Februari 23, 2016

NALURI

Waktu itu, saat rembang petang.- waktu kira-kira pukul lima. Aku dengannya menikmati sepotong sore, berbaring merumput, memandang petala langit. Awan-awan sedang sangat cerah, tidak nampak tanda-tanda akan hujan. Sudah lama kami tidak  meluangkan waktu bersama seperti ini. Tepatnya, ia baru saja kembali. – Menyapa sepi.

“Dua hal yang membuat seseorang kembali, rindu atau sepi. Kalau kamu yan g mana?” Ia membuka obrolan, setelah lebih dari lima belas menit kami hanya saling diam. Menikmati semilir angin yang entah kenapa sore ini benar-benar sedang nyaman sekali. Tidak mengusik, tidak pula membuat kantuk. Sejuk rasanya. – sampai ke hati.

“Naluri.” Kataku tanpa mengalihkan pandangan. Tetap fokus memperhatikan wajah langit.

“Maksudmu?” Ia mengubah posisi pandangannya, menoleh ke arahku.

“Kebutuhan nalurinya yang mendorong ia untuk kembali.” Akupun merasa perlu menoleh ke arahnya.

“Tergantung niatan.” Ia kembali memandang langit.

“Naluri nggak tergantung apapun, mengalir spontanitas. Misalnya seorang ibu yang reflek menyambar tangan anaknya yang hampir terjatuh.” Kataku ikut kembali memandang langit.
Ia terdengar menghela napas. “Campur tangan Allah yang menggetarkan hatinya.”

Aku mengangguk setuju masih tanpa menoleh.

Lengang sejenak tanpa ada lagi percakapan. Beberapa burung melintas di atas kepala kami, mungkin akan kembali ke sarang. – entah burung apa namanya.

“Bagaimana keadaan hatimu sudah membaikkah?”

“Sedikit lagi.” Aku menelan ludah, kenapa harus pertanyaan itu? Tak bisakah kesempatan ini tidak menyingung dulu soal itu. Aku sedang ingin menikmati kebersamaan tanpa harus mengungkit masa lalu.

“Ah kok sedikit, bukankah seharusnya sebentar?”

“Bedanya apa?” Aku menoleh ke arahnya.

“Ya beda kalau menurut aku.”

“Mungkin….” Aku kembali memandang langit. “Sedikit itu soal jumlah. Sedangkan sebentar soal waktu. Kalau jumlah, manusia bisa sedikit lebih memperkirakan, dari melihat sisa yang ada. Kalau waktu, mana ada kuasa soal itu. Bisa saja menurut kita sudah sebentar lagi, tapi kenyataan takdirnya lain?”

“Ah lagi-lagi dengan jawaban yang rinci. Nggak pernah berubah ya, kamu tambah bijak.”

“Sayangnya kali ini aku tidak berhasil bersembunyi dari kata-kata bijak.” Kataku lirih berharap ia tidak mendengarnya.

“Maksudmu?”

“Ah tidak. Aku hanya bersyukur kita masih punya waktu luang yang sama.” Aku menghela napas.

“Jadi intinya ini tentang kesempatan.” Ia memejamkan mata.

“Aku lebih setuju tentang naluri.”

Aku ikut memejamkan mata.




    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)