjintayangbercerita
#Kumpulantulisan
#Azurazie_

Januari 15, 2019

MENGAMBIL KEPUTUSAN

Seberapa sering kita perlu mengambil keputusan-keputusan penting dalam hidup ini? Seberapa sering pula kita mengambil langkah istikharah untuk membulatkan keyakinan itu. Seberapa sering orang tua atau orang yang terdekat ikut andil dalam musyawarah. Memberi pendapat agar keputusan yang kita ambil benar-benar sesuatu yang tepat. Sesuatu yang kita mampu tanggung akibatnya. Kita mampu 'jawab' sebab-sebab prosesnya.

Bahwa, kehidupan ini tidaklah lepas dari keputusan-keputusan. Baik sesuatu yang sulit ataupun mudah.  Dan selalu berharap akan jauh dari keputusasaan. 

Seorang muslim tak akan berputus asa atas Rahmat Allah, untuk itu istikharah selalu memanggil untuk tiap-tiap langkah.

Seorang muslim selalu cenderung saling menasehati dalam kebaikan, untuk itu musyawarah mengetuk mufakat untuk tiap-tiap keputusan.
#azurazie

Januari 12, 2019

BAGAIMANA JIKA

Bagaimana jika selama ini ternyata sudut pandang kitalah yang keliru. Tentang memahami sesuatu. Tentang banyak hal yang sedang atau akan terjadi padamu.

Bahwa, yang selama ini kita sangkakan, nyatanya apa yang terlalu kita khawatirkan itu sudah berlebihan. Hingga selamanya kita tidak akan merasa cukup. Selamanya kita akan selalu berprasangka buruk.

Bagaimana jika kacamata yang selama ini kita pakai tidak membantu penglihatan kita menjadi lebih baik. Yang kita lihat selalu hal-hal yang dirasa tidak adil. Yang selalu dirasa kurang. 

Bahwa, apa-apa yang selalu kita harapkan, apabila jauh dari kenyataan. Tidak mudah untuk kita terima. Meskipun boleh jadi sebenarnya itulah yang saat ini lebih kita butuhkan.

Bagaimana jika apa-apa yang kita sesali, sesuatu yang telah terjadi, adalah takdir terbaik-Nya. Yang apabila kita mengalami itu, tidak kehilangan sesuatu itu, malah semakin menjauhkan diri dari rahmat-Nya. Semakin menjauhkan diri dari hal-hal yang lebih baik untuk ke depannya. 

Bagaimana jika apa-apa yang tidak kita ketahui adalah cara terbaik-Nya untuk menjaga kita dari rasa kecewa yang berlebihan. Yang apabila kita tahu malah membuat kita menyesal lebih dalam.

Bagaimana jika kita mulai berhenti berandai-andai dan mulai dengan yang namanya penerimaan.
@30haribercerita
#30haribercerita
#30hbc1912
#30HBC19Jika
#30HBC19
#30HBCjika
#bagaimanajika
#jika
#tulisan
#azurazie_

Januari 10, 2019

NAMA-MU YANG MANA, YANG MASIH AKU DUSTAI?

Kudengar dengan lantang suara Salman sedang melantunkan Nama-Nama Agung-Mu di bilik kamarnya, ketika aku hendak menumpang ke kamar kecil gubug sederhana ini.

Suaranya merdu sekali. Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahiim, Ya Maalik, Ya Quddus, Ya Salam... Langkahku terhenti, hatiku terenyuh, sudah lama sekali rasanya aku tak lagi mendengar lantunan nama-nama itu. Dulu sewaktu kecil aku pernah berhasil menghapalnya. Kini.... entahlah aku tak yakin bisa melapalkannya dengan lancar sampai nama ke 99.
Salman melantunkannya dengan begitu khidmat hingga meresap ke relung hatiku. Mataku tiba-tiba merembas. Ada apa dengan keluarga kecil ini, lagi-lagi membuat kesadaranku terusik. Sadar, telah semakin jauh untuk bersungguh-sungguh mencinta-Mu.
Salman memandangi Nama-Mu, nenek menyebut-nyebut Nama-Mu. Sedangkan aku? Masih saja mendustai Nama-nama-Mu.

Sang Maha Pengasih... aku tak lagi sering berkeluh kesah kepada-Mu di sepertiga malam. Sang Maha Penyayang... aku tak lagi peka dan peduli dengan orang-orang sekitar ku. Terlalu sibuk dengan duniaku sendiri. Sang Maha Pemberi Rezeki... aku lebih sering mengeluh kekurangan dengan apa yang telah Engkau beri. Sang Maha Memberi Ketetapan... aku lebih sering tak terima dengan apa-apa yang telah terjadi dalam keseharian. Lebih sering bertanya, kenapa? Kenapa? Dan kenapa?

Semakin terhanyut dengan lantunan Salman, aku semakin bertanya-tanya. Nama-Nama-Mu mana lagi yang masih aku dustakan? Sang Maha apalagi yang membuat diri ini masih saja angkuh. Padahal tidaklah daya dan upaya tanpa KEMAHAAN-Mu.

Inikah yang membuat hatiku belakangan ini merasa sepi?

esuatu yang dibiarkan mengalir apa adanya. Tidak lagi diburu-buru. Biasanya malah mendekat begitu saja. Bahkan seringnya kita sudah hampir lupa dengannya. Pernah merasakan moment seperti itu?

Siang itu, ketika aku sedang berkemas untuk melangkah pulang. Tiba-tiba saja anak kecil itu menghampiriku. Mungkin Salman merasa perlu berterima kasih karena kemarin aku membantu membenarkan genting kamar mandi yang bocor. Sesuatu yang belum bisa ia lakukan sendiri di usianya.

Selepas itu, aku dan keluarga kecil itu menjadi lebih akrab. Meskipun aku lebih banyak mendengarkan cerita nenek dan Salman hanya sibuk membaca terjemahan Al-Qur'an. "Sudah mau pulang, Bang?"

"Ia, nih. Besok sudah harus masuk kerja lagi." Kataku, masih tidak menyangka anak itu mau bertanya.

"Kamu masih belum mau menjawab pertanyaan abang yang kemarin?" Kataku, berusaha sekali lagi. Meskipun kali ini tidak terlalu muluk ingin mengetahui teka-teki ini. Kenapa seorang Salman akan berdiri mematung bila mendengarkan suara adzan.

Salman kembali terdiam. "Tak apa, tak perlu dijawab. Abang cuma iseng bertanya. Jaga nenek baik-baik ya, Man. Insya Allah nanti abang kembali berkunjung." Ia mengangguk. "Bang, seberapa sering orang dewasa bertanya-tanya akan sesuatu. Padahal sebenarnya jawabannya sudah tahu." "Maksudmu?" Aku mengerutkan dahi.

"Ya, penasaran dengan ini-itu. Tapi, sebenarnya jawabannya tidak selalu perlu tahu." Aku masih tidak mengerti. Dari mana ia bisa berkata seperti itu. "Salman diam hanya karena butuh untuk diam. Butuh 5 waktu panggilan adzan hanya untuk diam mendengarkan. Diam mentaati panggilan illahi."

Hatiku mencelos. Entah kenapa mendengar jawaban Salman membuat perasaanku terasa lebih tenang. Entah karena penasaran berhari-hari itu baru mendapatkan jawabannya. Atau karena hal lain. 

Mungkin benar kata anak kecil itu, dari segitu banyak pertanyaan tentang hidup yang belum terungkap. Sebenarnya jawabannya hanyalah cukup diam. Diam menerima apa adanya. Mendengarkan dan mentaati sepenuh hati akan ketetapan-ketetapan-Nya. Kenapa hati suka begitu tiba-tiba kesepian. Jawabannya karena belum benar-benar adanya penerimaan.

#azurazie_