Agustus 06, 2013

Seseorang yang tidak percaya lagi dengan waktu

Seseorang sedang berdiri di batas persimpangan. Aku mengenalnya dengan panggilan Bang JF. Entah apa kepanjangannya. Ia manusia paling keras kepala yang pernah aku kenal. Bagaimana tidak, ia tidak pernah percaya dengan pendapat orang lain. Termasuk soal waktu.

Suatu ketika kami secara tidak sengaja bertemu di sebuah warung makan. Katanya,

"Mana mungkin aku bisa percaya dengan waktu? aku bertahun-tahun mencari sesuatu. Lihat, mana ada waktu membantuku menemukan apa yang aku cari. Mana mungkin aku bisa menaruh harapan kepada waktu, bertahun-tahun aku menunggu sesuatu. Sampai detik ini aku tidak juga bisa melihat apa yang aku tunggu."

Aku menelan ludah. Kalimat yang penuh sinisme keputusasaan.


"Omong kosong orang bilang, 'biar waktu yang menjawab semuanya.' 'Tunggu saja, semua akan indah pada waktunya.' Omong kosong semua itu, omong kosong kalau aku diminta menelan bulat-bulat semua itu. Nyatanya mana pernah waktu berlaku baik kepadaku, mana ada dia membuat tenang resah-resah ini." Nadanya meluap-luap penuh emosi kesepian.

Aku mengangguk pelan untuk menghargai pendapatnya.

"Kau masih saja menggantungkan harapan kepada waktu, Zen? Kau masih mau menunggu? Kau masih perlu mencari?" 

"Eh, i... iya Bang." Aku sedikit tersenggal, Hmm... sedikit banyak kalimat-kalimatnya tadi membuat aku mulai berpikir ulang tentang banyak hal. "Aku percaya semua sudah ada waktunya, Bang." Takut-takut aku tuntaskan jawaban tadi.

"Waktu yang mana Zen? Waktu siapa yang kau maksud?" 

Aku mengeryitkan dahi, tidak mengerti maksud pertanyaan yang menyalak bagai kobaran api itu.

"Sekarang aku tanya, jam berapa di ponselmu?"

Aku melirik katalog jam dan menunjukkan kepadanya. Pukul 16.00

"Kau lihat jam yang ada di dinding itu!" Bang JF menyeringai. "Lihat, waktu yang kau punya pun berbeda lima menit dengan jam dinding itu bukan? Lalu waktu yang mana yang akan kau jadikan patokan?" 

Aku tambah bingung dengan arah pembicaraan ini. Bukankah itu satu hal yang biasa terjadi?

"Res, jam berapa yang ada di pergelangan tanganmu?"

"Jam setengah lima Bang." Resha menjawab sopan, sambil tetap mengelap piring-piring bersih. "Memang sengaja dicepat-in Bang, biar Resha nggak kesiangan."

"Nah, sekarang kau bisa lihat perbedaan konyol itu Zen. Kalau kau belum puas, kau tanyakan saja kepada teman-temanmu yang lain, jam berapa sekarang di kehidupan mereka. Aku yakin mereka akan mempunyai jawaban yang berbeda." Bang JF menyeringai, sempurna sudah bukti-bukti pembelaannya. "Sekarang aku tanya lagi, kau percaya waktu yang mana Zen? Waktu punya siapa? Punyamu? Kau yakin jammu itu yang paling tepat detik menitnya? Jangan-jangan jam di seluruh dunia ini pun tidak ada yang tepat menunjukkan waktu."

Aku menelan ludah. Bahasan ini semakin menyemutkan pikiran.

"Sekarang cukup jelas bukan kenapa aku tidak percaya dengan waktu. Mana bisa aku percaya bulat-bulat dengan waktu, kalau setiap kepala manusia saja punya definisi waktu yang berbeda. Kalau semua orang saja banyak yang tidak sepakat, tidak tahu sebenarnya jam berapa yang paling tepat sekarang. Sudah menit ke berapa, detik ke berapa. Omong kosong kalau mereka masih saja manut dengan permainan waktu. Berpatokan dan menjaminkan nasib mereka kepada waktu." Nada bicaranya sudah lebih santai, meski masih ku dengar kata-kata sinis keputusasaan.

"Lalu, lalu Abang lebih percaya kepada siapa?" Kuberanikan bertanya, meski aku tahu jawaban berikutnya akan mengerubuti pikiran-pikiranku.

"Entahlah Zen, aku sudah terlanjur terjebak dengan permainan ini. Bertahun-tahun aku terombang-ambing oleh waktu. Ke hantam kenyataan ini, dihantam kepedihan itu. Harus melihat kehilangan. Harus membuang kenyataan. Sampai aku tidak yakin bisa percaya lagi dengan diri sendiri. Yakin kalau aku ini masih bisa percaya. Percaya kalau kerumitan ini juga ada akhirnya." Bang JF bangun dari duduknya. Napasnya memburu. "Seperti katamu Zen, kau percaya semua memang ada waktunya. Teruslah percaya itu, selagi belum banyak orang-orang yang mulai tidak mempercayainya."

Ada seseorang sedang berdiri di batas persimpangan. Seseorang yang sedang menentukan pilihan. Seseorang paling keras kepala yang aku kenal. Seseorang yang tidak lagi percaya dengan kebaikan waktu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)