Januari 31, 2014

MERUNCINGKAN PENA

Sedikit bercerita, sejenak keluar dari cerpen dan cerita fiksi lainnya. Beberapa hari lalu saya baru saja meruncingkan pena kembali. Buat yang setia mengikuti artikel di blog Lakaran Minda ini dan Tumblr Titik Temu, pasti sudah tahu di bulan Januari saya hanya me-repost tulisan-tulisan saya yang lama. Tidak ada satu pun tulisan yang fresh. Sejujurnya sebagai pemilik blog saya agak sedikit prihatin dengan penurunan ini.  Hah kadang memang lebih sulit jika menepati janji pada diri sendiri dibanding ke orang lain.

Untuk itu saya bertekad di bulan Februari ini akan mengisi blog lagi dengan tulisan-tulisan baru. Entah itu cerpen, fiksi, katalog kata atau yang lainnya. Targetnya setiap tanggal akan mewakili satu kata sebagai judul. Dan diikuti selanjutnya sebagai kata keterangan apa yang sebenarnya saya ingin sampaikan. Entah tokohnya yang berjumlah sesuai tanggal, entah point-point yang ingin di sampaikan. Mengikut dari ide waktu saya menulis nanti.

Lalu bagaimana dengan cerbung Kampus Hijaih kemarin? Sepertinya untuk cerbung itu akan dilanjutkan nanti. Ada sesuatu yang masih diperdebatkan dalam diri saya tentang cerbung itu. Sesuatu yang tidak mudah dijelaskan. Tapi karena itu salah satu target saya, Insya Allah akan tetap dipikirkan nasibnya. 

Besar harapan mudah-mudahan untuk target di bulan Februari ini jauh lebih terealisasi. Saya dapat banyak ide setiap harinya, dan yang terpenting saya bisa berbagi waktu dari aktivitas lainnya. Meluangkan waktu untuk mengisi blog ini. Insya Allah. 

Terakhir saya selalu berharap tulisan apapun yang tertuai di blog ini bisa memberikan manfaat untuk diri saya pribadi, dan pembaca sekalian. Bisa saya pertanggungjawabkan pada waktunya nanti. Terima kasih tetap setia membaca Lakaran Minda ini. Mudah-mudahan kedepannya akan jauh lebih baik lagi. Aamiin.



Februari Sebagai BAB Pertama

Februari akan tiba. Jika dianalogikan dengan sebuah buku yang meliput satu kisah utuh. Februari adalah BAB Pertama di buku besar yang berjudul : Perjalanan 2014. Di mana Januari yang sudah kita lewati adalah bagian dari prolog pembuka cerita. Berupa penjabaran resolusi dan rancangan-rancangan yang perlu dilalui.

Di BAB Pertama biasanya sudah mulai jejak-jejak kisah itu tertoreh. Berupa keping-keping cerita yang mulai menjelaskan sebenarnya apa dibalik prolog yang sudah kita lewati. Ke arah mana si tokoh utama akan membawa perjalanan kisah ini menuju epilog yang baik dan melegakan. Selanjutnya di bab-bab berikutnya mulai lah muncul konflik-konflik. Aral rintangan yang harus ia hadapi.

BAB Pertama ini harus terlewati dengan baik. Jejak pertamanya harus tegap. Langkahnya harus meyakinkan. Tekadnya harus kuat. Demi epilog di ujung Desember jadi lebih baik dari tahun sebelumnya. Hingga misi perjalanan tahun ini terlaksana semua. Resolusi itu bukan hanya sekedar wacana. Akan terlahir lebih nyata.
 

Januari 30, 2014

Hujan sebagai pembersihan



Di musim penghujan seperti ini, akan mudah sekali menemukan kerumunan orang yang berteduh. Terhenti perjalanannya karena hujan yang menderas. Dan menarik sekali jika kita bisa mencuri dengar apa yang mereka perbincangkan. Mengobrol dengan teman seperjalanannya –atau mungkin orang asing yang beberapa menit lalu sudah seperti sahabat senasib, sesama penunggu hujan di bawah atap ruko yang sejam lalu tutup. Mengusir kebosanan.

Seperti halnya dua orang yang memilih tetap berdiri, meskipun ada bangku kayu yang masih kosong. Mereka teman seperjalanan yang hendak menjenguk temannya yang sakit. Terpaksa menepi karena salah satu dari mereka tidak membawa mantel. Tadi pagi ketika hendak berangkat kerja kadung percaya diri kalau hari ini tidak akan hujan. Memang sepanjang siang hari mataharinya terasa lebih menyengat. Tapi siapa yang bisa menduga cuaca, hampir tengah malam ini saja hujan masih membumi.

“Menurutmu apa alasan mendasar Tuhan menurunkan hujan?” Salah satunya memulai pembicaraan. “Selain untuk menghidupi seisi bumi tentunya. Yang makhluk-makhluk di dalamnya memang sulit hidup tanpa air.” Tubuhnya mulai gigil karena jaketnya sudah setengah basah karena kecipratan mobil yang sembarang menerabas genangan.

“Hujan ya.” Temannya yang lengkap terbungkus mantel menghirup udara, seakan menikmati aroma air yang turun dari langit, sembari tangannya terjulur sengaja merasakan tetesan-tetesan itu menyentuh kulitnya. “Tujuan persisnya hanya Dia yang tahu, tapi aku kira seperti layaknya mobil itu.” Ia menunjuk mobil yang sebagian permukaan tubuhnya dilapisi debu, sedang terparkir di garasi salah satu rumah. Tidak jauh dari tempat mereka berteduh. “Bumi ini pun berdebu. Bahkan mungkin tidak lagi sekedar diselimuti hamparan debu, tapi sudah berlumpur. Mengingat bumi semakin tua dan rusak. Barangkali itu pemicu hujan turun. Tujuannya untuk pembersihan. Untuk pemulihan.”

“Tapi kalau kadar hujannya selalu tinggi seperti ini bukannya malah merusak bumi itu sendiri? Banjirlah, tanah longsorlah.”

“Ya mungkin itu proses yang diperlukan bumi untuk pembersihan tersebut. Aktivitas manusia yang membuatnya lebih rumit. Sehingga ada debu-debu yang perlu dibersihkan lebih keras. Debu yang sudah berkerak.”

Beberapa peneduh yang lain nekat meneruskan perjalanan, mungkin sudah mulai bosan menunggu. Hujannya tidak jua mereda, malahan semakin menderas. Bahkan ada yang sedang mendorong-dorong motornya karena mogok ketika melewati genangan yang terlalu tinggi.

“Soal kadar, sepanjang yang aku tahu dan aku pernah baca kadar hujan yang turun ke bumi selalu tetap, selalu sama. Meskipun belum ada profesor dengan alat canggihnya yang mampu membuktikan teori itu. Tapi aku sungguh yakin, karena tertera dalam Al-Qur’an demikian. Kadar hujan yang turun ke permukaan bumi selalu sama. Sederhananya, jika di Indonesia saat ini intensitas turun hujannya sedang sering, boleh jadi di belahan bumi lain ada tempat yang sedang kekeringan.”

“Kalau untuk pembersihan, aku kira tidak perlu selalu menggunakan air. Mengusir debu bisa dengan angin misalnya.”

“Hei jangan lupa, membersihkan rak yang kotor tidak cukup dengan hanya menggunakan kemoceng. Tapi lebih baik dilap sama kanebo basah. Karena kemoceng sejatinya bukan alat untuk membersihkan. Tapi ia cuma memindahkan debu. Begitu juga dengan angin. Jadi aku rasa masih lebih tepat hujan untuk proses pembersihan bumi, bukan angin.”

Temannya mengangguk pelan, penjelasan yang ia dengar cukup masuk akal. Hujan belum juga reda. Kini keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Sesekali diselingi dengan suara perut yang mulai keroncongan. 

*di kasus yang lain, hujan pun bisa menjadi pembersihan kenangan #eh


Januari 28, 2014

Terlihat tidak seimbang


Barangkali memang sudah begitu adanya. Ada hal yang terlihat tidak seimbang. Kita mendengar kisah ada seseorang yang begitu perhatian, ia bertekad akan selalu ada untuknya. Sosok yang ia ingin selalu baik keadaannya. Tidak peduli sekalipun ia sendiri tidak memperoleh hal yang sama. Tidak pernah menjadi perhatian. Tidak peduli karena ia hanya ingin memberi perhatian.
—  Terlihat tidak seimbang bukan? Tunggu dulu, jangan terlalu cepat menyimpulkan. Tanpa sepengetahuan kita, boleh jadi seseorang yang selalu diperhatikan itu. Sosok yang cuek kepada tokoh yang sedang kita bela, boleh jadi ia juga begitu perhatian kepada ‘seseorangnya’. Sama tekadnya, ingin selalu menyediakan sandaran untuk ‘seseorangnya’. Menjadi bahu untuk menampung keluh kesah ‘seseorangnya’. Tapi sayangnya, ia sama persis nasibnya dengan kisah si tokoh yang kita sedang bela. Ia juga tidak pernah menjadi pusat perhatian. Ia juga hanya dipunggungi oleh ‘seseorangnya’. Bukankah ia juga tidak memiliki keseimbangan dalam perihal perhatian? Atau kita tega benar mengatakan itu balasan setimpal. Biar tahu rasa. Kita terlanjur membela si tokoh utama dalam tulisan ini.

Oooi, betapa banyak ketidakseimbangan dalam alur cerita itu jika kita tarik kesimpulan. Atau jangan-jangan itulah definisi keseimbangan yang sebenarnya. Kisah yang satu dengan yang lain saling kait mengait melengkapi kekurangan.

Atau itu buah dari segala yang kita perbuat di masa lalu. Yang sedikit banyak berdampak di masa berikutnya. Atau ini semua hanya sesederhana sebuah pilihan?

Entahlah, yang aku tahu kadang seseorang tidak butuh banyak alasan untuk peduli kepada ‘seseorangnya’. Tidak perlu banyak pertimbangan untuk memberikan perhatian kepada ‘seseorangnya’.



Sapa


Ada yang sudah terbiasa dengan kehadiran seseorang. Ketika tak ada sapa, seakan ada sesuatu yang belum lengkap di kesehariannya.
—  Ada yang membiasakan diri hadir untuk melengkapi satu hari seseorang. Selalu berusaha menyempatkan waktu untuk sekedar menyapa.

Keduanya sama-sama diikat oleh kebiasaan. Dan boleh jadi hari-hari yang akan di lewatinya tak lagi biasa ketika salah satunya tidak lagi ada sapa.


MENDAMBA TEMU


Aku pernah begitu mendamba temu. Setiap hari aku pikirkan dengan menumpuk keresahan. Tidak sabar menjemput perjumpaan. Setiap saat terus berharap waktu akan lebih memihak, meminta segera dipertemukan dengan yang aku rindukan.
—  Aku pernah begitu mendamba temu dengan melamunkan banyak hal. Menunggu dengan tidak sabaran. Tapi tidak juga ada kepastian. Tidak juga kulihat titik terang. Tidak kudengar kabar baik perjumpaan.

Aku pernah begitu mendamba temu dan melupakan satu hal, ada temu yang tidak bisa diprediksi oleh angan sendiri. Ada jumpa yang tidak bisa kupaksakan segera.

INGIN MERDEKA

Ada segumpal rasa yang aku endapkan pada kata-kata. Suara hati yang sengaja disembunyikan pada bait-baitnya.
—  Bukankah setiap orang memiliki rahasia kecil di hatinya? Ada yang membiarkannya tetap tertutup rapat. Ada yang membukanya dalam ungkapan nyata. Tanpa sekat.

Anggap saja aku memilih membukanya, melalui kata yang terlebih dahulu harus kau eja. Sebab rahasia kecilku tidak selamanya ingin terpenjara. Rasaku ingin merdeka.


Rumput Liar

Seseorang terlanjur merawat harapannya sampai tumbuh tinggi menjulang. Hingga suatu hari ia menyadari ternyata harapan itu menjelma menjadi ‘rumput liar’ yang menghalanginya berjalan.” 

Januari 10, 2014

TIDAK SEMBARANG TERBUKA

Katakan pada mereka,

“Aku masih terlihat selalu sendiri bukan berarti tidak memiliki tujuan. Hanya saja aku sedang menjaga apa yang sudah seharusnya terjaga. Hingga adanya kesempatan dihalalkannya pasangan.

Aku menjaga hal-hal pribadiku dengan menutup pintu. Tidak membiarkannya sembarang terbuka. Hingga aku mendapat petunjuk Tuhanku. Tentang ciri-ciri tamu yang datang secara santun. Ia yang tidak lancang begitu saja masuk sebelum aku sedia bukakan pintu. Ia yang mengutarakan maksud hati untuk menetap bersamaku, dengan sebelumnya meminta restu orangtuaku."


Kampus Hijaiah : Kisah Lam, Jim, Ra' & Fa

Salam hangat untuk pembaca sekalian yang bijaksana. Selamat datang di kampus Hijaiah. Kampus Paling gaul –dalam artian positif. Tidak pernah tergerus oleh zaman yang semakin modern. Kampus istimewa yang pernah ada di dunia. Kampus yang banyak melahirkan generasi-generasi terbaik pada zamannya. Kampus masa depan yang menjanjikan kehidupan. Tapi bukan seperti kampus-kampus yang kalian kenal. Ini kampus yang berbeda.

Ups... saya sudah seperti bagian promosi kampus saja, yang biasanya menyebarkan brosur-brosur ke adik-adik kelas sekolah menengah atas. Kapan lagi kalau bukan setelah ujian akhir sekolah. Tentu tidak, saya berada di sini bukan berperan sebagai itu. Tidak akan memperpanjang bahasan tentang kampus dan segala macam program-program pembelajaran bla bla bla-nya.

Di sini saya akan menceritakan segelintir murid-murid terbaik kampus Hijaiah. Yang tengah berjuang dengan mata kuliah kehidupannya. Anggap saja ketika sedang melihat-lihat ruangan arsip kampus, dengan tidak sengaja menemukan database mereka. Dan saya iseng membacanya.

Ssst... sebenarnya bukan begitu, saya memang sengaja mencari tahu profil mereka satu persatu. Ini misi khusus. Sangat rahasia. Jadi kalian sebagai pembaca yang bijaksana, bacanya pelan-pelan saja ya. Diam-diam.

Siapa saja mereka? Sebenarnya saya lebih fokus ke empat orang. Dua laki-laki. Dua perempuan. Dengan sifat dan karakter yang berbeda. Tapi memiliki kepemahaman yang sama dalam mengisi hidup. Hari ini harus selalu lebih baik dari hari kemarin. Itu prinsip mereka.

Kalian juga ingin tahu lebih dalam tentang mereka? Baik kita urai profilnya satu persatu. Mumpung ruang arsip masih lengang. Belum pada pulang dari jam istirahat. Aha... sejauh ini amaaan.

Murid pertama bernama Lam. Anak sulung dari keluarga emak Nun dan abah Tanwin. Memiliki adik laki-laki bernama Alif, berusia lima tahun. Di umur segitu, Alif sedang tumbuh dengan keingintahuan yang besar. Apa saja ditanyakan. Semua hal dibanding-bandingkan. Nah, esok-lusa sangat menarik sekali kalau  kita ‘mencuri dengar’ tentang bagaimana seorang kakak menjawab pertanyaan adiknya yang kritis dan tak terduga. Bagaimana Lam menyikapi keingintahuan Alif dan menjawabnya dengan pemahaman-pemahaman yang baik. Seru sekali pastinya.

Lam memiliki sifat pendiam dan agak kaku. Berpenampilan sederhana. Tidak banyak bicara, tapi terlihat tindakannya. Dan sekalinya mengeluarkan pendapat, semua orang akan mendengarkan dengan penuh perhatian. Seperti tidak ingin melewatkan satu kata pun yang keluar dari pemikiran seorang Lam. Makanya di acara-acara penting yang digelar kampus, Lam menjadi sorotan banyak mata. Tidak heran jika ia diangkat menjadi ketua KAF di kampus Hijaiah. Komunitas Alif Fathah dengan lambang A dalam tulisan arab. Sebuah komunitas sentral yang membawahi komunitas kecil lainnya yang ada di kampus. Tentang KAF ini nanti kita bahas lebih detail.

Baiklah lanjut ke profil murid yang kedua. Namanya Jim. Semenjak kecil hanya tinggal dengan kakek neneknya. Dan beberapa bulan ini ia suka tinggal bersama keluarga abah Tanwin, berbagi kamar dengan Lam. Jim tidak terlalu memperhatikan penampilan. Rambut yang gondrong dan jarang disisir. Ke kampus tidak pernah membawa modul materi kuliah. Tapi kalau soal daya menghafal, Jim jagonya. Jim tumbuh menjadi pemuda yang sedikit liar, tapi tetap menjaga aturan-aturan yang ditetapkan agama. Liar tapi tahu batasan yang diperbolehkan dan yang dilarang. Ia bertanggung jawab dengan segala perbuatannya. Tidak pernah takut apapun selagi ia merasa benar.

Jim hobi sekali berpetualang, jalan kaki. Menelusuri tempat-tempat yang belum pernah ia datangi, sambil memotret. Hasil jepretan kameranya patut diperhitungkan. Ia tidak segan bertanya banyak hal kepada semua orang yang ia temui. Keingintahuannya besar. Baginya, semua yang ia temui adalah pembelajaran yang baik. Salah satunya dari pengalaman orang lain. Makanya akan sangat menarik kalau kita diam-diam membuntuti Jim. Kita akan menemukan hal-hal yang berbeda yang selama ini mungkin kita belum tahu. Meskipun akan sedikit cape karena ya itu, jalan kaki.

Sekarang kenalkan murid kampus Hijaiah yang ketiga. Si perempuan berkaca mata. Dikenal dengan panggilan Fa. Di mana ada buku di situ ada Fa. Ke mana-mana selalu membawa buku. Ia gemar sekali membaca. Tentang apa saja. Mudah menemukannya, datangi saja perpustakaan kampus, perpustakaan besar di pusat kota atau toko buku langganannya.

Tidak banyak yang tahu tentang Fa. Ia sangat tertutup. Tidak mudah ditebak dan selalu tersenyum. Dunia Fa selalu ceria di mata orang-orang. Meskipun tidak ada yang tahu kalau ia sedang sendirian. Ia juga pandai menulis. Pengisi rutin rubrik cerpen mading kampus Hijaiah. Cerpennya banyak digemari. Meskipun mereka tidak tahu kalau itu tulisan Fa. Si kutu buku. Ya, Fa tidak pernah meninggalkan nama pada setiap tulisannya, sekalipun nama pena. Mudah saja memasukkan cerpen itu ke mading, karena ia salah satu pengurusnya.

Fa selalu terbuka ketika seseorang membutuhkan tempat untuk bercerita. Ia pendengar yang baik. Perangkul yang hangat. Pemikirannya dewasa. Meskipun ia sadar betul betapa keras kepalanya ia. Bisa dibilang Fa adalah ikon muslimah sejati di kampus Hijaiah. Meskipun banyak juga yang masih beranggapan penampilan Fa itu kuno. Tidak masa kini. Mereka segelintir murid kampus yang belum memahami pentingnya menutup aurat yang sesuai dengan syariat sebagai muslimah. Fa tidak terganggu dengan pendapat miring tentangnya itu.

Siap-siap saja kalian mendengar ketegasan seorang Fa dalam menyikapi kesehariannya.

Dan murid keempat panggil saja dengan nama Ra’. Anak bungsu dari empat bersaudara. Perempuan yang sangat enerjik dan aktif –meski agak sedikit manja. Vocalnya terdengar di mana-mana. Selalu ikut serta diberbagai kegiatan kampus. Dan pandai sekali membuat ilustrasi gambar. Sebut saja apa yang sedang kalian imajinasikan, tidak sampai lima menit ilustrasi imajinasimu pindah menjadi bentuk gambar.

Ra’ masih belajar menjadi muslimah yang lebih baik. Ia belum terbiasa memakai rok ke mana-mana. Selalu memakai celana jeans dan sepatu ketsnya. Meskipun tetap bisa menjaga diri dari tidak bersentuhan dengan laki-laki yang bukan mahromnya. Bisa menjaga pandangan dan jarak dari mereka. Dengan memiliki prinsip yang teguh, Ra selalu bisa diandalkan dalam kelompoknya.

Nah itulah ke empat murid terbaik di kampus Hijaiah yang akan saya pantau terus gerak-geriknya. Tak perlu ditanya ya bagaimana cara saya bisa tahu banyak hal tentang mereka. Itu rahasia penyelidikan yang maaf saja tidak bisa saya ceritakan ke kalian. Bisa dengan menempelkan chip pada pakaian mereka, menggunakan kamera pengintai, pura-pura jadi sales yang datang ke rumah. Lewat loteng atau apalah itu nantinya. Tak perlu kalian risaukan soal itu. Sebagai pembaca yang bijaksana, ikuti saja jalan cerita yang sudah saya kumpulkan dari ke empat anak-anak ini. Deal?

Sepertinya saya sudah harus keluar dari ruang arsip kampus ini. Radar pendeteksi saya menangkap ada jejak kaki yang mendekat ke ruangan. Saya harus keluar. Jadi sampai jumpa dicerita selanjutnya.    


Januari 01, 2014

Buka[n] Lembaran Baru

Lembaran baru tidak mesti selalu hal baru. Sebab boleh jadi kita hanya perlu meneruskan apa yang sudah pernah kita mulai, yang belum juga selesai. Dengan semangat yang lebih baru. Dengan kesungguhan yang lebih memburu.

Saya seorang muslim. Tentu saja hari ini bukanlah lembaran baru tahunan, ini bukan muharram. Saya tidak lebur dalam hingar bingar perayaan. Tidak ikut serta dalam hiruk pikuk penyambutan.

Ini hanya sekedar lembaran baru harian. Di mana diri selalu diminta untuk mengupayakan perbaikan, untuk menuju hal-hal yang lebih baik. Berusaha dengan kesungguhan hati, seakan akan hidup seribu tahun lagi. Sujud berserah diri kepadaNya dengan ketulusan hati, seakan esok hari kehidupan bagi diri tidak ada lagi. Dan mati akan membawa jiwa ini kembali.

Diusahakan untuk memperbanyak lagi tulisan-tulisan di Lakaran Minda ini. Insya Allah.

Salam