Februari 07, 2014

CERURY: Tujuh Kebutuhan



“Jika sudah lima yang kau tunaikan, tambahkan dua.”

Begitu nasihat ibuku jika aku hendak kembali merantau. Sejak kecil aku memang sudah terbiasa jauh dari orang tua. Ngekost di kota lain di luar tempat kelahiranku. Aku suka berpetualang mencari tempat baru, suasana dan segala macam pengalaman yang membuatku antusias. Karena itulah aku memilih sekolah jauh dari rumah sejak sekolah dasar. Dan sejauh ini orang tuaku tidak keberatan. Mereka percaya aku bisa jaga diri.

Aku mengangguk, menyelesaikan tali sepatu kemudian menghampiri ibuku untuk mengecup telapak tangannya. Kelopak matanya basah. Selalu begitu jika aku sudah harus berpamitan lagi.

Ibu tidak menasihatiku macam-macam, seperti jaga pergaulan, cari teman dan lingkungan yang baik dan sebagainya. Pesan ibu hanya kalimat sederhana, “Jika sudah lima yang kau tunaikan, tambahkan dua. Biasakan tujuh itu jadi kebutuhanmu sehari-hari.”

Ya, sederhana ibu hanya mengingatkanku untuk selalu menjaga shalat lima waktu di manapun aku berada. Dan berpesan agar aku selalu menyempatkan waktu untuk menambah dua hal lagi. Tahajud di sepertiga malam dan Dhuha ketika matahari mulai naik tujuh hasta sejak terbitnya. Itulah tujuh waktu yang awalnya seperti kewajiban rutin yang harus aku lakukan tiap harinya, dan lama-lama menjadi kebutuhanku sendiri. Seperti kata ibu.

Sewaktu umurku masih lima tahun aku pernah menanyakan alasannya. Kenapa kita harus shalat, kenapa harus bangun sebelum shubuh. Ibuku menjelaskan, sembari memakaikan seragam sekolahku. Ibuku paham, jika aku harus mengerjakan sesuatu, aku harus tahu lebih dulu alasannya. Katanya,

“Jika kamu sudah besar nanti, kelak kamu akan paham kalau shalat itu bukan sekedar rutinitas seorang muslim. Shalat adalah cara seorang hamba bersyukur dan meminta perlindungan Allah.” Ujar ibuku sembari mengancingkan bajuku.

“Misalnya shalat shubuh, kenapa kita harus buru-buru bangun pagi-pagi sekali yang bahkan matahari pun belum terbit untuk menunaikan shalat dua rakaat. Itu cara kita menyiapkan diri, jiwa dan raga untuk menghadapi kehidupan satu hari ke depan. Karena kita tidak tahu akan ada apa saja selama dua puluh empat jam ke depan. Bayangkan kalau orang bangun tidur langsung kerja, beraktivitas. Pasti rasanya malas sekali. Tapi dengan kita shalat pikiran kita akan lebih segar, raga kita akan lebih siap. Pagi-pagi sekali kita sudah terbasuh air, menghirup udara segar. Berkonsentrasi untuk sepenuh jiwa menghadapNya. Berdoa untuk meminta kemudahan. Insya Allah kalau kita melakukan shalat shubuh secara teratur –tidak kesiangan terus. Langkah kita akan lebih ringan, karena sudah sadar sepenuhnya. Sadar dari kematian sementara yang kita kenal dengan tidur, sadar bahwa kita sudah diberi kesempatan kembali hidup. Kamu ingat doa bangun tidur kan? Sering baca terjemahnya juga kan?”

Aku mengangguk, sambil kedua lenganku berpegangan pundak ibu karena harus mengangkat kaki kiri untuk memakai celana.

“Seperti itu juga empat shalat wajib lainnya, masing-masing memiliki manfaat bagi yang mengerjakannya. Pengetahuan kita saja yang masih terbatas. Kalau sudah besar kamu nanti jauh lebih paham dari ibu.”

Sampai usiaku sembilan tahun, aku hanya mengerjakan shalat lima waktu. Belum terlalu diperkenalkan dua shalat sunnah tambahan itu. Sama akupun menanyakan alasannya. Waktu itu aku sedikit jengkel karena sedang asyik bermain gundu, tiba-tiba aku disuruh pulang dulu karena harus mulai belajar membiasakan diri shalat Dhuha.

“Kebutuhan manusia itu banyak, tidak bisa seratus persen kita bisa berusaha memenuhinya. Untuk saat ini, itu cukup jadi alasan buatmu mengerjakan shalat Dhuha dua rakaat. Catat di hatimu, Dhuha lah caramu meringankan kebutuhanmu yang tidak bisa kamu penuhi secara sempurna. Dhuha penyeimbang usaha-usaha yang sedang kamu lakukan. Berharaplah diberi kemudahan, selalu diberi jalan terang. Cukup itu dulu yang jadi alasannya, pelan-pelan ketika kau sudah rutin mengerjakannya, ibu yakin kamu akan menemukan alasan lain. Kamu akan pahami dengan sendirinya.

Sedangkan untuk Tahajud, baru belakangan ini aku tahu alasannya kenapa ibu menasehatiku untuk selalu bangun di sepertiga malam. Waktu masih sekolah aku jarang sekali bangun untuk shalat Tahajud, karena di sekolah aku pasti menguap karena mengantuk. Makanya untuk shalat malam ini, dalam sebulan bisa dihitung dengan jari. Hingga setelah kerja inilah pemahaman itu mulai datang membawa alasan-alasan yang jiwaku menerimanya. Ternyata aku memang membutuhkan shalat malam itu, membutuhkan tempat untuk berkeluh kesah setelah seharian disibukkan dengan rutinitas yang monoton. Membutuhkan waktu sendiri dalam sepi untuk perenungan, untuk menyejukkan jiwa-jiwa yang mulai lapar oleh basuhan rohani. Dengan Tahajud jiwa manusiaku kembali kepada fitrahnya, sebagai seorang hamba. Dialog diri sebagai seorang hamba itu yang membantuku kembali ke tujuan semula aku merantau di bumi ini. Setelah seharian penuh aku dibutakan jalan oleh dunia.

Dalam perjalanan kembali ke kosanku, aku mengingat kembali pesan sederhana ibu. “Jika sudah lima yang kau tunaikan, tambahkan dua.”

Lagi-lagi aku mengangguk meski jarak ibu sudah berkilo meter di belakang. Mengangguk seolah ibu sedang berada di depanku seperti ketika waktu kecil dulu. Akan selalu aku usahakan menunaikan yang tujuh ini, sesibuk apapun itu. Aku bertekad. 




4 komentar:

  1. Dalam sekali maknanya, tiang dunia akhirat.. Semoga Ibunya sentiasa diberi berkah yg berlimpah Aamiin..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin ya Rabb untuk ibumu juga. Tapi ini fiksi :)

      Hapus

Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)