Februari 16, 2014

CERURY: Delapan angka yang lemah

Angka Delapan

Banyak yang memfilosofikan angka delapan sebagai angka yang istimewa. Kata mereka, delapan terbentuk dari dua angka nol yang ditumpuk dan garisnya tidak terputus. Bentuk angka yang paling sempurna. Itu anggapan mereka. Bahkan ada yang beranggapan delapan adalah bentuk cinta yang awet. Cinta yang tidak akan terpisah.

Tapi lain bagiku, angka delapan adalah bentuk kelemahan itu sendiri. Itu jika dianalogikan dengan sifat manusia. Manusia yang cenderung memiliki sifat susah lepas dari kebiasaan buruk. Atau manusia yang selalu melakukan kesalahan yang sama secara berulang-ulang, meskipun ia teramat sadar kalau yang ia lakukan adalah salah. Yang ia lakukan merusak diri sendiri.


Manusia yang sebenarnya ingin berubah menjadi lebih baik, tapi ia selalu terperosok ke lubang yang sama. Manusia yang hanya skak di tempat, tidak bisa beranjak ke mana-mana.

Delapan Februari kemarin aku sengaja mengunjungi toko buku yang berada di kota depok. Daerah Margonda Raya. Tidak, aku tidak akan bercerita suasana toko buku, atau buku apa saja yang terbaru di sana. Aku akan bercerita sedikit pelajaran yang aku peroleh pada hari itu. Tentang hal yang berkaitan dengan sifat angka delapan pada manusia di atas.

Untuk ke toko buku aku harus menyebrangi jembatan penyebrangan. Baru menginjak tiga anak tangga pertama pun pemandangannya sudah tidak asing. Para pengemis dengan latar belakang usia yang beragam. Lebih di domisili oleh ibu-ibu paruh baya memakai kerudung sambil menyampirkan kain di pundaknya. Juga nenek-nenek lansia yang seharusnya layak dirawat oleh anak cucunya.

Sejujurnya aku sudah tidak tertarik memberikan uang kepada mereka. Itu bentuk kepedulianku dengan tidak memanjakan mereka. Mengurangi ketergantungan mereka atas pemberian orang lain. Jadi aku lengang saja melewati mereka.

Hingga akan menuruni anak tangga, aku melihat pemandangan tidak biasa itu. Dan langkahku tertahan cukup lama di sana. Ada seorang kakek yang menghampiri salah satu nenek pengemis itu. Kakek itu penjual emping. Ia sengaja benar berhenti hanya untuk memberikan plastik berisi makanan kepada nenek pengemis tadi.

Inilah salah satu kebiasaan burukku, di beberapa keadaan yang menarik perhatianku, aku cenderung ingin tahu urusan orang lain. Untuk itu, ketika ada kesempatan, ketika jarakku dengan jembatan penyebrangan sudah cukup jauh. Aku menghampiri kakek penjual emping tadi. Basa-basi bertanya harga dagangannya. Harganya empat ribu satu kantung plastik. Dan aku membeli dua bungkus.

"Abah kenal dengan nenek yang dijembatan penyebrangan tadi?" Mulutku sudah tidak bisa ditahan untuk bertanya.

"Ooh nenek tadi." Sambil menyiapkan pesananku. "Dulu dia teman mengemis saya, bertahun-tahun di jembatan tadi."

Aku mengerutkan dahi, sedikit terkejut.

"Suatu hari saya mendengar nasihat seorang ustadz, kalau manusia jangan sampai rugi di dunia dan akhirat. Sudah di dunia miskin, di akhirat bangkrut. Dan jangan merendahkan harga diri dengan meminta belas kasihan orang lain. Jadi delapan ribu aja." Aku menukar uang sepuluh ribu dengan dua kantung plastik berisi emping.

"Semenjak itulah saya berhenti mengemis, saya kasihan melihat nenek tadi. Bertahun-tahun masih aja jadi pengemis. Nggak berubah nasibnya."

Aku mengangguk sembari mengambil uang kembalian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)