Agustus 12, 2013

Perempuan berwajah adem


Kalian tahu apa yang biasanya aku lakukan ketika merasa jenuh dan pikiran agak menyemut?

‘Makhluk’ yang sering kita sebut bernama jenuh memang kerap kali datang menggelayuti rutinitas kita sehari-hari. Apalagi yang monoton, yang kegiatan sehari-harinya seperti menyetel kaset rekaman.

Nah, ketika ‘makhluk’ jenuh itu mulai menggangu, biasanya aku usir dengan menyisir jalanan. Sedikit usil dengan penghuni-penghuni yang tersebar di beberapa sudut pinggir jalan. Apa yang aku lakukan?  Hanya mengajak mereka ngobrol. Bertanya apa saja yang menurut aku bakalan menarik jawabannya.

Misalnya, di lain waktu aku sengaja menepikan kendaraan persis di depan penjual gorengan. Tentu saja misinya bukan sekedar untuk mengisi perut, aku mewawancarai mereka. Minimal bertanya tempat tinggal atau bertanya biasanya mereka tutup jam berapa.

Takut dibilang orang yang selalu kepingin tahu? Semoga tidak, toh bertanyanya hanya sekali di setiap perjalanan. Justru mereka merasa senang ada teman berbincang meskipun sebentar. Bukankah ‘makhluk’ jenuh tidak kenal tempat setiap menjalankan operasinya? Termasuk pinggir jalan raya yang intensitas emosinya jauh lebih tinggi.

Tapi intisari tulisan ini bukan hal itu. Ada point menarik yang bisa dicatat. Menyisir jalan ini selain upaya untuk mengusir jenuh, Kalau aku beruntung dan sedikit jeli, lebih lebar memasang telinga hati, aku akan mendapatkan sesuatu yang teramat berharga. Pelajaran hidup dari perjalanan dan pengalaman orang lain. Itu yang membuat rasa jenuh seketika sirna. Lepas semua tidak menempel lagi ke kulit badan.
Point itulah yang ingin aku sampaikan kali ini.

Suatu hari, ketika aku benar-benar merasa jenuh dan diserang rasa kantuk yang terlalu. Aku memilih menepikan kendaraan sebentar, menyuplai udara yang lebih segar ke otak. Ketika itulah aku bertemu dengan seorang supir taksi yang sedang menepi juga, menunggu penumpang. Sebut saja namanya Bapak Rudy.  Kami berbincang banyak hal, dan ia sudi menceritakan perjalanan hidupnya.

“Mas sudah menikah?”

Aku menyengir, kemudian menggelengkan kepala mewakili jawaban.

“Segeralah menikah Mas. Jangan seperti saya, bisa dibilang menikahnya telat.”

"Insya Allah Pak." Aku tersenyum untuk menghargainya. Dan ia pun mulai cerita banyak hal.

Ia mengaku baru genap satu tahun berkeluarga. Menikah diusia 35 tahun. Bukan karena belum mampu dan cukup untuk menghidupi orang lain. Di usia hampir 30-an, Ia pernah kecewa, karena calon istrinya ternyata kabur dan memilih laki-laki yang dipilihkan orang tuanya. Semenjak kejadian itu ia lebih memilih sibuk bekerja. Tidak berniat mencari calon istri lagi.

“Saya sudah pasrah Mas saat itu, sudah menyerahkan semuanya kepada yang Kuasa. Sambil terus berdoa, masa iya saya nggak punya pasangan di dunia ini.” Bapak Rudy membenarkan posisi duduknya. Aku mendengarkan ceritanya sambil sesekali melihat jarum jam.

“Nah, pas saya lagi istirahat seperti sekarang ini, tiba-tiba ada perempuan masih muda yang menghampiri taksi saya. Saya kira minta diantar, tahunya dia malah bertanya. ‘Mas sudah menikah?’ Saya kan jadi bingung sendiri, tiba-tiba ada orang asing yang tanya seperti itu. Perempuan lagi.”

“Mungkin karena melihat saya kebingungan, perempuan itu langsung bilang gini, ‘Nggak tahu kenapa waktu tadi melihat wajah Mas, wajah Mas kelihatannya menyenangkan sekali. Maksud saya kalau memang Mas belum menikah, saya punya Kakak yang sedang mencari jodoh. Siapa tahu Mas bersedia.’ Lah saya jadi makin nggak ngerti.”

Aku tertawa kecil mendengar cerita Bapak Rudy. Ia pandai bercerita, tidak membosankan bagi siapa yang mendengar. Intonasi nadanya disesuaikan dengan percakapan yang pernah ia alami dengan perempuan dalam ceritanya itu.

Singkat cerita, Bapak Rudy akhirnya menerima undangan perempuan muda itu. Dua hari kemudian Bapak Rudy ditemani temannya mencari alamat rumah yang dimaksud. Rupanya benar, kakak si perempuan muda itu memang sedang mencari jodoh.

“Nah Mas waktu pertama kali saya melihat wajah kakaknya itu, rasanya hati ini adeeeem sekali. Langsung terasa mantap saja. Saya diam saja waktu itu, teman saya yang banyak bertanya. Termasuk meminta izin kepada bapak si perempuan kalau saya bersedia melamar putrinya.” Bapak Rudy tertawa renyah mengingat masanya itu.

Alhamdulillah, bapaknya menyerahkan sepenuhnya kepada putrinya. Masya Allah, Mas waktu perempuan itu bilang bersedia saya bahagia sekali. Wajahnya benar-benar adem. Meskipun maaf-maaf ya kalau dari penampilan bisa dibilang perempuan yang sekarang menjadi istri saya itu... maaf, jelek. Tapi benar-benar adem dipandang.”

Aku tersenyum demi melihat wajah berbinar Bapak Rudy ketika menceritakan istrinya.

“Dan yang membuat saya bersyukur lagi Mas. Ketika teman saya menanyakan mau minta mas kawin apa. Dia menjawab singkat tapi membuat hati saya seketika lapang. ‘Semampunya Mas saja’. Teman saya malah langsung teriak Allahu Akbar kencang sekali Mas.”

Aku ikut tersentuh, dan hati merasa buncah oleh sesuatu. Entah itu perasaan apa.

“Waktu saya pulang. Teman saya bilang, ‘kalau ada perempuan yang sampai bilang mas kawinnya seperti tadi Rud, kamu beruntung. Keluargamu bakalan tentram bahagia nantinya, percayalah.’ Saya langsung mengucap syukur berkali-kali demi mendengar itu. Sekarang kami sedang menunggu kelahiran anak Mas. Doakan saya ya.”

Aamiin Pak. Semoga dimudahkan. Istri bapak dan calon anaknya selamat.”

Aku benar-benar beruntung malam itu bisa bertemu dengan Bapak Rudy, si supir taksi berwajah menyenangkan. Sedikit banyak ada bahan pikiran yang positif karena ceritanya itu. Setidaknya aku melanjutkan perjalanan pulang dengan hati yang lebih lapang. Hati yang membawa harapan.

Hmmm.... perempuan berwajah adem. Cukup lama aku menyimpulkan senyum.        

   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)