Desember 18, 2012

Bulan Menanam Pohon : Kisah Ben & Nalu

Bening embun pagi menyapa ujung dedaunan yang nampak menguning. Semilir angin lembut menjatuhkan tetesnya, membasuh ranting pohon yang sudah menua. Beberapa helai daun lain terombang-ambing, melayang bebas perlahan mengikuti telisik angin yang menerbangkannya. Sampai menuju tanah lapang yang telah dilapisi bebatuan ‘aspal trotoar’.

Sinaran mentari menghangatkan pagi. Awan-awan cerah berarak bebas melapisi langit biru, memutih. Tidak nampak kehidupan di bawah payung langitnya. Seekor burung pun seakan enggan terbang mengitarinya. Cuaca cerah, tapi pias. Hanya debu-debu tebal berhamburan -kasat mata-, beriring dengan embun-embun yang mulai memuai ke angkasa. Satu pohon besar menjulang. Satu-satunya penanda masih ada kehidupan –yang kasat mata- di sana. Tumbuh, tapi pupus. Murung, disisa-sisa usianya.

Kulit tuanya sudah mulai keropos terkelupas. Menjadi sarang rayap beserta koloni-koloninya. Kering kerontang dengan napas yang mulai putus-putus kehabisan karbondioksida. Hanya di dua sudut dahan besarnya yang masih terlihat hijau. Di sanalah tumbuh pohon benalu yang sudah berpuluh-puluh tahun menumpang tinggal di pohon besar itu. Benalu yang kian harap-harap cemas, mengedarkan pandangannya mencari dahan pohon baru yang masih perkasa. Tapi sayang, pohon besar ini satu-satunya tempat tinggal yang tersisa, setidaknya yang layak ditempati. Entah sampai kapan masih mampu berdiri menampung mereka.

“Ben, kasihan ya nasib pohon-pohon zaman sekarang ya.” Setengah berteriak Nalu menyapa Bena yang letaknya memang berjauhan.

“Maksudnya?”

“Iya, kalau zaman dulu usia pohon-pohon itu bisa sampai puluhan tahun, bahkan ada yang ratusan. Mereka masih segar bugar nggak keropos seperti pohon yang kita tinggali ini. Tumbuh besar dan tingi-tinggi. Dulu bumi masih hijau, udara masih segar. Oksigen yang dihasilkan tumbuhan masih bersih nggak bercampur polusi. Tanahnya masih subur, jadi akar-akar tumbuhan bisa menyerap intisari bumi dengan leluasa. Coba sekarang? Untuk napas saja susah sepertinya, apalagi di tengah kota seperti ini. Lihat tuh pohon kecil yang baru seminggu di tanam manusia, belum apa-apa sudah kering duluan. Katanya sih buat pengganti kalau pohon besar ini sudah mati. Tapi mana sempat, pengganti kok menunggu pohon yang lain lapuk lebih dulu. Gimana toh nasib kita ini Ben?”

“Ah, Loe suka nggak nyadar diri. Kan tanaman seperti kita juga yang ikut andil merugikan pohon secara perlahan.” Ben menyeringai datar, “Iya, gimana nggak kering pohonnya, udaranya panas gini. Lagian lihat saja tuh bidang tanahnya sebagian aspal. Kita memang sudah dijajah Nal, dijajah manusia.”

“Hfff, ternyata loe sepemikiran sama gue Ben. Gue juga merasa begitu. Tumbuhan memang sudah dijajah oleh manusia dari tempat tinggalnya, bumi. Dulu nenek moyang kita sebagian besar, bahkan hampir semua daratan, berkuasa penuh menghijaukan bumi. Menghasilkan oksigen yang menjadi napas untuk makhluk lainnya, seperti hewan-hewan dan manusia. Padahal pepohonan yang menyediakan oksigen buat mereka ya. Tapi, seiring populasi manusia yang semakin meningkat, bangsa kita mulai tersisikan demi kepentingan mereka. Manusia memang egois, nggak memikirkan nasib bumi itu sendiri. Sekarang sebagian besar nggak lagi hijau, bahkan nggak lagi coklat karena tanah, tapi manusia membuat lautan beton di mana-mana. Kejam.”

“Itulah dunia Nal, semua yang berjalan di atas dunia sebenarnya sedang menuju pemberhentian akhir. Seperti bumi itu sendiri. Semakin lama semakin hilang nuansa hijaunya, hilang keseimbangannya. Alih-alih hilang sumber kehidupannya. Tapi selalu ada harapan, masih ada harapan, akan ada harapan untuk memperbaiki jadi lebih baik. Lihat itu di bawah kita, contoh kecilnya mereka Nal, bumi menaruh harapan besar kepada mereka. Tangan mereka yang bisa merubah keadaan ini jadi lebih baik.”

“Benar Ben, gue baru ingat bulan ini BULAN MENANAM POHON. Semoga saja ya nggak hanya di BULAN MENANAM POHON nya saja mereka menanam pohon. Tapi setiap harinya ada pohon-pohon baru yang tumbuh merata dibantu mereka. Pohon yang ke depannya membantu bumi kembali hijau. Udara kembali segar.”
Sudahkah Anda Menanam Pohon?

“Ya, semoga.” Ben dan Nalu tersenyum mengembang melihat beberapa manusia mulai sibuk dengan cangkulnya, menenteng-nenteng bibit tanaman baru. Ben dan Nalu melihat senang, ada manusia yang masih peduli dengan bumi. Masih berperan menanam pohon yang mereka saksikan sendiri di atas pohon tua yang sudah mulai keropos itu. Satu harapan baru. Ben dan Nalu berharap tidak hanya di sini, tapi di mana-mana harapan baru itu tumbuh subur. Seiring tumbuhan yang menghijaukan bumi.

Sadarkah kita selama ini yang menjadi benalu seperti Ben dan Nalu? Sadarkah kita bumi ini sudah seperti pohon tua itu? Kita yang menumpang hidup di pohon tua itu seperti Ben dan Nalu. Dan yang pasti kita juga yang memiliki harapan besar itu, harapan yang akan tumbuh subur dengan bekal tangan kita sendiri. Tangan yang mengubah bumi menjadi lebih baik.
    

30 komentar:

  1. ntar siang saya baca Insya Allah. mau rapat dulu nih, hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha mau rapat sempet-sempetnya bewe bang :D

      Hapus
  2. Gue selalu demen gaya bahasa Uzay... keren cerpennya, lancar baca dari awal sampe akhir, dan pastinya pesan explisit yg disampaikan bener2 bagus. Keep writing bro... :D
    Btw, Gue kaget sama kucing item di atas itu, matanya ngikutin kursor... LOL

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jiah! salah fokus malah jadi kucingnya eh...

      Alhamdulillah kalau pesannya bisa nyampe.

      Moci-moci dukungannya Glen...
      Solid Solid...

      Hapus
  3. hmmm...jadi malu ma project ane sendiri ne, yang ala kedarnya

    btw...suka banget puisinya yang menggambarkan pohon tua dan benalu didahannya.....
    ditambah cerpen si benalu lagi...jadi minder

    salut

    BalasHapus
    Balasan
    1. btw kalo berkenan silahkan mampir di project ane :http://ruangfana.blogspot.com/2012/12/aku-dan-bulan-menanam-pohon.html

      Hapus
    2. Nggak perlu malu lah sobat, jadi diri sendiri akan lebih baik toh :D
      siiip nanti ke sana...

      Hapus
  4. andai bulan bisa ngomong, eh salah, andai pohon" bisa ngomong kyk ben dan nalu, mereka bakal "teriak Ooooiiiiii tanahnya jangan di apa-apain ntar anak cucu gw mo tinggal dimana....?"
    mancappp... salam kampanye ngeblog BSO :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha andai mereka bicara :D

      Salam SOLID JUGA!

      Hapus
  5. Nasida ria pernah berkata dalam kasidahnya :
    "sawah ditanami gedung dan gudang,
    hutan ditebang jadi pemukiman
    langit suram udara panas
    akibat pencemaran"

    Dan kita harus bergerak, jangan hanya diam. Jangan sampai makin banyak ben dan nalu yang nasibnya makin parah. Mari kita cloning ben dan nalu agar mereka jadi makin banyak di dunia ini, agar mereka bisa mengembalikan kejayaan nenek moyangnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setujuuuuu..... :D
      Eh ada lagu yang kaya gitu juga toh,,,

      Hapus
  6. hai bang apa kabar :D
    gue balik lagi
    btw, nicepost yaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Zih, tapi blogmu nggak bisa dikunjungi..

      Hapus
  7. cerpennya keren.. semoga para penebang pohon yang ngga bertanggungjawab sadar akan akibat dari ulahnya.

    BalasHapus
  8. sekarang lagi rame tanam pohon...mumpung musim hujan,
    pohon itu sejuk dan sebagai salah satu sumber penghasil oksigen buat kita,
    jadi tak ada alasan untuk tidak menanam pohon :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya sesuai ketetapan pemerintah, bulan ini bulan menanam pohon...

      Yupz..

      Hapus
  9. keren deh bahasanya.. mengalir gitu bang! :D


    BalasHapus
  10. sama kayak Bang Glen, suka alurnya :D iya bener, tanpa sadar kita kadang ikutan jadi benalu :\

    BalasHapus
    Balasan
    1. Belum baca punyamu... nti deh, tadi ngintip panjang banget :D

      Hapus
  11. ayo pada menanam pohon, buat anak cucu kita

    BalasHapus
  12. ah, kok jadi mellow baca postingan ini ya :( saya jarang menanam pohon, tapi sering bener ngabisin tisu utk dipake buat yg gak penting2 huwaaa..

    baeklah.. mulai bulan ini, paling tidak harus ada 1 pohon yg saya tanam, agar tidak sekedar jadi benalu.. ah, aku malu..

    BalasHapus
  13. Mari kita mencintai alam dengan menanam pohon, kelah pastinya alam akan mencintai kita. Kisah yang disajikan dengan apik.

    BalasHapus
  14. cuaca cerah tapi pias. apa nih pias, bang?
    saya nggak pengin sebagai ben dan nalu. paling nggak, seperti anggrek lah yang epifit, mendayagunakan sumber daya yang ada tapi nggak merugikan buminya.

    BalasHapus
  15. wah benalu tidak selalu tdk bermanfaat lho heheh. yah benalu apa dulu dunk, gak smw benalu kok :D

    saya mah setuju saama alurnya hehehe,,, oke bagus.

    BalasHapus
  16. lama ga kesini...ternyata ada yg lg rajin nanam pohon yak.

    di kampung mba...udh rata dijadikan kebun kelapa sawit akasia. udh.susah mncri pohon hutan biasa..mknya sering bgd tanah pinggiran jln lintas longsor krn ga ada yg nahan air lg :'(

    BalasHapus
  17. wah... terhanyut bacanya :')

    Saya juga percaya...
    Masih ada harapan untuk membuat bumi ini jadi lebih baik ke depannya...

    eh, saya bukan seperti Ben dan Nalu lho.
    Saya yang ini saja:
    "Awan-awan cerah berarak bebas melapisi langit biru"
    :p

    BalasHapus
  18. Cerpenya Bagus Sekali Sob,
    Alurnya menarik

    Ayo Kita tanam Pohon, dan JUga merawatnya

    BalasHapus

Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)