November 11, 2013

ISTANA REZEKI

Selain itu Syauqi mencontohkan kebiasaan sederhana, menunaikan shalat Dhuha sebelum bekerja. Suatu ketika Roni seorang office boy baru, tertangkap basah sedang memperhatikan Syauqi berdoa dengan khusyu di mushalla.
“Ma… maaf Pak.” Roni tampak malu dan takut sang direktur akan memarahinya.
“Ada apa Ron? Kamu mau shalat juga? Silakan.” Tanya Syauqi sambil beranjak dari sajadah.
“Oh nggak Pak, saya cuma lewat saja. Bapak selalu mengerjakan Dhuha ya?” Roni menyampirkan celemeknya di pundak, sesekali merapikan rambut yang panjangnya sudah melebihi daun telinga.
“Bagi saya, Dhuha itu ibarat kunci Ron. Kalau kamu mau memasuki sebuah istana megah dan melihat isinya, tanpa kunci kamu nggak akan bisa masuk bukan?
Roni tampak mengerutkan dahi, rupanya perkataan sang direktur terlalu sulit untuk ia cerna.
“Tapi Pak, maaf… kalau bukan saya yang punya istana itu gimana?”
Syauqi tersenyum, rupanya pertanyaan itu berhasil memancing lawan bicaranya jadi ingin lebih tahu.
“Begini, kalau istana itu memang bukan milikmu, tetap kamu bisa masuk. Dengan syarat, kamu harus permisi dulu kepada pemiliknya, tentu dengan cara yang santun. Nah, sekarang ibaratkan saja istana itu adalah gudang penyimpanan rezekimu, dan jadikan Dhuha sebagai  cara permisimu yang paling sopan. Agar pintu rezekimu dibukakan dengan selebar mungkin oleh pemiliknya. Siapa tahu yang punya istana tersentuh dengan caramu bertamu, kemudian berbaik hati memberikan singgasana dan isi-isinya untukmu.”
            “Oh gitu ya Pak.” Roni mulai mengerti. Aamiin ya Allah.”
“Masuk rumah sendiri saja kita dianjurkan untuk berucap salam, meskipun tahu nggak ada orang. Apalagi masuk istana besar.
Iya Pak terima kasih banyak. Kalau gitu saya permisi, mau shalat dulu.” Roni tampak sumringah. Ia memang sedang gundah karena belum mengirimkan uang ke kampung, perkataan sang direktur seakan membentangkan jalan keluar untuk persoalannya itu.
“Oh... iya Ron. Sebentar.
“I... iya Pak?” Roni agak terkejut.
“Alangkah baiknya kalau mau bertamu ke istana, rambutmu di cukur dulu biar lebih rapi.” Syauqi menyindir secara halus rambut OB-nya yang sudah tampak gondrong.
“Oh iya Pak, besok saya cukur. Maaf.” Roni salah tingkah dengan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Buru-buru ia mengambil wudhu, sampai tidak sadar celemeknya terjatuh.
Syauqi hanya menggeleng geli memperhatikan tingkah OB-nya itu. Sejak itulah satu persatu karyawannya mulai terbiasa menerapkan Dhuha di sela-sela kerja mereka.  
***
*Koleksi cerita lama (NafAs2Masa) #Naskahyangtercecer
 

6 komentar:

  1. mhuehehe kalo guru agama ika nyuruh dhuhanya tegaaas, jadi seminggu sekali diabsen dhuhanya dapet berapa banyak, ntar akhir semester dirata-rata terus itu dijadiin nilai ulangan harian, gitu :3

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waduuuuh ibadah kok dibikin buat ngambil nilai neng? :D

      Hapus
    2. Iyaaa katanya sih biar jadi kebiasaan, gitu~

      Hapus
    3. Hah kalau diterapkan di sekolahan TK atau SD masih boleh seperti itu.

      Hapus
  2. dhuha memang benar adalah salah satu pembuka pintu rejeki bagi kita..dan itu sudah menjadi ketetapan dalam janji ALLAH SWT yang tak pernah diingkari......salam :-)

    BalasHapus

Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)