November 18, 2013

Membuat permainan

"Halooo perempuan keras kepala."

Baru saja senyuman ini akan berkembang karena melihat sebuah nama tertera dalam kotak pesan. Urung saja ketika membaca pesannya. Ada yang mulai mengajak perang lagi rupanya.

"KENAPA LELAKI KAKU?" aku sengaja menulisnya besar-besar. Meski tidak dipungkiri hati tetap senang karena ia yang menghubungi. Mungkin inilah caranya kami berkomunikasi. Beberapa menit kemudian rangkaian sms pun saling kait berkait.

"Jiah segitunya, bosan nih menunggu dosen pembimbingnya."

"Terus?" Aku melanjutkan membaca buku.

"Bagaimana kalau kamu temani sampai dosennya datang. Kita bermain tebak-tebakan lagi?"

Kembali mengetik balasan, menandai halaman buku dengan telapak tangan. "Nggak ada permainan lain?"

"Hahaha... takut keok lagi ya?"

Kami memang suka membuat permainan yang aneh-aneh ketika bosan menunggu. Terakhir ya itu main tebak-tebakan. "Hmmmm.... Enak saja. Tebakanmu itu terlalu absurd dan nggak masuk akal." Aku menggerutu. Sudah tidak terfokus dengan bacaan.

"Sembarangan, perlu pemikiran serius itu. Ya sudah permainan kata. Saling kasih kata kunci lalu buat satu kalimat yang utuh gimana? Di ujung tulis saja kata yang mau kamu dengar. Yang nggak bisa balas lagi dia yang traktir buku baru."

Permainan kata? siapa takut.

"Kata." Cukup lama pesanku tidak dibalasnya.

"Sebelum kekata menjadi begitu asing. Dan rasa terlanjur usang. Oleh sebab itu aku biasakan menulis, tentang kenang. Menceritakannya dengan lebih tenang. Tentang rasa menuliskannya dengan lebih nyata. Rencana.”

Rencana ya, hmmmm aku memikirkan balasan yang akan sulit ia lanjutkan.

"Percayakan padaNya, di balik penundaan ada rencana Tuhan yang lebih menjanjikan. Jumpa." Mari kita lihat setangguh apa kata-katamu tuan.

Pada perjumpaan yang tak lepas dari rencana Tuhan, semoga kelak digenapkan menjadi kebersamaan. Diam.

Ah dalam sekali untuk hati yang sedang merindu. Aku tersenyum. Aku memutar otak untuk merangkai kata diam. “Bukan pengecut orang yang hanya bisa berdoa diam-diam. Dia lebih tahu bagaimana cara yang baik mengetuk restu Tuhan. Sepakat.

Cukup lama dia tidak membalas pesanku. Sudah menyerahkah tuan? baru saja aku mau membuka buku bacaan lagi. Pesannya sampai.

Lebih baik sepakati saja. Aku yang jadi tulang punggungmu. Kamu yang jadi tulang rusukku. Bagaimana?"

Hah? Bagaimana? itu kata kuncinya atau memang pertanyaan? aku ingin bertanya lebih lanjut tapi ragu-ragu. Takut ia malah meledek. Jangan-jangan ini jebakan dia agar aku kalah. Aku diam sejenak.

"Hei, udah ini mengaku kalah lagi?"

Mengalah? enak saja. Aku buru-buru mengetik balasan. Bagaimana... Bagaimana... ah ini saja. “Bagaimanapun kita berdua sedang sama-sama menunggu. Kamu menunggu pencarianmu usai, aku menunggu untuk ditemukan. Kapan?"

Aku sengaja membalasnya dengan kata pertanyaan. Ingin tahu apa reaksinya. Kapan? Kapan? Kapan? semua orang mungkin merasa jenuh dengan kata kapan, entah mendengar pertanyaannya entah menunggu jawabannya.

Lebih dari dua menit ia tidak membalas pesanku.

"Sudah dulu ya dosennya baru keluar dari ruangannya. Nanti aku sambung lagi. Ingat aku belum kalah. Daaaaah..."

Yeeee dasar lelaki kaku menyebalkan. Aku menimpa ponselku sendiri dengan bantal. Kemudian tertawa. Enak saja dia mengeles. Lumayan dapat buku bacaan lagi.



  

2 komentar:

  1. Kalau baca tulisan ini, tiba-tiba aku merasa beruntung menjadi perempuan keras kepala! *numpang lewat*

    BalasHapus

Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)