Februari 05, 2014

CERURY: Lima Nasihat, Lima Waktu Perjalanan [2]



Tidak terasa waktu sudah hampir Dzuhur, sebentar lagi mobilku sudah memasuki pelataran masjid yang menjadi tujuanku berikutnya. Suara adzan menggema, ketika hendak mengambil wudhu tiba-tiba sekretarisku menelpon. Melaporkan ini itu yang sedang terjadi di kantor. Aku sempat marah-marah kepadanya, mengurus hal sepele saja tidak bisa. Jengkel sekali rasanya, kantor baru ditinggal sehari saja sudah ada yang tidak beres.

Hampir saja aku ketinggalan rakaat pertama, aku beres berwudhu -yang sekenanya- tepat ketika imam mengumandangkan takbiratul ihram. Tiba-tiba alisku berkerut ketika menyadari siapa yang menjadi imam masjid besar ini. Pak tua yang tadi shubuh aku temui di masjid dekat rumah. Dengan memakai ciri-ciri yang sesuai dengan gambaran Ustadz Rizal. Pikiranku pun tidak fokus selama shalat. Memikirkan urusan kantor. Bertanya-tanya dalam hati siapa sebenarnya pak tua ini. kenapa bisa ada di masjid yang berkilo-kilo jauhnya dari rumahku. Sengaja aku memilih masjid ini agar sampai tepat waktu shalat.
***

Seusai shalat, ketika satu persatu jamaah sudah meninggalkan masjid. Aku menghampiri pak tua yang sedang bersandar pada dinding masjid. Ia sudah menyadari kehadiranku dengan wajahnya yang tetap serius tapi teduh.

“Pak haji, mohon beri satu nasihat lagi.” Kataku tanpa basa-basi.

Pak tua itu menatap wajahnya sejenak. “Ambil Wudhu, dirikan shalat.” Nadanya tegas seperti memerintah.

“Saya masih punya wudhu Pak Haji. Dan Alhamdulillah saya sudah shalat, ikut berjamaah tadi.” Kataku menjelaskan, barangkali pak tua ini tidak melihat aku dibarisan shaf terakhir tadi.

“Anak muda. Ambillah Wudhu dan segera dirikan shalat.” Ia malah mengulangi perkataannya dengan nada yang lebih lembut.

Refleks saja aku mengangguk dan berdiri hendak mengambil wudhu. Mungkin itulah nasihat kedua yang harus aku lakukan. Sesuai pesan Ustadz Rizal, dengarkan saja nasihatnya, jangan banyak tanya dan lakukan yang benar.

Aku pun menunaikan shalat dzuhur sendiri. Hitung-hitung memperbaiki shalatku sebelumnya yang benar-benar tidak fokus tadi. Atau jangan-jangan memang benar wudhuku tadi tidak sempurna?

***
Selesai shalat aku memperhatikan sekitar, pak tua itu masih ada ternyata. Sedang membaca Al-Qur’an. Aku tidak ingin mengganggunya kali ini. Lagi pula ini belum waktunya Ashar. Baiklah sambil menunggu waktu Ashar yang masih dua jam lagi aku memilih berbaring. Aku putuskan tidak menuju masjid berikutnya, aku akan bertahan di masjid ini hingga Ashar. Setelah mendapat nasihat ketiga tentunya.

Aku pun menelpon sekretarisku memastikan pekerjaannya sesuai dengan yang aku intruksikan tadi.

***
Hampir saja aku ketiduran di atas sajadah, sayup-sayup kembali aku mendengar namaku dipanggil Qum! Bangunlah, bangunlah. Bertepatan dengan muadzin melantunkan hayya ‘alasshalah. Aku beranjak mau mengambil air wudhu lagi. Kali ini tidak dengan sekenanya. Aku cari pak tua sudah tidak ada. Mungkin lagi siap-siap di ruang DKM untuk menjadi imam shalat Ashar.

Tapi ternyata ia bukan imamnya. Pak tua berdiri tepat di sampingku, sama-sama menjadi makmum. Setidaknya aku lega ia masih ada di masjid ini. Jadi aku tinggal minta nasihat lagi.

***
“Bersihkan harta benda. Tunaikan hak-hak orang lain.”

Itu nasihat pak tua yang ketiga. Seperti biasa pertama-tama ia menyampaikan dengan nada yang tegas. Tapi kali ini aku tidak bertanya lagi, aku langsung mengangguk. Mengerti arah pembicaraan nasihat itu. Benar sekali aku sudah lama tidak meminta sekretarisku untuk menyiapkan berkas pembayaran zakat penghasilan.
Setelah mengucapkan terima kasih, aku pamit hendak ke masjid berikutnya. Jalanannya cukup macet aku harus bergegas. Tidak lupa ketika diperjalanan aku menelpon sekretarisku untuk secepat mungkin menyiapkan pembayaran zakat penghasilan. Sesuatu yang sangat luput sekali dari perhatianku.

***
Hujan tiba-tiba turun, aku sampai di masjid ke tiga untuk yang ke empat kalinya menjemput nasihat itu. Setengah jam lebih awal dari waktu shalat Maghrib. Niatnya mau mencari makanan kecil untuk buka puasa. Aku benar-benar terkejut ketika hendak membeli air mineral, ternyata yang melayani seseorang yang seharian ini sering sekali aku temui. Pak tua dengan orang dan ciri-ciri yang sama persis. Aku melongo. Sejak kapan ia sudah berada di sini? Bukannya aku yang lebih dulu berangkat dari masjid tadi? Hingga nasihat ke empat itu aku peroleh tanpa meminta.

“Berpuasalah anak muda.”

“I... Insya Allah Pak Haji. Hari ini saya berpuasa.” Kataku terbata-bata masih dengan sisa keterkejutan.

Pak Tua malah tertawa mendengar jawabanku. “Jangan berlindung dengan nama Allah untuk menutupi keburukanmu anak muda. Sejatinya kau tidak sedang berpuasa. Kau hanya menahan lapar dan dahaga.”

Aku mengerutkan dahi. Jelas-jelas hari ini aku puasa. Meski memang tidak sempat sahur. Tapi aku tidak lupa berniat. Aku menggeleng benar-benar tidak mengerti maksud pak tua ini.

“Kau tidak berpuasa dari menahan hawa nafsu. Tidak pandai menahan emosi dan kesombongan diri. Bagaimana pula kau sebut itu berpuasa?”

Pak Tua menutup warungnya dan meninggalkanku yang masih melongo mencoba mencerna kata-katanya. Hingga shalat Maghrib sudah selesai aku masih memikirkan perkataan pak tua itu. Apa benar seharian ini aku hanya menahan lapar dan dahaga? Memang benar aku tadi sempat marah-marah kepada bawahanku. Sempat merasa sombong kalau aku bisa dengan mudah mengatasi itu sendirian jika ada di kantor. Lalu sebenarnya siapa pak tua ini? kenapa seharian ini aku bertemu dengannya? rasa-rasanya aku perlu menemui ustadz Rizal secepatnya. Setelah aku mendapatkan nasihat yang terakhir. Setelah shalat Isya.

Senyumanku berkembang ketika mengetahui Ustadz Rizal lah yang mengimami shalat Isya. Setelah selesai aku buru-buru menghampirinya. Ingin menanyakan banyak hal.

Aku disambut dengan baik. Ternyata Ustadz Rizal memang sengaja menungguku di masjid ini. Katanya ia mengetahui keberadaanku dari sekretarisku setelah menelpon ke kantor. Aku langsung saja menceritakan perjalananku hari ini dari mulai bangun tidur sampai bertemu dengannya. Lengkap dengan nasihat-nasihat yang aku peroleh.

“Sudah tak perlu dicari lagi orangnya sudah pamit pergi. Nasihat yang terakhir biar ana yang menjelaskan.” Katanya ketika mengetahui aku mencari sosok pak tua itu.

Aku ingin sekali menanyakan siapa sebenarnya pak tua itu. Tapi Ustadz Rizal keburu menjelaskan panjang lebar.

“Kalau antum perhatikan lebih dalam sebenarnya nasihat-nasihat yang antum peroleh hari ini tidak lain adalah rukun islam yang lima. Syahadat. Shalat. Zakat. Puasa. Tentu saja antum bisa menyimpulkan sendiri apa nasihat yang kelima itu. Sekarang pertanyaannya adalah, sudah pernah kah antum menyempatkan diri berziarah ke makam Rasulullah? Menunaikan ibadah haji? Bukankah antum mampu menempuh perjalanan itu dari segi biaya?”

Aku menelan ludah. Aku lebih banyak ke tempat-tempat lain untuk perjalanan dinas maupun liburan. Betapa aku tidak pernah merencanakan perjalanan rukun islam yang ke lima itu.

“Kalau menurut ana, sebenarnya masalah antum itu sederhana. Jiwa antum merasa kosong karena antum terlalu sibuk dengan urusan dunia. Sedangkan rohani pun perlu dikasih makan. Perlu diperhatikan. Ana berharap perjalanan antum hari ini dari masjid ke masjid sedikit banyak ada asupan untuk rohani antum. Untuk jiwa antum. Dan mudah-mudahan itu bisa membuat antum jadi lebih tenang.”

Aku masih saja terpaku tidak terlalu memperhatikan penjelasan Ustadz Rizal. Ada sesuatu yang lebih mengusik hatiku. Betapa aku memang merasa sangat jauh dariNya. Merasa miskin keberanian untuk menghadapNya kelak. 

Qum! Bangunlah! Bangunlah!
Perbaharui syahadatmu.....! perbaharui syahadatmu.....! 

Suara itu bersahut-sahutan di pikiranku. Seketika aku ingin bersujud. Menangis sejadi-jadinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)