Juli 02, 2013

Yang sulit terjangkau

Aku menengadah, melipat kedua tangan sebagai alternatif alas kepala. Sejauh mata memandang, bulan siaga penuh. Purnama tepat pandang-pandangan dengan kedua bola mata. Angin berdesir mengipas kulit. Masuk angin? Ah itu urusan belakangan. Yang pasti malam ini aku biarkan selentingan rindu memainkan peranannya. Perkara rasa yang akan mempengaruhi sedikit banyak kepolosan hati. Hati yang selalu sedia menampung apa saja, tanpa keberatan akan berduka. Hati yang selalu setia menyerap rasa apa saja, meski kadang tidak peduli ada kehilangan yang begitu nyata.

Memang selalu begitu, padahal aku hanya telat beberapa menit saja untuk memalingkan mata. Selalu seperti itu, ketika terlambat menyadari kalau aku tidak boleh memandang purnama lebih dari sepuluh menit. Terpukau dengan benda bercahaya yang menggantung di langit sana. Benda di luar jangkauan. Yang menghipnotis dan sekaligus pengalih pandangan yang ajaib.

Karena keteledoranku malam ini, jadilah aku di sini. Terebah di atas hamparan rerumput basah, sisa-sisa hujan yang masih mengendap. Membiarkan selentingan rindu itu semakin mengerlipkan manik-manik kenangan dalam ingatan. Tentangmu, tentang masa kecil kita dan purnama yang selalu kamu banggakan. Kamu dambakan. Meski entah sedang di mana kamu sekarang memandang rembulan yang sama.

Aku tersenyum renyah mengingat itu. Teringat betapa kamu begitu sungguh-sungguh ingin menjadi rembulan untuk orang lain. Rembulan yang membanggakan. Memesona dan dapat memberi kehangatan ketika siapa saja melihatnya.

“Ah, siapa bilang purnama secantik yang kau bilang? Kalau dilihat lebih dekat banyak bekas jerawatnya itu. Bopeng-bopeng. Hiiiih.” Aku menyeringai, sengaja benar menggangumu dengan menunjuk jerawat di pipimu yang sedang merekah matang.

“Ah kamu ganggu orang lagi menghayal deh.” Melihat wajahmu yang merajuk, aku malah ingin tertawa. Mengelak sekilat mungkin agar kepal tanganmu tidak mulus mendarat di kepala.

“Yeee... itulah cantiknya sang rembulan, orang lain akan melihatnya sebagai sosok yang istimewa. Soal kekurangan yang ia miliki, ia akan berusaha agar tidak terlalu nampak. Sekalipun terlihat, mereka akan memakluminya bukan?” Matamu lekat memandang lurus purnama di atas wajah kita. Aku lihat bibirmu merekahkan senyum penuh harapan.

Mengingat percakapan itu, kini aku hanya bisa tersenyum tipis. Nyatanya kamu benar, rembulan itu memang pandai sekali membuat pesona. Begitu terang benderang cahayanya, begitu menjalarkan kehangatan yang berada di bawahnya. Tapi kamu melupakan satu hal. Untuk orang yang hanya bisa memandangnya diam-diam, mengaguminya sepanjang malam. Rembulan itu jauh sekali untuk terjangkau tangan. Rembulan itu hanya mampu ia idamkan dari kejauhan.  

Seperti itulah kamu saat ini. Kamu yang berhasil menjadi ‘sang rembulan’ untuk hidupmu dan orang-orang di sekitarmu. Berhasil menghangatkan kebahagiaan mereka. Tanpa kamu sadari, keberhasilanmu itu semakin membentangkan jangkauan. Atau aku saja yang terlalu pengecut untuk menawarkan diri menjadi bintang kecil di sampingmu?

Aku terduduk. Menghela napas panjang, sembari menepuk-nepuk ujung celana dari rumput yang menempel. Beranjak berdiri, memandang rembulan sekali lagi.

Kalau masih berguna kejujuran ini, kamu sudah lama menjadi rembulan di langitku. Langit hati yang menatapmu kini menjauh pergi.

Bukankah yang memang ditakdirkan menggantung di langit itu sulit dijangkau?
   

6 komentar:

  1. untuk itu-lah kita menggunakan hati untuk menjangkau yang tak terjangkau.. bukankah hati mampu melakukannya?

    BalasHapus
  2. hati2 dgn hati...
    jgn juga biarkan ia lepas kendali...menyerap sana sini tanpa memikirkan konsekuensi...

    BalasHapus
  3. rembulan sealu tahu, apa suasana hati yang sedang memandang dirinya,
    semua memang tergantung tekad & kerja keras, tak ada yang tak mungkin, selagi doa & usaha berjalan selaras :)

    BalasHapus

Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)