Februari 04, 2014

CERURY: Empat Sifat Mulia



Alkisah ada keluarga sederhana yang tinggal di pinggiran kota. Meski keadaannya susah dengan suami yang sudah lebih dulu pergi, sang ibu selalu mengajarkan kearifan hidup kepada empat anaknya. Ia pun sudah mulai sakit-sakitan. Dan berpesan kepada anak-anaknya satu kalimat sederhana :

di manapun dan dalam keadaan apapun kalian nanti, belajarlah meneladani sifat-sifat manusia pilihan. Genggam teguh sifat baik itu. Niscaya hidup kalian akan selamat.” Sang ibu berujar sambil batuk-batuk. “Ingat Siddiq, Amanah, Tabligh dan kau Fatanah, ayah ibu punya alasan khusus waktu kalian lahir dinamai sifat-sifat manusia pilihan itu. Agar kalian pandai menempatkan diri dalam keadaan bagaimana pun.” Kembali ibu yang mulia itu terbatuk.

Ke empat anaknya mengangguk mengerti. Dan mulai saat itu juga mereka berjanji dalam hati masing-masing untuk menjaga kepercayaan orang tua mereka. 

Bertahun-tahun berlalu setelah mereka mendengar pesan mulia itu. Kini mereka sudah menjalani kehidupan sebenarnya masing-masing. Terpisah jarak dan kesibukan yang berbeda.

Siddiq, si anak sulung dengan kepandaiannya kini menjadi karyawan yang memiliki kedudukan cukup penting di salah satu perusahaan besar di jakarta. Menjadi supervisor di salah satu tempat makanan siap saji.
Bersusah payah ia bekerja keras hingga mencapai posisi yang sekarang. Hanya bermodalkan ijazah SMP. Nekat melamar kerja ke sana kemari. Banyak yang menolak, karena perusahaan sekarang banyak yang memiliki syarat harus berijazah minimal D3.  Siddiq tak pernah patah arang, meskipun banyak bisikan-bisikan temannya yang memberi jalan keluar dari masalahnya itu. Kata temannya, mudah saja kalau mau diterima dan dapat posisi yang enak. Tinggal bikin ijazah palsu, banyak temannya yang bisa membantu. Siddiq sempat hampir tergiur dengan tawaran itu, apalagi melihat teman-temannya yang sama hanya berijazah SMP sudah dapat posisi yang enak. Pekerjaan yang lumayan.

Tapi Siddiq ingat janjinya kepada sang ibu. Terlebih janji kepada diri sendiri untuk selalu berkata benar apa adanya. Tidak pernah berbohong dan membohongi hati nurani sendiri. Hingga ia memilih menjadi seorang Office Boy saja selama bertahun-tahun.

Adalah benar orang yang bersungguh-sungguh dalam berusaha dan bersabar akan ada kesempatan yang tidak disangka-sangka. Beberapa tahun kemudian karena kerajinannya Siddiq diangkat menjadi pramusaji di tempat makanan siap saji itu. Berubah status dari pegawai yang banyak mengurusi dapur, bersih-bersih dan disuruh beli ini itu kini tampil melayani konsumen.

Siddiq banyak belajar dan pandai bersosialisasi kepada konsumen yang datang. Tidak hanya sekedar melayani tapi menyambut mereka dengan baik. Hingga kesempatan yang lebih baik itu datang lagi sampai ia berada di posisi sekarang ini.

Di tempat yang cukup jauh dari tempat tinggal Siddiq, kakaknya. Amanah pun berjuang keras untuk masa depannya. Ia lebih beruntung dari kakaknya karena pernah berkesempatan sekolah hingga SMA. Memberanikan diri untuk melamar di salah satu Bank swasta, dan diterima menjadi kasir. Setiap hari berurusan dengan nasabah yang menabung atau mencairkan uang yang tidak sedikit jumlahnya. Tidak mudah menjalani profesi itu, harus teliti dan cermat. Kejujuran pun harus dipegang kuat-kuat. Alih-alih karena keteledoran ia bisa saja harus mengganti selisih transaksi di kasir. Ia selalu pegang teguh pesan orangtuanya untuk selalu memegang amanah di manapun berada. Sesulit apapun keadaannya. Sesuai dengan makna namanya. Menjadi yang dapat dipercaya.

Lain hal dengan Tabligh, sejak kecil ia lebih memilih untuk mendalami ilmu agama. Belajar di pondok pesantren di luar jawa. Menjadi penyampai kebaikan itulah tekadnya. Sesuai namanya Tabligh, bahkan nama keduanya Akbar. Ibunya bercerita ia lahir ketika di masjid dekat rumahnya sedang mengadakan Maulid. Langsung saja menamai anak ketiganya dengan nama Tabligh Akbar.

Setelah dirasa cukup mendalami ilmu agama, Tabligh kembali ke kampung halamannya. Mulai sedikit demi sedikit menyampaikan ilmu yang ia sudah dapat di majelis-majelis pengajian. Mengajak warga setempat untuk menghidupi kembali Masjid untuk shalat berjamaah. Bertilawah Al-Qur’an dan mengerjakan sunnah-sunnah yang lain. Tabligh menyampaikan yang Ma’ruf dan mengajak untuk menjauhi yang Munkar.

Dan si bungsu Fatanah memilih menjadi ibu rumah tangga yang bijaksana. Membesarkan kedua anaknya yang masih kecil-kecil dengan keteladanan manusia pilihan. Sesuai dengan yang pernah diajarkan orang tuanya dulu. Berbakti kepada suami dan senantiasa belajar menjadi istri yang solehah untuk keluarga kecilnya.

Suatu ketika ke empat anak ibu yang mulai dalah kisah ini berkumpul. Menengok makam kedua orang tuanya. Alangkah syahdunya mendengar mereka melantunkan doa sambil terisak haru. Penuh rasa syukur dan berterima kasih kasih karena sudah dibesarkan oleh orang tua yang hebat. Orang tua yang senantiasa mengajarkan kearifan hidup. Mengingatkan selalu untuk jangan lupa meneladani sifat manusia pilihan. Sifat-sifat mulia yang mengajarkan arti kehidupan yang sebenarnya.

Dan ke empat anak itu kembali berjanji untuk menjadi orang tua yang baik untuk anak-anaknya. Orang tua yang bijaksana untuk keluarganya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)