April 19, 2013

Berasumsi dengan perasaan


Kau tahu di dalam dunia imaji seseorang itu, semua hal terasa begitu nyata. Permukaannya luas sekali, bahkan sejauh mata memandang masih ada lorong misterius yang amat menarik untuk disinggahi. Tentang tempat-tempat yang belum pernah ia kunjungi, tentang hal-hal ajaib yang belum pernah membelalakan matanya, membungahkan hatinya. –meskipun tetap ada bagian-bagian yang menakutkan.

Tak lepas pula tentang bayang seseorang yang sama sekali belum pernah ia temui. Nah untuk soal yang satu ini aku lebih suka menyebutnya berasumsi dengan perasaan. Menebak-nebak bagaimana alur cerita ini akan berlanjut ke depan. Menerka-nerka bagaimana jika suatu hari ada kesempatan yang membawa mereka bersua lebih nyata. Atau hanya akan begini-begini saja? Terlepas dari jarak yang masih saja bersikukuh menghalangi sebuah pertemuan. Ah, bagaimanapun menebak-nebak soal perasaan akan selalu menggelitik bukan? Membuat hati sedikit gatal.

Sekarang ini saja Dunia imajiku seakan sedang menampilkan dua orang- animasi terbaik versiku, sedang bercakap-cakap di layar pikiran. Membahas soal ini, itu. Bersenda  akrab, saling usil main ledek-ledekan atau bahkan tertawa terpingkal karena hal yang lucu. Padahal kenyataannya aku hanya sedang asyik melamun, membayangkan semua itu sedang berlangsung. Ah, berimajinasi memang selalu mahir membuat hati lebih menyenangkan. Meskipun pahitnya aku lagi-lagi hanya berkutat soal harapan.

Kau tahu berapa lembar gulungan kertas takdir yang menyimpan rapi rahasia-rahasia yang telah ditulis Tuhan? Tak terbilang banyaknya bukan. Mungkin boleh jadi sampai usiamu tamat pun ada potongan rahasia yang belum lengkap sempurna kau terima. Atau sudah, Tuhan sudah sampaikan tapi kau lambat menyadarinya. Ah, bagaimanapun cara penyampaiannya sebuah rahasia memang akan selalu menjadi misteri yang menarik. Membuat hati cemas menduga-duga. Sibuk mendiagnosa. Merangkaikan kebetulan-kebetulan yang boleh jadi hanya bagian dari permainan harapan. Berasumsi soal perasaan. Entah hasilnya enak dikecap, atau kecut sekali.

Dan satu rahasia itu belakangan ini menjadi primadona, selalu menjadi topik utama dalam perbincangan santai muda-mudi yang sudah mulai resah. Apalagi kalau bukan soal jodoh mereka. Soal hati siapa yang pada akhirnya setia menemani mengisi hari, sampai melangkah jauh ke masa-masa tua.
Satu rahasia yang menarik bukan?  Bahkan topik satu ini selalu nyaris membuat aku ingin tertawa. Bukan tertawa karena menahan geli, tepatnya tertawa gatal karena mau tidak mau akupun sudah harus mulai memikirkannya.

Kau ingat percakapan waktu itu, ketika otakku sedang kumat kritisnya. Tiba-tiba saja aku bertanya satu hal liar yang melintas di pikiran. Tentang hakikat pertalian jodoh yang sebenarnya. Kita sama-sama sudah hatam, sering mendengar, bukan lagi hanya selentingan kabar bahwa semua makhluk diciptakan berpasang-pasangan. Dan seorang laki-laki memiliki sebilah tulang rusuk yang terpisah dari rongganya.

Menurut hemat cerita, mereka yang sudah resmi berakad nikah berarti sudah menemukan jodohnya. Si lelaki sudah menemukan sebilah rusuknya, si perempuan menemukan rongga tempatnya berteduh -untuk mengabdi selamanya. Pertanyaanku saat itu, lalu apa kabarnya dengan orang yang terlalu sering bercerai? Kemudian menikah lagi dengan yang lain. Apa kabarnya dengan suami yang memiliki istri lebih dari satu? Bukankah katanya hanya sebilah rusuk? Berpasangan dalam artian hanya berdua. Lantas? Aku menyeringai, mengerutkan dahi mengingat pertanyaan membingungkan itu.

Dan aku masih ingat sekali, pada akhirnya kau mampu menjawab pertanyaan itu dengan pintar, terbilang cukup bijak. Katamu : “yang aku tahu hakikat jodoh sebenarnya itu yang berjodoh sampai negeri akhirat kelak. Mereka yang tetap berjodoh sampai muara syurgaNya. Menurut pemikiranku sih begitu. Tapi terlepas dari benar atau tidaknya pendapatku bagaimanapun Allah lebih tahu akan jawaban rahasia ini. Kita tunggu saja.”

Itu kalimat penutupmu waktu itu. Melegakan sekali. Seakan dahaga keingintahuanku lenyap seketika seperti butiran embun yang terkena sinaran mentari. Atau seketika tercekat di tenggorokan sendiri. Entahlah! Ya, pada akhirnya aku sepakat dengan buah pemikiranmu itu. Semua yang di dunia terlalu relatif dan sementara nilainya. Alih-alih juga soal perasaan. Dan yang pasti toh kita harus tahu diri untuk tidak terlalu banyak tanya akan rahasia-rahasiaNya.

Aku tersenyum mengenang percakapan waktu itu. Sambil membayangkan wajahmu bersemu merah sebelum menjawabnya.

Dua animasi versiku yang sedang akting di pikiranku masih menyelesaikan perannya. Yang lelaki sedang berusaha meneguhkan hatinya, mulai panas dingin membulatkan hati, memberanikan diri hanya untuk mengaku rindu. Lalu bagaimana reaksi yang perempuan? Aku tak tahu lamunanku buyar seketika bersamaan si lelaki itu membeku sempurna, hanya karena terlalu takut mendengar jawabannya.

Ya sudahlah aku sudahi saja menjelajah dunia imaji ini. Satu pesanmu sudah aku terjemahkan sempurna. Soal apa? tanya hatimu.

postingan sebelumnya {Shout Out} : Jangan mepet-mepet ya!

6 komentar:

  1. iya zay udah kuganti napas napas hahaha lupa melulu deh...

    BalasHapus
    Balasan
    1. aih aih dia datang cuma bahas itu doang huuuuu

      Hapus
  2. cerpen apa curhat ini? *Tiba-tiba jadi ingat Putri Cahaya*
    hehehehehehe
    #nyengir kuda.

    BalasHapus
    Balasan
    1. sayangnya di lakaran minda nggak ada label curhat En. Ini labelnya Cerpen :D

      Putri cahaya? ada apa dengannya?

      Hapus
  3. intinya penekanan pada "jodoh" manusia. ini salah satu misteri Ilahi yg tak ada ujungnya, yah..sampai kapanpun.

    BalasHapus

Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)