November 03, 2013

Kata-kata teka-teki Pak Tua

"Puncaknya memiliki adalah melepaskan."

Aku hampir terlonjak ketika sebuah tangan menepuk bahuku dengan lembut. Bersamaan dengan kudengar kalimat itu.Ternyata kakek tua yang sedari tadi memperhatikan aku melamun di peron salah satu stasiun. Sungguh kabar bahagia itu membuatku luka.

Aku mengangguk pelan untuk menghargai ucapannya. Meski belum sepenuhnya mengerti. Aku pernah berbincang-bincang dengannya, bisa dibilang sudah cukup akrab sekarang. Meski ia tidak pernah memberitahukan namanya. Orang-orang memanggilnya Pak Tua, atau Pak Bijaksana. Ia bertugas menjaga WC umum stasiun, mengaku sudah bertahun-tahun menjalani tugas itu. Dan aku salah satu pelanggan setianya ketika kebelet sewaktu menunggu keberangkatan kereta.

Wajahnya selalu menyenangkan, seperti tidak pernah mengeluh meski digerogoti usia. Satu hal yang aku saluti, beliau seperti bisa membaca pikiran orang lain. Selalu tahu problema orang yang sedang termangu sendirian. Kalau sudah begitu dengan sukarela beliau mengucapkan kata-kata bijak. Yang kadang tidak mudah dimengerti lawan bicaranya. Aku menyebutnya 'kata-kata teka-teki'. Atau jika sudah terlalu sulit dicerna aku menyebutnya 'kalimat orang tua'.

Seperti hari ini, tepat sekali beliau menebak pikiranku.

"Melepaskan adalah syarat mutlak untuk memiliki."

Aku tidak mengerti nasihat kakek tua itu, melipat dahi. Omong kosong, tidak masuk diakal. Aku merenungi kalimat itu dengan memikirkan banyak hal. Mencoba mencari benang merah antara dua perkara yang jika dipisahkan teramat sangat bertolak belakang. Apa yang dimiliki jika harus sedia melepaskan? Apa perlu melepaskan ketika begitu ingin memilikinya dengan keutuhan? 

Aku memijat kepala, benar-benar tidak paham maksudnya. Menoleh ke wajah kakek tua, ia hanya menyeringai.

"Manusia sering lupa sebenarnya dirinya tidak pernah memiliki apa-apa. Bahkan memiliki diri sendiri. Tapi merasa pernah memiliki sesuatu, atau justru bersikukuh memiliki sesuatu."

Aku terdiam. Kepalaku senut-senut.

"Jangan banyak melamun anak muda." Kembali menepuk bahuku. Tertawa riang. Kemudian berlalu.

***

Waktu terus melesat. Melibas kesibukan-kesibukan. Baru aku paham maksud potongan 'kata-kata teka-teki' kakek tua itu, ketika melihat langsung wajah bahagiamu hari ini. Bercahaya suka cita. Aku seperti menyaksikan ribuan peri menaburkan kelopak-kelopak bunga di musim semi. Seperti jutaan lampion yang dilepas ke langit malam. Di atas permadani tempatmu melangsungkan pernikahan. Kamu resmi menjadi ratu cantiknya. Meski sama sekali aku tidak pedulikan dia yang menjadi rajanya.

Awalnya aku tidak berniat menghadirinya. Untuk apa? jelas itu bukan bagian dari rencanaku. Tapi semenjak kakek tua itu menasehati dengan 'kalimat orang tua'nya, 'puncaknya memiliki adalah melepaskan'. Kata-kata teka-teki itu terus terngiang-ngiang di kepalaku. Aku berpikir mungkin itulah solusi untuk masalahku. Ketidakterimaan, pemberontakan hati. 

Ternyata kakek tua itu benar. Aku memang tidak pernah memiliki apa-apa sebelumnya, tetapi setelah bersuka cita melihat kebahagiaanmu hari ini aku punya satu hal yang bisa aku genggam. Apapun caranya, bagaimana pun akhir ceritanya, kamu memang layak untuk bahagia. Dan aku jauh lebih bahagia atasnya.

Dengan kata lain, dengan melepasmu aku mendapati bahagiamu secara utuh. Tanpa ada lagi sepotong hati yang diberatkan. Bahagiamu yang dulu pernah aku rencanakan.  

Aku ingin segera menemui kakek tua itu, meminta ia mengucap 'kata-kata teka-teki' lainnya. Dan untuk kamu, selamat berbahagia.

2 komentar:

  1. cerpen kan ya ini, kak? :)
    ini, mengingatkan pada tere liye... kau, akuu dan sepucuk angpau merah. Di sana juga kan ada Pak Tua yang menjadi supir speed.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Labelnya si masih cerpen Pit, dan sejauh ini belum pernah mengalami hal seperti si tokoh.

      Waaah jadi pengen baca bang borno lagi nih diingatkan dengan pak tua itu hehe... tapi lebih seru 'yang berwajah menyenangkan' dalam kisah Ray :)

      Hapus

Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)