Juli 21, 2013

Berbagi Bukit Senja (2)

“Seperti biasa, titip motornya ya Bang.” Basa-basinya sambil mengeluarkan sebatang rokok dari saku.  

“Siap Mas Faza. Beres. Pokoknya soal motor mah aman.” Jawabku sambil mengembalikan uang kembalian ke Indri yang membeli minuman dingin. “Kembaliannya Neng.

“Terima kasih Bang.” Indri berlalu. Dari arah langkahnya, rupanya ia yang akan mengalah kali ini. Tapi tidak lama Faza terlihat mensejajari langkahnya. 

“Kenapa kita tidak berbagi senja bersama saja? Sesekali boleh kan?” Faza menawarkan ramah, sambil membenahi letak ransel yang dibawanya. 

Indri enggan menjawab. Ia memutar arah, setuju dengan usul lelaki yang mengajak bicaranya itu. Menutup hidungnya dengan ujung pangkal jari, menghalau asap rokok. Merasa terganggu.  


“Oh, maaf-maaf.” Faza menjatuhkan rokok yang baru terisap beberapa kali, lalu melumatnya dengan sepatu.  

Tanpa merasa perlu  saling memperkenalkan diri, keduanya sudah berbagi senja di tempat yang sama. Melakukan rutinitas masing-masing seperti biasanya. Menatap senja satu jam ke depan dalam kesunyian petang.

Lihat, betapa langit senja benar-benar berkawan dengan mereka. Benar-benar cerah tanpa kabut yang menggangu pemandangan. Sejujurnya aku merasa iri dengan kedekatan mereka. Keakraban senja dengan keduanya. 

“Apa yang membuat kamu berteman dengan dia?” Tanpa harus menoleh Faza menunjuk langit, dengan menitik beratnya nada ketika menyebut ‘dia’.

Indri menghela napas, “aku tidak berteman dengannya. Tidak pernah benar-benar berteman baik. Aku justru ke sini ingin menuntut sesuatu darinya, seseorang dan kenangan yang dulu dibawa lari olehnya. Belum sempat benar-benar aku miliki, ketika hampir aku genggam mereka sudah lebih dulu disembunyikan senja. Dan sekarang entah berada di mana.” 

“Sampai kapan?”

“Sampai senja berhenti pura-pura baik kepadaku. Lihat, betapa tololnya dia memasang wajah penuh dusta seperti itu.” Indri berusaha menghembuskan napasnya. Seperti ada yang menyumbal setelah mengatakan itu. 

Ada jeda sejenak di antara mereka. Angin mendesir seolah menghibur Indri, memainkan anak rambut.

“Kamu sendiri, apa yang membuatmu ‘betah’ di sini?” 

“Aku?.... menunggu mati.”

“MATI? .... konyol.” Indri menyeringai. 

“Ya, aku menunggu kematian. Menunggu harapan ini sekarat di depan mataku. Dulu yang menitipkan harapan ini senja. Katanya dari seseorang yang jauh di sana. Seseorang yang sekalipun tak pernah aku temui. Harapan yang indah. Aku di anak emaskan olehnya. Melambung tinggi, sampai aku lepas kendali dan terjatuh.  Bodohnya aku, sampai saat ini aku tak tahu siapa sebenarnya si pemberi harapan itu. Aku minta senja membunuh harapan itu, dan mengembalikan ke asalnya.”

Kembali ada kekosongan di antara percakapan mereka. Faza mengeluarkan sebatang rokok lagi. 

“Maaf, aku sudah harus pergi. Terima kasih sudah berbagi senja di bukit ini.” Faza membetulkan letak ranselnya. Indri hanya menoleh sejenak.

“Senja yang indah. Aku harap, jika bertemu lagi nanti senja sudah tak lagi berpura-pura baik dengan kita.” 

Hingga langit benar-benar temaram, dan keduanya sudah berlalu. Aku masih menyeringai geli mendengar kisah mereka berdua. Ironis sekali bukan, menatap senja berbulan-bulan di bukit ini hanya untuk memarahinya. Menggelikan sekali. Sama halnya aku geli dengan kehidupanku sendiri. Masih menjadi penghuni tetap bukit ilalang ini, hanya untuk membuktikan kepada senja. Aku bisa tegar, tetap akan tegar dipemainkan olehnya. Di bukit ilalang itulah letak pusara seseorang yang pernah hidup bersamaku. Seseorang yang pernah dipertemukan senja denganku.

1 komentar:

Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)