Januari 30, 2014

Hujan sebagai pembersihan



Di musim penghujan seperti ini, akan mudah sekali menemukan kerumunan orang yang berteduh. Terhenti perjalanannya karena hujan yang menderas. Dan menarik sekali jika kita bisa mencuri dengar apa yang mereka perbincangkan. Mengobrol dengan teman seperjalanannya –atau mungkin orang asing yang beberapa menit lalu sudah seperti sahabat senasib, sesama penunggu hujan di bawah atap ruko yang sejam lalu tutup. Mengusir kebosanan.

Seperti halnya dua orang yang memilih tetap berdiri, meskipun ada bangku kayu yang masih kosong. Mereka teman seperjalanan yang hendak menjenguk temannya yang sakit. Terpaksa menepi karena salah satu dari mereka tidak membawa mantel. Tadi pagi ketika hendak berangkat kerja kadung percaya diri kalau hari ini tidak akan hujan. Memang sepanjang siang hari mataharinya terasa lebih menyengat. Tapi siapa yang bisa menduga cuaca, hampir tengah malam ini saja hujan masih membumi.

“Menurutmu apa alasan mendasar Tuhan menurunkan hujan?” Salah satunya memulai pembicaraan. “Selain untuk menghidupi seisi bumi tentunya. Yang makhluk-makhluk di dalamnya memang sulit hidup tanpa air.” Tubuhnya mulai gigil karena jaketnya sudah setengah basah karena kecipratan mobil yang sembarang menerabas genangan.

“Hujan ya.” Temannya yang lengkap terbungkus mantel menghirup udara, seakan menikmati aroma air yang turun dari langit, sembari tangannya terjulur sengaja merasakan tetesan-tetesan itu menyentuh kulitnya. “Tujuan persisnya hanya Dia yang tahu, tapi aku kira seperti layaknya mobil itu.” Ia menunjuk mobil yang sebagian permukaan tubuhnya dilapisi debu, sedang terparkir di garasi salah satu rumah. Tidak jauh dari tempat mereka berteduh. “Bumi ini pun berdebu. Bahkan mungkin tidak lagi sekedar diselimuti hamparan debu, tapi sudah berlumpur. Mengingat bumi semakin tua dan rusak. Barangkali itu pemicu hujan turun. Tujuannya untuk pembersihan. Untuk pemulihan.”

“Tapi kalau kadar hujannya selalu tinggi seperti ini bukannya malah merusak bumi itu sendiri? Banjirlah, tanah longsorlah.”

“Ya mungkin itu proses yang diperlukan bumi untuk pembersihan tersebut. Aktivitas manusia yang membuatnya lebih rumit. Sehingga ada debu-debu yang perlu dibersihkan lebih keras. Debu yang sudah berkerak.”

Beberapa peneduh yang lain nekat meneruskan perjalanan, mungkin sudah mulai bosan menunggu. Hujannya tidak jua mereda, malahan semakin menderas. Bahkan ada yang sedang mendorong-dorong motornya karena mogok ketika melewati genangan yang terlalu tinggi.

“Soal kadar, sepanjang yang aku tahu dan aku pernah baca kadar hujan yang turun ke bumi selalu tetap, selalu sama. Meskipun belum ada profesor dengan alat canggihnya yang mampu membuktikan teori itu. Tapi aku sungguh yakin, karena tertera dalam Al-Qur’an demikian. Kadar hujan yang turun ke permukaan bumi selalu sama. Sederhananya, jika di Indonesia saat ini intensitas turun hujannya sedang sering, boleh jadi di belahan bumi lain ada tempat yang sedang kekeringan.”

“Kalau untuk pembersihan, aku kira tidak perlu selalu menggunakan air. Mengusir debu bisa dengan angin misalnya.”

“Hei jangan lupa, membersihkan rak yang kotor tidak cukup dengan hanya menggunakan kemoceng. Tapi lebih baik dilap sama kanebo basah. Karena kemoceng sejatinya bukan alat untuk membersihkan. Tapi ia cuma memindahkan debu. Begitu juga dengan angin. Jadi aku rasa masih lebih tepat hujan untuk proses pembersihan bumi, bukan angin.”

Temannya mengangguk pelan, penjelasan yang ia dengar cukup masuk akal. Hujan belum juga reda. Kini keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Sesekali diselingi dengan suara perut yang mulai keroncongan. 

*di kasus yang lain, hujan pun bisa menjadi pembersihan kenangan #eh


2 komentar:

  1. senyum bacanya...
    mmeng benar ayat Allah, Allah akan menurunkan hujan ketika bumi ini benar2 kering kerontang.

    BalasHapus

Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)