Februari 19, 2013

Romantika Bumi & Langit


Bait-bait aksara membumi dalam kertas hatiku. Dengan juraian rasa pena yang menuliskan rindu. Semua sempurna terbaca bahagia. Terbentuk dari tinta emas kalam pertemuan. Membawa kisah haru dalam sejuta kenangan. Tentang kita. Hari lalu, kisah ini dan masa depan.

Dulu kita pernah duduk berdua, memandang langit senja di ujung temaram. Tak jemu kamu berkata, ini senja kita dengan pesonanya, senja itu selalu berbagi rasa yang sama. Kulihat matamu berbinar setiap mengatakan itu. Burung-burung sarawiti berseliweran di atas kepala. Senja yang mulai meng-orange menjadi pemandangan favorit kita.  Aku tersenyum sembari merapikan anak rambutmu yang menjuntai di dahi.
Bangku ini akan selalu kosong, karena aku hanya memandangnya dari jauh.

Aku memandangmu lamat-lamat, tak ingin kehilangan binar matamu dari sela-sela wajah pucat pasi itu. Hatiku berbisik lembut, satu harap yang membuncah kuat di sana. Hanya hatiku yang tahu. Sunset akan selalu tepat waktu terbit dan tenggelamnya, begitu juga kesembuhanmu. Harapan itu yang aku percaya dan kugantungkan setiap hari di atas langit-langit doa. 

“Kenapa? Kok melihatnya seperti itu?”

Aku menggeleng lemah. Kemudian kembali memandang senja sampai sempurna tenggelam. Tak ada yang lebih menyesakkan dari rasa khawatir yang tertahan di dada. Dan tak ada yang lebih menenangkan melihat ketegaranmu itu. Ketegaran yang bahkan tidak aku miliki. Seperti itulah ceriamu tergambar jelas di langit-langit senja sepuluh tahun yang lalu. 

Rintik gerimis turun membelah langit remang-remang. Aku masih termangu menikmati rindu di antara aksara-aksara kata yang dulu pernah kamu tulis dalam kisahku. Dulu kamu juga pernah berkata, dan mengajarkan satu hal yang luar biasa. Tentang sebuah pengorbanan dan kerelaan. Katamu,

“Kamu tahu nggak, tanah itu selalu tabah menadah ribuan butir hujan. Membiarkan air mata langit meresap dan diserap akar-akar pohon kehidupan. Menjadi kekuatan untuk bumi agar tetap tegar dan tumbuh.” 

Sesaat katamu terhenti disela oleh gemelutuk batuk. Aku menuangkan segelas air hangat untuk melegakan tenggorokanmu. Tak selang lama kamu masih riang melanjutkan katamu,  

Kamu bisa lihat sendiri kan langit dan bumi tengah bekerja sama. Saling memberi dan menerima mengikuti ketentuan Tuhannya. Tanah akan setia menampung air mata langit hingga usai. Langit yang sedang bermata sendu itu penuh harap dan terima kasih kepada buminya. Lihat tanah begitu peduli ketika langit membutuhkannya. 

Aku merapatkan kepalamu ke tubuhku, merangkul dan memeluknya hangat. Ingin menyembunyikan setetes air yang sedari tadi menggantung di mata. Aku belum bisa menjadi seperti tanah itu untukmu. Aku lebih banyak membiarkan langit matamu terurai sia-sia.

“Tapi semua itu belum selesai, ada masa ketika langit membutuhkan sentuhan air. Bumi dengan sukarela memberi tampungan air dari tubuhnya. Melalui mentari, air itu sedikit demi sedikit menguap membentuk gumpalan awan. Bahkan kadang sampai kulit bumi itu retak dan kering. Hanya untuk meneduhkan langit. Romantis ya mereka, saling membutuhkan dan saling berkorban satu sama lain.” 

Aku hanya mengangguk lembut mencoba melukiskan senyum di bibirku sendiri, meski tidak terlalu paham dengan kalimat terakhirmu itu. Yang aku tahu, selama bersamamu, kamu lah langit itu. Langit yang memberikan air mata penyejuk kehidupanku. Langit yang memayungi hamparan harapan bumiku. Bumi yang pernah mengharapkanmu lebih lama berada di sini.

Langit senja yang mengantarkan butiran-butiran hujan, yang membawa rinduku pulang.

 

52 komentar:

  1. kalo baca cerpen elu, gue selalu bingung mo komen gimana, karna gue gak bisa bikin yang kayak gini! gue bilang "yes"..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Asyiiik dah udah dapet YES satu *masukin kantong ;D

      Hapus
    2. ane ikutan si eksak bilang yess ajah.
      bacanya sukses bikin emosi adem ayem

      Hapus
    3. *siap ngantongin Yes lagi*
      Alhamdulillah dapet 3 hihi...


      Terima kasih kakak :)

      Hapus
  2. Balasan
    1. sip aku juga bingng artinya pa?
      oia akhi cerpenmu itu selalu saja bagus. kata2nya sweet banget ngalir gtu aja hehe

      Hapus
    2. Nanti ya ada bahasannya, Insya Allah :)

      Alhamdulillah kalau ada yang bagus :D

      Hapus
  3. isha juga bilang YES ah ;p

    keren banget kata-katanya.. lemes bacanya juga ;p
    kapan bisa nulis yang kaya gini ya? *kapan-kapan kalo bisa* hihii

    mas, aslinya tinggal dimana sih? *edisipenasaran*

    BalasHapus
  4. makin mantep. suka tulisannya ada unsur hujan di dalamnya :D
    lama banget yak gak mampir di sini..

    banyak yang berubah. apa lagi tampilan blognya bang :) tulisannya juga makin mantepp

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe TOS sesama penyuka hujan :D

      Iya lagi diperbaiki tampilannya. Ini juga masih ada perubahan sepertinya.

      Hapus
  5. sedap banget kata-kata yang terangkum, membacanya jadi ikutan terhanyut...langit senja yang mengantarkan butiran-butiran hujan, yang membawa rinduku pulang....luarbiasa :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah bang :) Terima kasih saya jadiin motivasi untuk lebih baik,

      Hapus
  6. Ampun deh., pasangan bumi dan langit yang saling melengkapi ibarat simbiosis mutualisme. Saling menyerap kemanfaatan satu sama lain, karena pengorbanan yang dilakukannya akan tergantikan dengan sisi kebaikan... Like this one out very much (^_^)/

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah lho? kenapa minta ampun? :D

      Alhamdulillah bang :) Terima kasih saya jadiin motivasi untuk lebih baik,

      Hapus
    2. Masya Allah baru sadar kok abang, ukhti maaf ya :D

      Hapus
  7. mereka berbeda loh.. dan itu yang membuat mereka bersatu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah! benar kan perbedaan juga yang membuat mereka bersatu.

      Hapus
  8. mmmm... selalu suka dengan gaya tulisanmu... rumahnya design baru lagi niih bagus :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah ;3
      Iya masih ada kemungkinan untuk berubah lagi. Lagi proses refarasi :D

      Hapus
  9. perbedaan bisa membuat indah :)

    BalasHapus
  10. mantap postnya cuma gambrnya mohon di tambh.nampak tenang aja

    BalasHapus
  11. Balasan
    1. Aduh jangan lah mbak din, nanti jadi gelap *dikiralilin

      Hapus
    2. lilin buat ulang tahun yak yang warna warni itu :D

      Hapus
  12. saya sampe lupa, nnati klo udah di posting ttg lakaran minda langsung kabar2 yah ke blogku hahai penasaran akh. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya Insya Allah lagi mereka-mereka bentuk penyampaiannya seperti apa.

      Hapus
  13. komen dulu aaah, trus baru baca :p :D

    BalasHapus
  14. makin mantap.. bahasa nya indah, tapi ga' bisa komen seindah bahasa ini. gapapa kan?

    BalasHapus
  15. mau nanya nih Bang Uz..
    emang boleh ya kalo Bang Uzay merapatkan kepalanya Mbak Ajeng ke badan, lalu merangkul dan memeluknya hangat? huhuii... sorry pertanyaan nakal.. boleh nggak sih ?? hihi..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ahai inikan fiksi bang, tokoh salah satu di atas kan sudah nggak ada dan yang satunya sedang mengenang. (sebenarnya menggambarkan perjalanan yang sudah menikah ;D)
      Kalau Ajeng Alhamdulillah sehat, ya nggak berani saya melakukan itu :D

      Hapus
  16. bagus cerpennya, tadi sempet bingung ini cerpen atau lagi curhat masalah pribadi heheh

    Mampir kesini ya, salam kenal Peta Indonesia Karya Anak Negeri

    BalasHapus
  17. Yak, fiksi nya bagus Zay..
    Kuat di kata-kata dan majas"nya .. hhe

    BalasHapus
  18. wah adem ayem ya baca fiksi iniii...

    karena settingan nya hujan dan pake gambar bangku di taman :')

    BalasHapus
  19. Keren banget ...tatanan kalimat yg sangat indah utk dinikmati. :)

    BalasHapus
  20. sedih, yang satunya ceritanya sakit ya bang? :'(
    tapi bagus ceritanya (y)

    BalasHapus

Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)