Maret 30, 2019

UNTUKMU, TELINGA

Duhai, telinga, 

Ada yang memanggilmu di sepertiga malam.
Allah langsung untuk mendengar rintihnya doa-doa. Apa yang membuatmu tertutup untuk menjawab panggilannya? apa kau lebih mendengar kata kantuk, hingga masih jua terlelap.

Oh, telinga,

Ada juga yang memanggil-manggilmu 5 waktu dalam sehari. Panggilan muadzin. Untuk menunaikan shalat fardu. Apa yang membuatmu malas untuk beranjak, memenuhi panggilan itu? apa kau lebih mendengar kata sibuk, hingga lupa sampai akhir waktu. 

Duh, telinga,

Ada yang memanggil-manggilmu setiap saat. Adalah kematia. Usia yang bertambah, umur yang berkurang. Terus memanggilmu menuntut adanya perubahan. Mulai dari kesehatan yang menurun. Tenaga yang berkurang. Penglihatan yang kabur. Hingga tak terasa kau semakin tua.

Hanya saja panggilan itu justru Allah yang tidak perdengarkan sebelum waktunya. Hingga Allah perintahkan Izrail datang menyapa. Dalam bentuk amalan yang kau punya. 

Maka.

Terserah kau, telinga,
Mana dari panggilan-panggilan itu yang kau usahakan untuk selalu mendengarnya. Tunduk dan patuh menunaikannya.

Dari hati yang selalu berharap kau baik-baik saja.

@azurazie_

Maret 28, 2019

#SELFREMINDER

Untukmu diri,

Sering-seringlah bertanya apa kabar imanmu?

Pernahkah begitu nelangsa terbangun di kala adzan shubuh sudah berkumandang. Hilang sudah kesempatan untuk tunduk sujud bermesraan di sepertiga malam.

Kemudian, tergesa-gesa membersihkan diri untuk menuju masjid. Sesampainya di sana, iqamah pun sudah selesai dikumandangkan. Hampir saja menjadi masbuk, dan tentu saja dua rakaat sebelum shubuh hanya menjadi angan. Hilang sudah kesempatan memiliki dunia dan seisinya.

Pernah tidak begitu sebal karena lupa menyempatkan diri untuk menunaikan shalat dhuha di sela-sela aktivitas kerja. Atau benar-benar tidak memiliki kesempatan, karena sebuah perjalanan jauh, terjebak macet, atau terjebak di dalam sebuah meeting di pagi hari. Hilang sudah makna menjemput rezeki yang sesungguhnya.

Pernah tidak begitu malu di kala mengajak teman-teman untuk pergi ke kantin, demi untuk memenuhi keinginan perut. Sudah waktunya makan siang. Tapi, beberapa orang menolak dengan sopan karena sedang berpuasa sunnah. Sedangkan kamu sendiri sampai lupa hari, ini rabu atau kamis. Mereka lebih memilih mengisi jam istirahat bertadarus menggenapi onedayonejuz.

Kemudian, jum'at ke jum'at selalu terlewati begitu saja tanpa Al-kahfi, tanpa shalawat. Begitu merasa nelangsa melihat orang lain selalu bisa menyempatkan waktu untuk berlomba-lomba menambah pundi-pundi kebaikan.

Padahal satu harinya sama 24 jam. Pun sama dengan kesibukannya. Pun sama nikmat sehatnya. Dan dirimu bertanya-tanya, sebenarnya yang membuat jadi berbeda? Keberkahan waktu.

Untukmu diri,
Sering-seringlah menanyakan apa kabar imanmu?

Sepanjang waktu, agar tidak semakin jauh dirimu tertinggal.

@azurazie_

Maret 27, 2019

KEMATIAN MAKHLUK BERNYAWA DAN BATAS USIA MAKHLUK YANG TIDAK BERJIWA

Jika kematian adalah sebuah keniscayaan untuk makhluk hidup di dunia. Berarti kerusakan atau kehilangan pun menjadi keharusan yang mutlak dialami oleh makhluk yang tidak memiliki jiwa (benda-benda untuk membantu keperluan manusia.) Hukum alamnya seperti itu.

Kenyataannya, meskipun nurani manusia memang takut menghadapi keniscayaan kematian. Dan nalurinya sangat menyayangkan ketika benda-benda kepunyaannya lantas hilang entah ke mana, atau tiba-tiba rusak. Pada akhirnya, sebuah keniscayaan sudah semestinya bakalan terjadi pada waktu-waktunya. Tidak bisa dimajukan ataupun dimundurkan jadwalnya.

Mirisnya, manusia cenderung terlalu merasa memiliki benda-benda tidak berjiwa itu, hingga jika salah satu saja rusak atau bahkan hilang, mereka akan nelangsa sepanjang hari. Kadang sampai berhari-hari. Apalagi benda itu penting, memiliki sejarah panjang, menyimpan kenangan senang. Padahal sejatinya apa-apa yang pernah terlahir, pernah tercipta ada batas-batas usianya.

Itu perihal nasib benda-benda tidak berjiwa. Bagaimana dengan usia manusia? Bukankah jauh lebih berharga? Dan sudah menjadi keniscayaan akan ada batasnya juga. Sebab termasuk yang pernah terlahir, pernah tercipta.

Hanya Sang Penciptanya yang kekal selamanya. Allah yang menggenggam makhluk yang bernyawa dan yang tidak memiliki jiwa.

Maret 16, 2019

APA AKU SUDAH TERLALU TUA UNTUK BENAR-BENAR MERASA CINTA?

Tadinya aku sudah ingin bergegas untuk ikut memenuhi shaf-shaf yang kosong untuk menunaikan shalat maghrib, tapi demi adab aku urungkan ketika melihat Abah Anom masih meniti anak tangga. Usianya sudah hampir satu abad, tapi semangat untuk shalat berjamaah di masjid tidak pernah absen.
“Duluan saja Nak Jim, orang tua ini mah jalannya sudah mirip siput.” Abah Anom bergurau menoleh ke arahku.

“Nggak apa-apa Abah, saya di belakang Abah saja.” Kataku menolak permintaannya dengan sopan. Meski sudah sepuh dan langkah sudah kurang jejak, Abah Anom tidak mau sama sekali dibantu untuk sekadar dipapah oleh orang lain.

Suasana masjid sudah mulai ramai dengan anak-anak yang sibuk bercanda. Mengganggu kekhusuan shalat sunnah orang-orang dewasa.

“Ssssst jangan bercanda anak-anak. Berisik. Jangan lari-larian.” Suara salah satu jamaah dewasa dengan nada yang sedikit membentak.

Aku melihat Abah Anom menggeleng, sejenak langkahnya berhenti di ambang pintu masjid. Tiba-tiba saja wajahnya murung, nampak sedih.

“Ada apa Abah?” Hati-hati aku bertanya.

“Kau tahu Nak, Jim. Usia masjid ini jauh lebih tua dari usia abah, tapi suasananya masih saja nggak berubah dari dulu sejak abah seusia mereka. Abah suka sedih kalau mendengar anak-anak itu dibentak karena berisik.”

“Kalau boleh tahu kenapa jadi sedih, Abah?”

“Kau tahu Nak, dulu semasa kecil tingkah laku abah seperti mereka, bahkan bisa dibilang paling bandel. Abah punya genk sepuluh orang yang selalu membuat rusuh shalat berjamaah. Ada saja keusilan dari kami, dari mulai melorotin kain sarung, lempar-lemparan kopiah sampai berlomba mengucap amin dengan sangat kencang. Banyak orang dewasa yang menegur dan kesal karena merasa terganggu. Tapi kami nggak ada kapoknya. Semakin dilarang justru semakin ngeyel.”

Aku menggangguk, ternyata dari masa ke masa anak-anak sudah begitu kelakukannya kalau berada di masjid.

“Suatu waktu Abah Muallim Jufri, guru ngaji di kampung abah, sengaja mengumpulkan kami sehabis shalat Maghrib. Abah kira kami akan kena omelan lagi. Tapi ternyata nggak. Abah Muallim Jufri hanya menunduk lama menahan sedih. Lama sekali kami menunggu, hingga Abah Muallim mulai bicara”

“Nak, masjid ini luas sekali, tapi jamaah yang datang setiap shalat lima waktu segitu-segitu saja.” Abah Muallim Jufri menghela napas. “Abah sedih bukan lantaran kelakuan nakal kalian, sebab siapa lagi kalau bukan kalian yang masih mau meramaikan masjid ini. Abah sedih karena semakin berkurangnya kesadaran orang tua kalian untuk ikut memakmurkan masjid. Lebih sibuk dengan dunianya masing-masing.”

“Saat itu kami saling pandang satu sama lain, merasa bangga karena dianggap meramaikan masjid tapi di sisi lain juga sadar, jangan-jangan gara-gara kami orang-orang dewasa jadi enggan untuk ke masjid?”

“Tentu bukan kesalahan kalian, Nak.” Abah Muallim Jufri seperti bisa membaca pikiran abah saat itu. “Abah berpesan, tetaplah meramaikan masjid, sampai suatu saat kalian akan memahami, betapa bahagianya hati ini, dikala sujud begitu terasa sedang ditatap oleh Allah. Di saat benar-benar merasa tunduk dan patuh karena cinta Allah.”

“Mendengar kata-kata itu kami semua terdiam. Memang nasihat Abah Muallim Jufri itu tidak langsung membuat kami berubah. Tetap bandel seperti biasanya. Tapi seiring berjalannya waktu pemahaman baik itu benar-benar tumbuh di masjid tua ini. Betapa pertistiwa itu terasa baru kemarin, Nak Jim. Genk Abah sepuluh orang itu, anak-anak yang paling bandel di kampung ini dulu, satu per satu sudah meninggal dunia. Tinggal Abah saja yang sedang menunggu gilirannya.”

“Melihat anak-anak ini, Abah jadi sedih mengingat masa-masa itu. Semoga mereka dapat lebih cepat memahami bahwa betapa bahagianya hati ini, di kala sujud begitu terasa sedang ditatap oleh Allah. Merasakan cinta yang sebenarnya di masjid ini.”

Aku terharu mendengar cerita Abah. Hingga shalat maghrib selesai ditunaikan, Abah Anom tetap sujud dengan khidmat, mengembuskan napas terakhirnya. Merasa benar-benar sedang ditatap oleh Allah. Maghrib ini adalah giliran Abah Anom merasakan benar-benar cinta-Nya.

@azurazie_

Maret 13, 2019

TAHUKAH KAMU?

Tahukah kamu, seseorang yang terbiasa tergesa meninggalkan doa setelah salam untuk mengejar kepentingan dunianya. Ia tidak sadar, dunia tidak akan pernah bisa memenuhi semua kebutuhannya. Sedangkan meluangkan lebih banyak waktu untuk berdoa itu, sebenarnya untuk kebaikannya.

Tahukah kamu, seseorang yang masih merasa amalan-amalan sunnah itu sangatlah sepele, dan seperlunya saja. Merasa cukup dengan menunaikan kewajiban-kewajibannya saja. Kemudian lebih mementingkan rutinitas dunia untuk menambah pundi-pundi rezeki. Ia tidak sadar sedang tidak menambah apa-apa untuk kebaikannya. Sedangkan amalan sunnah bisa menambal kewajiban yang ia tunaikan, yang belum tentu sempurna.

 Tahukah kamu, seorang ayah/suami yang masih membiarkan perempuan-perempuan yang disayangnya keluar rumah tanpa menutup auratnya, boleh jadi sudah semakin hilangnya rasa cemburu pada hatinya. Merasa biasa saja membiarkan orang lain memandang mahkota yang seharusnya ia lindungi dengan nyawanya.

Tahukah kamu, Al-Qur'an adalah sebaik-baiknya obat penenang dikala merasa sedih, banyak keluhan tentang hidup, rumitnya pikiran, dan segala macam bentuk kegundahan lain. Coba saja buka sembarang surat, akan kita temukan satu atau dua ayat yang menjadi pelipur lara di kala itu. Ayat-ayat yang pas untuk menghibur keadaan. Minimal pengingat yang baik yang sedang kita butuhkan. Dan apabila belum berhasil menemukan obat penenang itu, boleh jadi karena kita yang masih kurang intens bermesraan dengannya. Tidak heran bila membaca Al-Qur'an tidak membuat kita merasa apa-apa.

Tahukah kamu, baru bisa disebut rezeki itu bila sudah kita nikmati dan bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain. Sedangkan bila baru sekadar dimiliki itu belum tentu jadi rezeki, masih sekadar titipan. Yang kita nikmati, bila itu makanan, menjadi rezeki untuk tubuh. Menopang untuk tumbuh dalam berkah. Yang kita berikan di jalan Allah, baik sedekah, pemberian nafkah, pemberian hadiah  dan lain-lain, itu bisa jadi rezeki karena menjadi amalan jariyah. Yang sekadar kita belanjakan, itu bisa jadi rezekinya si pedagang yang dititipkan Allah kepada kita. Maka, nikmatilah rezeki milikmu dengan bijaksana. Dalam syukur yang terus bertambah. Milikilah nikmat rezekimu dengan Lillah. Dalam ikhlas semata-mata mencari Ridho Allah

   

@azurazie_