Mei 01, 2016

CERITA DI SIANG ITU

Siang itu, ketika matahari sedang terik-teriknya. Lagi-lagi aku mendapatkan ‘bonus’ di pinggir jalan. Jatah ban betus sebagai salah satu pengguna jalan.

Mau tak mau aku harus mendorong motorku untuk mencari jasa tambal ban. Yang untungnya tidak terlalu jauh dari tempat kejadian. Dan bertambah lega juga karena melihat tempat ‘dokter spesialis ban dalam’ itu ternyata bersebelahan dengan warung. Tentu saja kegiatan dorong-dorong motor di siang bolong itu butuh asupan minuman segar pelega tenggorokan.

Ketika baru saja sampai ke lokasi, ternyata nasib malangku ada temannya. Dari arah yang berlawanan, seorang gadis sedang menuntun motor matic-nya. Wajahnya memakai masker. Motorku sampai beberapa detik lebih dulu dari motornya. Setelah meminta tolong untuk mengeksekusi ban dalamku yang bocor, aku duduk sejenak untuk sekedar menormalkan ritme pernapasan.

“Motornya kenapa neng?” tanya bapak pemilik bengkel. Sejenak mengacuhkan motorku.

“Minta ditambah anginnya saja pak.” Gadis itu menjelaskan tujuannya. Aku ikut menyimak.

“Wah ini mah bocor neng, harus ditambal. Sebentar ya bapak nambal motor si aa-nya dulu.”

“Tidak apa-apa pak. Motor matic-nya dulu saja.” Kataku menawarkan.

“Tidak apa-apa nih a? Kan tadi sampai duluan dari si nengnya?” tanya bapak pemilik bengkel memastikan.

“Iya pak. Saya lagi tidak buru-buru kok.” Kataku meyakinkan.

Gadis itu sekilas melihatku, tapi tidak mengucapkan basa-basi apa-apa. Ia malah menuju mesin pendingin warung. Ah sepertinya aku juga harus mengambil minuman dingin, tapi nanti dulu deh kalau gadis itu sudah selesai transaksinya.

Aku memperhatikan kinerja bapak pemilik bengkel yang sangat telaten. Aku taksir ia menggeluti bidangnya itu sudah lebih dari dua tahun. Atau bahkan lebih. Aku pernah bertanya ke bapak penambal ban di lampu merah sana malah sudah mau sepuluh tahun jadi penambal ban. Entah sudah berapa puluh ban motor yang ia tambal. Sebanding dengan berapa banyak pengguna jalan yang merasa tertolong karena jasanya itu.

Waktu yang cukup lama untuk bertahan di satu bidang yang sama. Apa tidak bosan ya? Ketika aku iseng memikirkan itu tiba-tiba gadis itu menyodorkan sebotol minuman. Tanpa kata-kata.

Aku mendongak melihat wajahnya, yang kini tanpa masker. Maksudnya apa? Maksudku begitu.

“Sebagai ucapan terima kasih karena sudah bersedia mendahulukan kepentingan perempuan asing.” Katanya panjang lebar.

“Oh... terima kasih juga.” Kataku meraih minuman itu. Menghargai pemberiannya.

Ia duduk di bangku sebelahku, mulai menikmati minumannya. Aku pun melakukan hal yang sama.

“Ban memang bulat, lingkaran bentuk paling bisa diandalkan untuk melajukan kendaran. Tapi kalau kempes sama saja, ia jadi tidak berdaya juga.” Gadis itu mulai berbicara panjang lebar lagi.

Aku menyeringai, apa ia selalu begitu kalau sedang berbincang dengan orang lain? Terlebih orang asing?

“Ya kalau kotak malah tidak bisa dipakai jalan ke mana-mana.” Aku basa-basi menimpalinya. Garing banget ya? Mana ada coba ban kotak?

“Ban luar memang bulat, kuat, bisa menghalau jalan keras sekalipun. Kerikil-kerikil tajam dilewati juga. Tanah berlumpur pun bisa dihadapi. Tapi kalau sudah tertusuk benda tajam walaupun kecil, dan tembus sampai dalam. Nyatanya ia tidak berdaya juga.”

“Sepertinya memahami banget soal ban?” aku menoleh mencoba bergurau.

“Ah tidak juga.” Gadis itu menenguk habis minumannya.

Aku pun melakukan hal yang sama.

“Manusia juga seperti halnya ban. Tubuhnya memang kuat menahan segala beban. Tapi kalau hatinya sudah tersentuh... manusia juga ikutan jadi tak berdaya.”

“Lho? Kok jadi menyinggung soal hati?” aku tidak bisa menahan diri untuk bertanya soal itu.

“Ah tidak. Lupakan saja.”

Hei tidak bisa begitu! Bukannya kalau sudah bawa-bawa hati persoalannya jadi tidak sederhana lagi?

Gadis itu beranjak bangun. Motor matic-nya memang sudah siap diajak jalan-jalan lagi.

“Sekalian saja nanti biayanya sama motor saya pak.” Kataku, mengurungkan gerak gadis itu yang mengeluarkan uang dari dompet. Ia menoleh ke arahku.

“Sebagai ucapan terima kasih karena percakapan menarik soal ban tadi.” Aku menyeringai.

“Oh.... terima kasih juga.” Gadis itu memakai maskernya kembali.

“Boleh tahu namamu?” kataku beranjak bangun.

Ia berhenti sejenak.

“Kalau tidak keberatan. Namaku Deras.” Aku lebih dulu memperkenalkan diri.

Gadis itu mengeluarkan dompetnya lagi. Menyodorkan sebuah kartu nama. Aku menerimanya.

“Joko Suroto?” aku mengerutkan dahi. Masa sih namanya Joko?

“Hubungi saja ayahku di nomor itu kalau ingin tahu nama anak gadis semata wayangnya.” Gadis itu pamit mengucapkan terima kasih kepada bapak pemilik bengkel. Meninggalkanku yang hanya bisa menggaruk-garuk kepala sambil memandangi sebaris nama di kartu nama itu.

“Sudah datangi saja rumahnya a. Terus lamar deh. Manis pisan tuh si nengnya tadi seperti gula jawa.” Kata bapak pemilik bengkel bergurau.

Aku hanya menyeringai mendengar usulannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)