April 20, 2013

Muara (Tak) Berujung

Membicarakan orang dalam satu paket, yakni sahabat dan.... Apa kamu tahu satu paket itu apa? Setidaknya ini kognitif yang aku bangun untuk mendeskripsikan kamu yang tak semu. Meski terpisah jarak. Dia tak hanya membawa tawa ke dalam harimu. Tapi juga datang bersama rindu, rindu yang kadang kamu tak pernah tahu. Entah itu rindu ingin bertemu, sekedar ingin menyapa atau yang lainnya. Ada hati yang tanpa sadar menerimanya. Membukakan jalan untuknya, masuk. Bersama rindu yang mulai bersemayam.

Bukan hanya bahagia yang kamu bawa (sekarang), tapi juga bersama kata yang terpatri tanpa janji. Ia tulus tanpa berkeinginan untuk mengakhiri. SAHABAT, ya kita saat ini menyebutnya sahabat, apa itu juga akan berlaku nanti? Jika suatu waktu beralih ingin menjadi lebih. Apa itu mungkin?
"Kenapa kita bisa kenal?" ragu-ragu aku bertanya kepadamu.

"Sederhana!" imbuhmu singkat dalam pesan itu.

Sejenak aku larut dalam perkataanmu yang singkat itu. Membuat aku berpikir, siapa sosok kamu itu? Kita bercanda, lalu diam. Hening. Aku merasakan kehilangan dalam jeda itu. Secepat itukah tawa itu berlalu? 

Lalu aku kembali menganggumu dengan tanya, hampir setiap waktu. Tak peduli itu akan mengusikmu, yang aku tahu aku hanya ingin begitu.

Maaf jika kamu tidak menyukai sikapku ini. Yang katamu aku ini aneh. Belum sampai seminggu kenal kamu, tapi aku sudah merasa nyaman berbagi cerita denganmu. Mungkin ini maksud artian "Sederhana" darimu. Dan kini aku mulai memahaminya. Lebih tepatnya menikmati. Maaf jika aku salah arti. Itu yang kurasa setidaknya saat ini.

"Ada rasa takut tentunya yang juga menghantui, terlebih jika kita (nanti) terjebak pada suatu muara yang tak berujung." Ujarmu singkat, padat dan jelas di pesan yang kamu kirimkan itu.

Lengang sejenak. Lalu dengan candaan, aku menyambung ucapanmu itu, "Gak mungkin, kita kan jauh."

Lengang lagi. Aku menghela napas, seketika aku juga mulai merasakan ketakutan itu. Tentang kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi nanti.

"Katanya nyaman itu sederhana!" sergahmu.  "Jauh? Itu lebih menakutkan lagi."

"Kenapa?" cepat-cepat aku memotong.

"Suatu saat kamu akan mengerti, bahwa kehilangan itu nyata. Dan yang nyata itu akan hilang. Kehilangan itu nggak akan pernah tahu kapan datangnya. Bagaimana kalau saat itu sudah dibumbui dengan rasa?"

"Jangan bicara tentang kehilangan!" sergahku cepat.

"Suatu saat kamu akan tahu dan berada pada suatu waktu tanpa sadar tahu-tahu sudah kehilangan."

"Sahabat itu nggak akan hilang." Nada bicaraku sudah berbeda. Ada intonasi untuk menguatkan hati sendiri. Dan tidak tahu mengapa, membaca pesan singkat itu ada perasaan yang benar-benar aku takuti, karenamu.

"Ok! tetap pada zona sahabat ya. Nggak boleh lebih!" katamu. 

Aku tersenyum membaca itu. "Tapi, kalau nanti........." aku tercekat tak ingin melanjuti.

"Apa?" sambungmu singkat.

"Nggak,.. nggak apa-apa!" upayaku untuk mengalihkan pembicaraan.

"Kalau ada apa-apa bicarakan dari sekarang, biar dicari solusi. Agar nanti kita nggak menyesalinya." kamu melanjuti.

"Seperti yang kamu bilang di awal. Terjebak dalam muara yang tak berujung." lanjutku, sambil menelan ludah.

"Jujur hati! itu lebih bijak. Nggak ada yang tahu kapan rasa itu singgah dan kapan pergi. Iya kan?" ucapmu.

"Iya, tapi aku takut jika suatu saat aku yang merasakannya lebih dulu."

"Nggak apa-apa, seperti yang kamu bilang rasa itu anugerah. Jadi nggak akan ada yang salah. Mungkin saja, kitalah yang kurang belajar memahaminya. Dan mudah-mudahan jika itu memang terjadi, nggak ada hati yang akan tersakiti." Kamu memberi jawaban yang menenangkan hati.

"Begitu cepat kita membicarakan hal ini". Lanjutku tersadar.

"Harus, belajar mendewasakan perasaan," katamu menutup perbincangan waktu itu.

Entah dari mana ini bermula. Kita belum pernah bertemu. Lebih tepatnya genap seminggu obrolan ini. Obrolan yang hanya sebatas dinding maya. Yang tak pernah bersuara, tapi iramanya seolah dekat. Dan ada rasa nyaman yang ku dapat ketika aku berbagi denganmu.

Nyaman, itu sudah cukup untuk mewakili itu semua. Maaf jika aku selalu hadir dalam waktu yang tidak kamu inginkan. Soal muara yang tak berujung. Hmm.... Kita lihat nanti.

postingan sebelumnya {SISI LAIN} : Perihal label Lakaran Minda [2] 

20 komentar:

  1. sesungguhnya sahabat itu adalah yang selalu hadir berbagi rasa dalam suka maupun duka, dan merasa nyaman saat bersama sahabat adalah sebuah langkah awal dalam perjalanan panjang yang seakan tak berujung...salam :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. mantap komentarnya..ikut nyimak ajalah..

      Hapus
    2. mas hari memang selalu sukses membuat sebuah kesimpulan..

      Hapus
  2. sahabatnya mau dijadikan kekasihnya ya mas....?

    BalasHapus
    Balasan
    1. ndak, ceritanya ini justru berharap nggak akan seperti itu.

      Hapus
  3. bermula dari seorang sahabat,sahabat menjadi kekasih sudah banyak terjadi,itu memang nggak apa-apa ya mas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ndak tau juga ya mas.. lagi-lagi ini soal pilihan.

      Hapus
  4. Assalamualaikum, salam dr malaysia

    sahabat ini tidak menenal erti rupa atau perbedaan bahasa, sesuatu perasaan akan hadir dari hati, jika benar kata hati maka benarlah....lagipun sahabat akan bersama dalam suka dan duka kan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wa'alaikum salam... salam dari indonesia mbak.

      Terima kasih sudah berkunjung silaturrahim ya..

      Hapus
  5. muara pasti ada ujung'a, entah itu bahagia atau sengsara, tp itulah muara, lebih banyak mengambang bekas sisa makan daun bawang, hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tapi lain hal dengan muara rasa, tak bertepi dan merasa cukup di satu titik saja biasanya,,,

      Hapus
  6. Rasa yang terpisah jarak, & pastinya belum pernah ketemu. rasa dari hati.

    BalasHapus
  7. let it flow..

    kalau suatu hari ternyata jadi, why not?
    :))

    Cerpennya segar banget
    enak dibaca ^^

    BalasHapus
  8. ah, kau juga suka dengan mereka yang mencintai kesederhanaan ya uzay?

    saya suka membaca mereka yang hatinya penuh dengan kesederhaaan.

    BalasHapus
  9. ceritanya sama kyk aku skrg bang :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masa? waaaaah, coba dituliskan kalau gitu :)

      Hapus
    2. iya,hanya saja aku dan dia terjarak oleh tembok yang sangat besar. saling menyayangi tapi hanya mampu berbicara dalam hati :)

      Hapus

Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)