Januari 14, 2016

MUDITA

Kala petang. Ketika yang lain sedang berduyun-duyun mulai memasuki sarang. Dua ekor semut hitam terlihat sedang bermalas-malasan di tepian dahan pohon rambutan. Tidak memedulikan langit yang sudah mulai gelap. Desiran angin meniup ujung-ujung daun. Menerbangkan daun-daun kering yang sudah lepas dari tangkainya.

“Sedang memikirkan apa, Ka?” seekor semut betina basa-basi memulai percakapan.

“Oh… kamu, Dit.” Jawab Mu. Sambil mengusap ujung antenanya yang terkena debu. “Sedang iseng mengingat masa lalu.”

“Ka boleh bertanya sesuatu?” Ujar Dita ragu-ragu.

“Asalkan bukan hitung-hitungan angka. Boleh laah.” Jawab Mu bergurau.

“Kenapa sih perasaan itu bisa begitu rumit?” Dita merapikan ujung rambut yang menutupi mata.

“Wah ini sih lebih rumit dari angka-angka.” Mu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. 

Dita terlihat merengut.

“Umm… karena hati kita terlanjur mengharapkan yang baik-baik. Menanti-nanti yang pasti-pasti.”

Dita mengerutkan dahi. Tidak begitu mengerti.

“Padahal perasaan itu kan sama halnya dengan kita sedang menduga-duga. Mencocok-cocokan. Mengkait-kaitkan ini dengan itu. Kadang malah memaksa-maksa. Perasaan itu lebih banyak menuntutnya. Daripada menerima.”

“Terus apakah ada perasaan yang tidak lagi rumit, Ka?” Dita iseng memetik bunga rambutan. dan mengurainya sedikit-sedikit. Putik-putik bunga itu terbang bersama angin.

“Perasaan yang tidak lagi rumit. Mungkin kita bisa sebut dengan jodoh. Tetap sesuai dengan takdirnya.  Mengikuti catatan ketetapannya. Tidak lagi harus menduga-duga. Tidak lagi perlu memaksa-maksa. Tidak lagi sibuk mencocok-cocokan. Kalau sudah jodohnya siapa yang bisa menghalang-halangi, kan? Mungkin saat itulah perasaan itu sudah tidak rumit lagi. Ibaratnya mah dua perasaan yang tadinya rumit pada akhirnya saling bertemu. Klop deh."

Dita mengangguk mengerti. “Apa karena pemahaman itu, kak Mu terlihat tetap senyum-senyum saja melihat sang ratu dengan jodohnya hidup bersama. Ups! Maaf tidak bermaksud mengingatkan.” Dita salah tingkah merasa tidak enak.

“Bisa jadi begitu. Bisa juga tidak.” Mu tertawa, mengingat kepingan masa lalu. Kenangan manis bersama sang ratu, semut betina cantik jelita yang dulu pernah menjadi kekasih hatinya. Beberapa bulan lalu akhirnya resmi dipersunting oleh jodoh sang ratu yang sebenarnya. Semut hitam dari koloni yang lain. Mu memang merasa senang melihat sang ratu terlihat bahagia menjalani masa depannya. Kedua pasangan itu sering mesra terlihat selalu jalan berdua. Ketika menuju sarang. Sedang mengumpulkan makanan untuk persiapan musim hujan. Dan kegiatan-kegiatan bangsa semut hitam lainnya. Dan Mu mengabadikan senyum sang ratu kala itu dengan bahagia.

“Kak, kok malah bengong sih.” Protes Dita yang lama tidak ditanggapi pertanyaanya.

“Eh maaf.” Mu merasa bodoh karena malah melamun. “Jatuh cinta itu pemberian, Dit. Sedangkan patah hati adalah pilihan.”

Dita menyimak antusias.

“Kamu bisa terus tetap cinta, tanpa perlu merasa patah hati ketika sudah tidak bersama seseorang yang kamu cintai sekalipun.”

“Bukannya patah hati itu sakit ya, Ka?”

“Tentu saja. Sakitnya tidak bisa disembunyikan. Tapi kan kita selalu bisa memilih. Lebih tepatnya harus selalu mau memilih. Memilih merayakan patah hati itu dengan sikap seperti apa. Dengam bersedih? Galau? Uring-uringan? Sakit-sakitan? Itu semua pilihan yang memang masuk akal. Sesuai dengan situasinya.” Mu menghela napas sejenak.

“Memilihnya menerima dengan lapang dada. Dengan mencoba ikut merasakan bahagia. Mulai belajar melepaskan. Itu bentuk pilihan yang lain. Memang sih jauh dari masuk akal. Tapi layak juga dicoba. Butuh waktu yang panjang memang. Tapi ka Mu akhirnya mengambil resiko untuk mengambil pilihan yang tidak masuk akal itu. Ka Mu memilih merayakan patah hati dengan menerima. Belajar lebih bijak menerima perasaan cinta yang datang itu. Dan mencoba memberinya dengan ketulusan.”

Mu tersenyum. Dita menatapnya tidak percaya.

“Menurut ka Mu. Pilihan itu tidak buruk-buruk amat. Alih-alih perasaan ka Mu jadi jauh lebih ringan. Ya sudah tidak kusut-kusut amat lah.” Mu menyeringai.

Dita tertegun. Semua yang dikatakan Mu terdengar tidak mudah untuk dilakukan. Dita bertanya-tanya hal berat apa saja yang telah membawa Mu sampai pada titik ini.

“Kenapa kamu tiba-tiba bertanya hal ini?” Tanya Mu ketika melihat Dita tampak cemas. Seperti sedang memikirkan banyak hal.

“Aku sedang menunggu kepastian seseorang, Ka. Entah sampai kapan.” Dita menghela napas panjang.

“Jika memang jodohmu. Biarkan dia yang bergerak maju. Kalau bukan, belajar lebih mengikhlaskan.” Mu menepuk bahu Dita. “Ayo sudah waktunya kita masuk sarang.”

Dita mengangguk. Mengikuti langkah Mu.

“Kak, apa semua semut jantan begitu?”

Mu mengangkat bahu.


Ps : Mudita (perasaan bahagia melihat kebahagiaan orang lain)       

1 komentar:

  1. Cerita fabel yang menarik. Menyampaikan perihal jodoh dg cara lain, fabel.

    BalasHapus

Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)