Juni 04, 2014

Hujan dan pesan-pesan perasaan

Seketika tersenyum memandang rinai hujan di balik jendela kaca. Memikirkan sesuatu tentang hujan dan pesan-pesan perasaan.

Hujan, tentu saja mereka adalah pasukan pembawa pesan yang disampaikan langit kepada hamparan tanah.
Itulah cara langit menyentuh tanah yang hanya bisa dipandanginya dari atas. Sosok yang ia ingin lindungi setiap saat.

Pesan itu akan sampai meresap dan kemudian cepat atau lambat akan kembali disambut sang langit, dengan pesan baru berisi curahan hati hamparan tanah yang hanya memandang ke atas. Memuji pesona langit.

Seketika aku tersenyum memikirkan sesuatu. Aku percaya selalu ada cara untuk menyampaikan pesan hati, sekalipun jarak membentang tak terperi.

Selalu ada kesempatan untuk terhubung dalam harapan. Seperti cara langit menyampaikan pesan lewat butiran hujan. Seperti alam yang pandai menyampaikan kisahnya. Kisah diam-diam yang selalu membuat orang lain iri dan jatuh cinta.

Entah berapa butir lagi hujan yang akan turun. Seketika aku resah memikirkan sesuatu. Aku yakin pesan-pesan doa itu akan sampai kepadanya. Yang aku belum tahu kapan pesan itu akan berbalas dengan kabar gembira. Mungkin setelah hujan ini sudah benar-benar reda.

Februari 23, 2014

CERURY: Sepuluh Tahun yang manis



Sudah sepuluh tahun aku bersahabat dengannya, masih tidak percaya jalinan itu diikat dengan hal yang lebih serius. Pernikahan. 

Aku dan Ra’ sudah bersahabat sejak zaman SMP. Tidak ada yang terlalu spesial dengan kisah persahabatan kami. Sekedar dua anak remaja yang suka tukar-tukaran mengerjakan PR di sekolah. Aku lemah di pelajaran IPA dan ia tidak terlalu suka pelajaran bahasa. Bisa dibilang awal terbentuk persahabatan itu tidak benar-benar tulus, ada kepentingan terselubung di sana.

Hampir setiap minggu aku main ke rumahnya untuk menukar lembar jawaban tugas sekolah. Dan kebiasaan itu terus berlanjut hingga kami sama-sama sudah kuliah di kampus berbeda. Meski bukan lagi karena tugas sekolah. Aku memang senang kerumahnya, orang tua Ra’ sangat menyenangkan. Ditambah masakan ibunya yang sayang sekali kalau dilewatkan.

Aku dan Ra’ memiliki sifat seperti bumi dan langit. Banyak sekali perbedaan di antara kami. Satu hal yang mungkin sama payahnya, kami sama-sama memiliki rahasia ‘diam-diam sedang menyukai seseorang’. Ya, kami termasuk golongan screat admirer, si penatap punggung seseorang. Ra’ mengaku sedang diam-diam menyukai teman kampusnya. Aku pun sedang tertarik dengan salah satu teman perempuannya Ra’. Sedangkan di antara kami berdua tidak pernah menyinggung soal cinta. Kami murni hanya bersahabat.

Sampai pada malam itu, aku ingat sekali jam delapan. Aku mengantar Ra’ pulang. Kami baru dari resepsi pernikahan salah satu sahabat Ra’. Dan ketika hendak pamit pulang, tiba-tiba ayah Ra’ menanyakan sesuatu yang membuatku terkejut.

“Kalian berdua kapan mau menikah?”

Aku dan Ra’ reflek saling pandang-pandangan. Aku mengerutkan dahi, sedangkan Ra’ langsung tertunduk. Malam itu untuk pertama kalinya aku memikirkan ulang ikatan persahabatan ini. Merenungkan apa perasaanku sebenarnya kepada Ra’.

Malam itu, 10 jam ke depan aku menimang-nimang hati ini. Dan pukul enam pagi akhirnya memutuskan sesuatu. Aku memberanikan diri melamarnya.

Melamar sahabat yang aku kenal 10 tahun lalu bernama Ra’.
***

Sepuluh hari berlalu setelah akad pernikahan, aku masih tidak percaya pada akhirnya kami mengisi hari-hari di bawah atap yang sama. Tidak ada yang berubah dengannya.Tidak ada yang berubah dari kami. Kami masih menjunjung tinggi perbedaan sifat-sikap masing-masing. Termasuk soal selera. Meskipun kami tahu harus sama-sama belajar beradaptasi, mencoba melebur perbedaan itu agar tetap seimbang pada tempatnya. Tanpa menghilangkan kenyamanan masing-masing dengan tetap menjadi diri sendiri.

Contoh sederhananya. Ra’ penggemar masakan pedas, tapi tidak terlalu suka dengan yang manis-manis. Sedangkan aku tidak pernah bisa memakan yang pedas dan paling suka dengan makanan manis. Ra’ pandai sekali menyikapi hal ini, ketika memasak ia selalu membagi dua bumbu yang berbeda. Sesuai dengan selera lidah kami masing-masing. Katanya, biarpun selera lidah kita berbeda, tapi lauknya tetap bisa sama. Dan aku mengacungi jempol bangga atas idenya itu.

Itulah kisahku dengan sahabatku Ra’ Dan aku mencintainya se jelas ujung lidah mengecap rasa manis.
  

Februari 16, 2014

CERURY: Sembilan point si manusia kaku



Banyak yang menjuluki ia adalah manusia kaku. Manusia yang direpotkan oleh peraturan yang dibuatnya sendiri. Meskipun perlu juga diakui ia adalah manusia yang perjalanan hidupnya terencana dengan baik. Lebih baik dari siapapun.

Aku salah satu orang yang mengenalnya dengan jauh lebih baik, bukan dari sisi yang menjulukinya kaku. Tapi dari sisi yang pergerakannya selalu terencana. Aku tahu salah satu kebiasaanya, ia selalu menyempatkan diri menulis point-point penting yang akan ia kerjakan besok, sebelum tidur. Baginya itu adalah jadwal kedisiplinan bukan sekedar oretan pengingat.

Secara garis besarnya, ia harus sudah tidur pada jam sekian-sekian. Harus bangun tepat waktu di jam sekian-sekian. Lalu harus mengerjakan ini-itu sampai jam sekian-sekian. Bla bla bla sampai catatan pada malam hari ini tercontreng sempurna. Itulah kebiasaan uniknya. Itu untuk jangka waktu yang pendek. 24 jam. Lain hal kalau menyangkut rencana seminggu ke depan, sebulan ke depan, se tahun ke depan. Harus mencapai ini di usia segini, harus sudah punya ini ketika usia beranjak sekian. Catatan itu lengkap tersimpan di file pribadinya.

Sejauh ini ia mengaku kebiasaannya itu sangat membantu ia mencapai apa yang sudah menjadi targetnya. Minimal mengurangi intensitas kegagalan. Sebagai alarm untuk dirinya sendiri. Meskipun ya itu, ia menjadi pribadi yang kaku. Seolah ada yang mengawasi dan memarahi jika ia sampai ia terlambat melakukan aktivitas berikutnya.

Pernah kami janjian makan malam bersama di luar kantor. Ada sekitar lima orang teman lain yang ikut. Malam itu kebetulan ada yang baru promosi jabatan. Hingga ia yang ditodong untuk mentraktir kita-kita. Setelah makan kami tidak langsung pulang, mengobrol-bergurau sampai tidak ingat waktu. Tiba-tiba si temanku yang kaku itu berdiri pamit duluan. Katanya dia harus bergegas pulang karena sudah terlambat lima belas menit untuk tidur. Kami semua menggelengkan kepala, sampai segitunya. Meskipun mau tidak mau menganggukkan kepala. Setuju ia pulang duluan.

Di hari minggu tidak terlalu padat aktivitasnya. Semalam ia sudah menulis sembilan point yang akan ia kerjakan/temui/kunjungi hari ini. Start jam enam teng, finish jam sembilan malam. Salah satunya, ia sudah janjian akan ketemu sahabat lamanya di salah satu kafe jam sembilan pagi. Itu point ke tiga yang harus ia selesaikan hari ini. Berarti masih sisa enam point kegiatan yang menanti.

Jam sembilan kurang sepuluh menit ia sudah sampai di kafe yang sudah ditentukan. Sengaja datang lebih awal, ia harus menyelesaikan tulisannya lebih dulu sebelum bertemu dengan sahabatnya itu. Ya di sela-sela waktu senggang ia memang berusaha menyempatkan waktu untuk menulis.

Pukul sembilan lewat lima belas, yang ditunggu belum juga muncul. Mungkin macet, ia berasumsi sembali menyeruput es teh manis yang tinggal setengah gelas. Kembali ia menekuri tulisannya.

Malang bukan kepalang. Si manusia kaku ini memang lihai mengatur waktu harus ini itu dan sebagainya. Tapi tetap saja ia juga memiliki kelemahan. Salah satunya rasa kecewa. Sudah satu jam berlalu dari jadwal yang ditentukan, sahabatnya yang ditunggu tidak kunjung datang. Padahal ia sudah memiliki harapan besar untuk pertemuan hari ini. Dan selanjutnya bisa ditebak, dengan tidak jadinya pertemuan itu, dengan rasa kecewa yang baru saja terbentuk di hatinya. Jadwal enam point ke depan sudah pasti berantakan. Ia sudah tidak selera untuk melanjutkan aktivitasnya. Memilih pulang dan tidur seharian.


CERURY: Delapan angka yang lemah

Angka Delapan

Banyak yang memfilosofikan angka delapan sebagai angka yang istimewa. Kata mereka, delapan terbentuk dari dua angka nol yang ditumpuk dan garisnya tidak terputus. Bentuk angka yang paling sempurna. Itu anggapan mereka. Bahkan ada yang beranggapan delapan adalah bentuk cinta yang awet. Cinta yang tidak akan terpisah.

Tapi lain bagiku, angka delapan adalah bentuk kelemahan itu sendiri. Itu jika dianalogikan dengan sifat manusia. Manusia yang cenderung memiliki sifat susah lepas dari kebiasaan buruk. Atau manusia yang selalu melakukan kesalahan yang sama secara berulang-ulang, meskipun ia teramat sadar kalau yang ia lakukan adalah salah. Yang ia lakukan merusak diri sendiri.


Manusia yang sebenarnya ingin berubah menjadi lebih baik, tapi ia selalu terperosok ke lubang yang sama. Manusia yang hanya skak di tempat, tidak bisa beranjak ke mana-mana.

Delapan Februari kemarin aku sengaja mengunjungi toko buku yang berada di kota depok. Daerah Margonda Raya. Tidak, aku tidak akan bercerita suasana toko buku, atau buku apa saja yang terbaru di sana. Aku akan bercerita sedikit pelajaran yang aku peroleh pada hari itu. Tentang hal yang berkaitan dengan sifat angka delapan pada manusia di atas.

Untuk ke toko buku aku harus menyebrangi jembatan penyebrangan. Baru menginjak tiga anak tangga pertama pun pemandangannya sudah tidak asing. Para pengemis dengan latar belakang usia yang beragam. Lebih di domisili oleh ibu-ibu paruh baya memakai kerudung sambil menyampirkan kain di pundaknya. Juga nenek-nenek lansia yang seharusnya layak dirawat oleh anak cucunya.

Sejujurnya aku sudah tidak tertarik memberikan uang kepada mereka. Itu bentuk kepedulianku dengan tidak memanjakan mereka. Mengurangi ketergantungan mereka atas pemberian orang lain. Jadi aku lengang saja melewati mereka.

Hingga akan menuruni anak tangga, aku melihat pemandangan tidak biasa itu. Dan langkahku tertahan cukup lama di sana. Ada seorang kakek yang menghampiri salah satu nenek pengemis itu. Kakek itu penjual emping. Ia sengaja benar berhenti hanya untuk memberikan plastik berisi makanan kepada nenek pengemis tadi.

Inilah salah satu kebiasaan burukku, di beberapa keadaan yang menarik perhatianku, aku cenderung ingin tahu urusan orang lain. Untuk itu, ketika ada kesempatan, ketika jarakku dengan jembatan penyebrangan sudah cukup jauh. Aku menghampiri kakek penjual emping tadi. Basa-basi bertanya harga dagangannya. Harganya empat ribu satu kantung plastik. Dan aku membeli dua bungkus.

"Abah kenal dengan nenek yang dijembatan penyebrangan tadi?" Mulutku sudah tidak bisa ditahan untuk bertanya.

"Ooh nenek tadi." Sambil menyiapkan pesananku. "Dulu dia teman mengemis saya, bertahun-tahun di jembatan tadi."

Aku mengerutkan dahi, sedikit terkejut.

"Suatu hari saya mendengar nasihat seorang ustadz, kalau manusia jangan sampai rugi di dunia dan akhirat. Sudah di dunia miskin, di akhirat bangkrut. Dan jangan merendahkan harga diri dengan meminta belas kasihan orang lain. Jadi delapan ribu aja." Aku menukar uang sepuluh ribu dengan dua kantung plastik berisi emping.

"Semenjak itulah saya berhenti mengemis, saya kasihan melihat nenek tadi. Bertahun-tahun masih aja jadi pengemis. Nggak berubah nasibnya."

Aku mengangguk sembari mengambil uang kembalian.

Februari 07, 2014

CERURY: Tujuh Kebutuhan



“Jika sudah lima yang kau tunaikan, tambahkan dua.”

Begitu nasihat ibuku jika aku hendak kembali merantau. Sejak kecil aku memang sudah terbiasa jauh dari orang tua. Ngekost di kota lain di luar tempat kelahiranku. Aku suka berpetualang mencari tempat baru, suasana dan segala macam pengalaman yang membuatku antusias. Karena itulah aku memilih sekolah jauh dari rumah sejak sekolah dasar. Dan sejauh ini orang tuaku tidak keberatan. Mereka percaya aku bisa jaga diri.

Aku mengangguk, menyelesaikan tali sepatu kemudian menghampiri ibuku untuk mengecup telapak tangannya. Kelopak matanya basah. Selalu begitu jika aku sudah harus berpamitan lagi.

Ibu tidak menasihatiku macam-macam, seperti jaga pergaulan, cari teman dan lingkungan yang baik dan sebagainya. Pesan ibu hanya kalimat sederhana, “Jika sudah lima yang kau tunaikan, tambahkan dua. Biasakan tujuh itu jadi kebutuhanmu sehari-hari.”

Ya, sederhana ibu hanya mengingatkanku untuk selalu menjaga shalat lima waktu di manapun aku berada. Dan berpesan agar aku selalu menyempatkan waktu untuk menambah dua hal lagi. Tahajud di sepertiga malam dan Dhuha ketika matahari mulai naik tujuh hasta sejak terbitnya. Itulah tujuh waktu yang awalnya seperti kewajiban rutin yang harus aku lakukan tiap harinya, dan lama-lama menjadi kebutuhanku sendiri. Seperti kata ibu.

Sewaktu umurku masih lima tahun aku pernah menanyakan alasannya. Kenapa kita harus shalat, kenapa harus bangun sebelum shubuh. Ibuku menjelaskan, sembari memakaikan seragam sekolahku. Ibuku paham, jika aku harus mengerjakan sesuatu, aku harus tahu lebih dulu alasannya. Katanya,

“Jika kamu sudah besar nanti, kelak kamu akan paham kalau shalat itu bukan sekedar rutinitas seorang muslim. Shalat adalah cara seorang hamba bersyukur dan meminta perlindungan Allah.” Ujar ibuku sembari mengancingkan bajuku.

“Misalnya shalat shubuh, kenapa kita harus buru-buru bangun pagi-pagi sekali yang bahkan matahari pun belum terbit untuk menunaikan shalat dua rakaat. Itu cara kita menyiapkan diri, jiwa dan raga untuk menghadapi kehidupan satu hari ke depan. Karena kita tidak tahu akan ada apa saja selama dua puluh empat jam ke depan. Bayangkan kalau orang bangun tidur langsung kerja, beraktivitas. Pasti rasanya malas sekali. Tapi dengan kita shalat pikiran kita akan lebih segar, raga kita akan lebih siap. Pagi-pagi sekali kita sudah terbasuh air, menghirup udara segar. Berkonsentrasi untuk sepenuh jiwa menghadapNya. Berdoa untuk meminta kemudahan. Insya Allah kalau kita melakukan shalat shubuh secara teratur –tidak kesiangan terus. Langkah kita akan lebih ringan, karena sudah sadar sepenuhnya. Sadar dari kematian sementara yang kita kenal dengan tidur, sadar bahwa kita sudah diberi kesempatan kembali hidup. Kamu ingat doa bangun tidur kan? Sering baca terjemahnya juga kan?”

Aku mengangguk, sambil kedua lenganku berpegangan pundak ibu karena harus mengangkat kaki kiri untuk memakai celana.

“Seperti itu juga empat shalat wajib lainnya, masing-masing memiliki manfaat bagi yang mengerjakannya. Pengetahuan kita saja yang masih terbatas. Kalau sudah besar kamu nanti jauh lebih paham dari ibu.”

Sampai usiaku sembilan tahun, aku hanya mengerjakan shalat lima waktu. Belum terlalu diperkenalkan dua shalat sunnah tambahan itu. Sama akupun menanyakan alasannya. Waktu itu aku sedikit jengkel karena sedang asyik bermain gundu, tiba-tiba aku disuruh pulang dulu karena harus mulai belajar membiasakan diri shalat Dhuha.

“Kebutuhan manusia itu banyak, tidak bisa seratus persen kita bisa berusaha memenuhinya. Untuk saat ini, itu cukup jadi alasan buatmu mengerjakan shalat Dhuha dua rakaat. Catat di hatimu, Dhuha lah caramu meringankan kebutuhanmu yang tidak bisa kamu penuhi secara sempurna. Dhuha penyeimbang usaha-usaha yang sedang kamu lakukan. Berharaplah diberi kemudahan, selalu diberi jalan terang. Cukup itu dulu yang jadi alasannya, pelan-pelan ketika kau sudah rutin mengerjakannya, ibu yakin kamu akan menemukan alasan lain. Kamu akan pahami dengan sendirinya.

Sedangkan untuk Tahajud, baru belakangan ini aku tahu alasannya kenapa ibu menasehatiku untuk selalu bangun di sepertiga malam. Waktu masih sekolah aku jarang sekali bangun untuk shalat Tahajud, karena di sekolah aku pasti menguap karena mengantuk. Makanya untuk shalat malam ini, dalam sebulan bisa dihitung dengan jari. Hingga setelah kerja inilah pemahaman itu mulai datang membawa alasan-alasan yang jiwaku menerimanya. Ternyata aku memang membutuhkan shalat malam itu, membutuhkan tempat untuk berkeluh kesah setelah seharian disibukkan dengan rutinitas yang monoton. Membutuhkan waktu sendiri dalam sepi untuk perenungan, untuk menyejukkan jiwa-jiwa yang mulai lapar oleh basuhan rohani. Dengan Tahajud jiwa manusiaku kembali kepada fitrahnya, sebagai seorang hamba. Dialog diri sebagai seorang hamba itu yang membantuku kembali ke tujuan semula aku merantau di bumi ini. Setelah seharian penuh aku dibutakan jalan oleh dunia.

Dalam perjalanan kembali ke kosanku, aku mengingat kembali pesan sederhana ibu. “Jika sudah lima yang kau tunaikan, tambahkan dua.”

Lagi-lagi aku mengangguk meski jarak ibu sudah berkilo meter di belakang. Mengangguk seolah ibu sedang berada di depanku seperti ketika waktu kecil dulu. Akan selalu aku usahakan menunaikan yang tujuh ini, sesibuk apapun itu. Aku bertekad.