November 30, 2012

Kagum

Matahari perlahan menanjak bukit, semburat cahayanya menembus celah-celah bilik. Rasanya tubuhku segar sekali pagi ini. Semalam aku benar-benar terlelap. Untung saja tidak sempat disapa mimpi-mimpi aneh itu lagi. Sebenarnya jam berapa ini? rumah ini tidak memiliki jam dinding. Pak Ramlan memanfaatkan sinar matahari untuk mengetahui waktu. Di samping tempat tidurku sudah tersedia beberapa potong gorengan dan segelas jahe hangat. Aku menikmati sarapan pagiku.

Aku ingin keluar menikmati udara pagi, sambil ingin tahu ada apa saja di sekitar rumah ini. Kakiku sudah tidak terlalu memar,  rupanya khasiat tumbuhan kemarin sudah bereaksi. Hanya saja aku masih harus berjalan ‘jingkat-jingkat’. Masya Allah indah sekali pemandangan pagi hari dari pegunungan ini. Embun-embun es yang menghiasi rerumputannya, di tengah udara yang menggigit kulit, sampai-sampai seolah mulutku mengeluarkan asap. Melihat arak-arakan kabut membentuk gumpalan awan. Sebagian gumpalan itu ditembus oleh burung-burung yang berterbangan.

Tapi ke mana pak Ramlan? Sejak subuh tadi aku tidak melihatnya. Mungkin di belakang kali. Simpulku. Ternyata pak Ramlan memiliki lahan cukup luas yang ditanami macam-macam tumbuhan obat. Ketika aku melihat-lihat, aku menemukan sebuah aungan besar berbentuk segitiga, aku kedalamnya. Aku melihat seseorang di sana. Ia menggunakan masker dan sarung tangan, terlihat sedang mengaduk-aduk pupuk, menempatkannya ke sebuah polybag. Itukah yang bernama Savana? Apa aku menyapanya saja?

“Kang Delus kok keluar?” rupanya dia menyadari kehadiran ku.

“Oh...iya aku bosan di dalam terus. Ingin menikmati udara pagi, kamu....”

 “Savana kang, abah kalau pagi pasti ke ladang dan baru pulang nanti siang.” Ternyata tebakan ku benar. Sepertinya ia paham kalau aku sedang mencari pak Ramlan.

“Panggil kak aja ya,” pintaku kepada gadis manis berjilbab di depan ku. Sepertinya ia lebih muda empat tahun dari usiaku. Aku memang agak risih kalau di panggil kang atau pun mas. “Kamu sedang apa? Tumbuhan-tumbuhan ini semua kamu yang rawat?” aku mulai memperhatikan tumbuhan jenis bunga Putar, berwarna merah keunguan, bentuknya mirip manik-manik yang biasa menghiasi jilbab ibuku.

“Oh...maaf kak, iya semuanya aku yang rawat. Itu namanya bunga Kenop kak, meski memiliki bunga kecil, banyak khasiatnya sebagai obat.”  Terangnya sambil meneruskan memberi pupuk ke tanaman lain.

 “Masa? Kalau di tempat aku biasanya hanya ditanam di pekarangan sebagai tanaman hias. Memang apa khasiatnya?” selidikku. Biasanya aku temukan tanaman itu berjejer indah di rumah-rumah penduduk.

“Iya kak, semua tumbuhan memiliki keistimewaan, cuma kita kadang tidak sampai ilmunya ke sana. Bunga Kenop bisa di gunakan untuk mengobati sesak napas, pertusus dan obat radang mata. Dia memiliki kandungan kimia Gomphrein dan Amarathin, kandungan minyak Asiri, flavon yang khasiatnya sebagai peluruh dahak. Bisa juga kalau sedang sakit kepala.”

“Waaah...aku harus banyak belajar dari Savana nih.” Benar juga, semua yang di ciptakan Allah pasti ada maksud dan tujuannya. “Ternyata ada pohon ciplukan juga yang tumbuh di pegunungan ini.” aku kagum dengan cara Savana menerangkan. Seperti semua sudah di luar kepala.

 “Kakak bisa saja, tapi sayangnya tanaman satu itu sudah jarang aku temui di daerah ini kak.” Katanya prihatin. Sangat di sayang kan memang, aku jadi teringat dulu nenek suka marah-marah dengan ke isengan ku mencabut tanaman ciplukan di kebun. Padahal Ciplukan yang nama latinnya Physallis Angulata Linn itu cukup ampuh untuk pengobatan alternatif mengatasi Influenza dan sakit tenggorokan.

“Oh gitu...kamu sedang membuat apa Savana? Boleh aku melihat-lihat lebih jauh?”

 “Boleh kak, silahkan masuk. Tapi maaf bukan maksud nggak sopan, jaraknya tolong tetap berjauhan, nggak baik kita cuma berdua saja di sini. Maaf!” Pintanya penuh kehati-hatian. ”Aku sedang membuat kan ramuan obat untuk abah.”

Subhanallah, aku jadi malu sendiri. Selain santun dan pintar, dewasa sekali gadis di hadapan ku ini, “Iya...aku mengerti. Abahmu sakit apa? Boleh sekalian di jelasin dari tanaman apa saja obatnya kamu buat.”

“Batu Ginjal kak, ini aku sedang memilih-milih daun Kumis Kucing, Daun Keji Beling, dan daun bunga Tempuyung yang masih segar. Biasanya aku rebus untuk di minum abah tiap pagi dan malam. Atau bisa juga sebagai lalapan.” Terangnya sambil memetik beberapa helai daun yang dibutuhkan.

“Oh gitu, sepertinya kamu banyak paham yah tentang obat-obatan. Kapan-kapan boleh ajari aku untuk bahan karya ilmiah. Oh iya, kamu benar hanya tinggal berdua sama abah? Kalau ibu?”

“Sedikit kak, belajar dari abah. Iya sejak kecil aku memang hanya berdua dengan Abah. Ibu pergi lebih dulu setelah berjuang melahirkan anak satu-satunya.” Ia menunduk.        “Aduh, maaf! Aku....” sungguh aku menyesali pertanyaan itu.

 “Tidak apa-apa kak, aku tinggal sebentar ya, mau merebus daun-daun ini. Silahkan dilanjutkan melihat-lihatnya. Permisi.” Savana berlalu ke dapur. Dan aku menatap kosong sebuah pot tanaman kemuning di depan ku. Berwarna putih, berkeping lima menyerupai bintang dan daunnya licin seperti daun jeruk nipis.

#Bagian dari naskah berjudul lakaran Minda
Maaf kalau masih berantakan. 

19 komentar:

  1. Balasan
    1. ehm... pertanyaan sama yang ingin ane ajukan juga.
      btw makin mantap aja nie si abang bikin cerita, lama ga kesini ternyata makin yahud.

      Hapus
    2. itu dia yang khas dari bacaan berbobot. di novelnya Dee juga sering ada sebutan yang sebenarnya bikin kita bingung. tapi karena kita terkesima dengan alur dan watak seorang tokoh di situ, yang kayak gitu jadi bumbu yang menyejukkan tanpa kita harus tahu definisinya. bagi savana cukup misterius untuk dicermati, sehingga saya nggak peduli kenop itu apaan. yang saya bayangkan bunga bagus berwarna putih kemerahan. salah ya Bang Uz?

      Hapus
    3. coba search di si mbah tentang bunga kenop :)
      warnanya merah bang..

      Alhamdulillah untuk yang berbau bau sanjungan,semoga jadi bagian dari doa yang Allah dengar. Amiin

      Hapus
  2. Berhasil banget pendeskripsiannya, bang~ Uh~ jadi ada ilmu ilmiahnya gitu, yah~ Bagus.

    BalasHapus
  3. uzay...lama gak main kesini..udah banyak tulisan yg belum saya baca..
    :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hoho ini sapaan sekaligus sindiran tersendiri nih Kak :)

      Hapus
  4. pak ramlan pak ramlan..
    nggak asing dengan wajah ini :p

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tapi disini nggak ada visualisasi tentang Pak Ramlan :)

      Hapus
  5. masya Allah kayaknya abang uzay pinter dan hafal nama latin tanaman dweh.
    Dan mendiskripsikannya spti perempuan makannya dulu ku pikir ini punya perempuan hehe, afwan yah.

    Intinya aku senanglah banyak pelajaran baru. cerpen tttg tnaman bisa dibuat menarik :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihi laki-laki kok laki-laki :D

      Alhamdulillah ;)

      Hapus
  6. KEREN!

    Jadi ingat novel2nya andrea hirata. Selalu ada ilmu berguna di sela2 cerita :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. bagusan ini daripada andrea hirata. andrea hirata ada narsis-narsisnya, kalo tulisan ala bang uzay ini nggak ada Mbak, hehe.

      Hapus
    2. Ah Mbak Dini n Bang Zach suka berlebihan, jangan gitu nggak enak jadinya.

      Hapus
  7. Nice post sob..:)
    jangan lupa kunjungi juga sahabat mu ini bro..:)

    BalasHapus
  8. ada pelajaran tentang apotek hidup nyelip di dialog savana. hehe... boleh juga tu Bang Uz, wacana bagus buat saya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe ini udah lama banget bang di folder laptop nggak selesai ;D

      Hapus

Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)