Februari 05, 2014

CERURY: Lima Nasihat, Lima Waktu Perjalanan [1]



Qum, bangunlah! bangunlah! 

Aku terbangun dengan kepala pusing. Barusan seperti ada yang meneriaki namaku, suaranya lembut tapi tegas. Ternyata hanya mimpi.

Aku melirik jam beker, sudah hampir adzan shubuh. Aku harus bergegas ke masjid. Ini perjalananku yang pertama. Aku harus menepati janji kepada Ustadz Rizal yang memberi nasihat kepadaku kemarin. Terutama janji kepada diriku sendiri.  Ya, meski aku tidak terlalu paham akan maksudnya, tapi aku sudah bulat menyanggupinya tanpa banyak tanya. Baiklah setelah shalat shubuh nanti, aku akan jelaskan lebih lanjut. Tentang alasanku yang tidak seperti biasanya sudah bangun di jam sepagi ini. Dan kenapa harus bergegas ke masjid.
***

Setelah shalat shubuh, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling masjid. Masih ada beberapa jamaah yang beritikaf. Mataku menatap seorang pak tua yang sedang menggilirkan biji tasbihnya di dekat mimbar. Aku harus memastikan dulu apa pak tua itu yang dimaksud oleh Ustadz Rizal kemarin, kalau dari ciri-cirinya memang sudah tepat. Rambutnya sudah hampir putih semua, memakai peci berwarna putih. Berpakaian serba putih. Dengan beberapa helai janggut putih di dagunya. Barangkali memang beliau pak tua yang dimaksud. Seseorang yang akan memberikan nasihat pertamanya kepadaku.

Dengan sikap sesopan mungkin aku menghampiri pak tua. Ragu-ragu menyapanya, takut mengganggu dzikirnya. 

 “Assalamu’alaikum Pak Haji. Maaf mengganggu dzikirnya.”

Pak tua itu hanya menoleh sebentar sambil mengangguk pelan menjawab salamku. Kemudian kembali fokus melantunkan dzikirnya.

“Tolong berikan saya satu nasihat Pak Haji.” Kataku mengutarakan maksudku.

Kembali pak tua menoleh sebentar tanpa bicara apa-apa.

Aku salah tingkah, jelas sekali kalau kehadiranku sudah mengganggunya. Memperbaiki posisi duduk. Tetap menunggu sepotong nasihat itu. Bagaimana pun aku harus mendapatkannya agar bisa meneruskan perjalananku yang kedua. Itu pesan Ustadz Rizal kemarin.

“Perbaharui Syahadatmu!” Ujar pak tua sambil berdiri. Suaranya lembut tapi tegas. Lalu melangkah ke luar masjid.

Kedua alisku menyatu. Perbaharui syahadat? Bukankah aku terlahir sebagai seorang muslim? Bukankah ketika shalat shubuh tadi aku juga membaca syahadat ketika duduk di antara dua sujud? Aku menyusul pak tua itu, langkahnya cepat sekali untuk seorang yang usianya sudah senja.

“Maaf Pak Haji, saya belum terlalu paham.”

“Perbaharui Syahadatmu anak muda. Perbaharui Syahadatmu sebelum azal memenggal lehermu.”

Aku terpaku, merinding mendengarnya. Suara pak tua itu semakin tegas penuh penekanan.

***
Sepanjang perjalanan pulang dari masjid tadi, aku terus-menerus melapadzkan dua kalimah syahadat. Sesekali diselingi oleh artinya. Aku masih tidak paham maksud nasihat pak tua tadi. Tiba-tiba saja aku jadi lebih banyak memikirkan kematian. Bagaimana jika perjalanan ini belum selesai azal lebih dulu datang? Aku merinding.

Hari ini aku sengaja tidak pergi ke kantor, dan meminta sekertarisku untuk mengurus semuanya yang diperlukan di kantor. Baiklah sambil menuju ke masjid berikutnya, perjalananku yang kedua. Dan letak masjidnya sangat jauh, aku akan menceritakan asal-muasal perjalanan ini. Sekaligus menceritakan siapa diriku yang sebenarnya.

Namaku Qum. Aku terlahir dari keluarga yang berkecukupan materi. Perusahaan ayahku banyak memiliki cabang hampir di seluruh kota. Sejak kecil aku sudah dididik dengan baik agar bisa melanjutkan bisnisnya. Dibekali dengan pendidikan yang tinggi dan terbaik. Sayangnya tidak untuk hal yang menyangkut pengamalan agama. Hingga aku berhasil tumbuh sesuai dengan keinginan ayahku. Kini aku yang memegang kendali perusahaan-perusahaan itu. Dan berkat usahaku bisnis keluarga ini semakin berkembang.

Tapi akhir-akhir ini aku merasa belumlah mendapatkan apa-apa. Banyaknya harta ini membuatku merasa miskin, bukan miskin materi tapi sesuatu yang lain. Yang aku tidak mengerti apa sesuatu itu. Jiwaku seperti kosong, selalu gelisah. Hal itu membuatku tidak bisa tidur setiap malam. Hingga tidak sengaja aku bertemu dengan Ustadz Rizal ketika ia mengisi kutbah jumat di masjid dekat kantorku. Sebenarnya ia adalah kawan lamaku ketika masa kuliah dulu. Aku utarakan masalahku ini kepadanya.

“Maaf nih sebelumnya, Antum kapan terakhir bangun shalat Shubuh?” ustadz Rizal bertanya degan tidak bermaksud menyinggung.

“Saya sudah lupa Ustadz. Saya selalu kesiangan karena pulang dari kantor larut terus.” Jujur memang begitu adanya. Untuk urusan shalat jangankan Shubuh, empat waktu yang lain saja kadang selalu dikerjakan hampir diakhir waktu karena kesibukan.

“Begini saja, kapan antum ada waktu sehari penuh kosong? Nah kalau ada coba antum sekali-kali sehari itu usahakan shalat di masjid tepat waktu. Kalau perlu bergerilya dari waktu ke waktu shalat berikutnya, ke masjid-masjid yang lain. Biar suasana masjidnya dapat. Insya Allah jiwa antum akan lebih tenang. Dan kalau bisa di hari itu antum puasa sunah.” Tutur Ustadz Rizal memberi solusi.

Aku pun langsung membatalkan semua meetingku esok harinya. Mencoba saran dari kawan lamaku itu. Sebelum pamit, ustadz Rizal sempat berpesan untuk menemui seseorang yang berciri-ciri yang sudah aku sebutkan tadi.

“Pintalah satu nasihat kepadanya." 

Aku mengangguk dengan semua usulan itu. Seperti itulah asal-muasal perjalananku hari ini. 


Bersambung ke post berikutnya....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)