Maret 04, 2016

PERHITUNGAN YANG AKURAT

Lepas shalat jum'at aku enggan sekali rasanya kembali ke kantor tempatku bekerja. Yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Masjid Raya ini. Aku ingin mencari udara segar sejenak untuk mencairkan ruwetnya pikiran, sebentar saja. Toh jatah istirahat pada hari jum'at memang lebih panjang. Aku duduk-duduk di dekat sepatu agar rasa malas tidak berkepanjangan, alih-alih malah terlalu nyaman tidur-tiduran di masjid.

"Semir sepatu nak?" tiba-tiba pak tua menghampiriku. Mengusik lamunan.

"Boleh pak." Aku menerima tawaran jasa itu. Menyodorkan sepatuku setelah mengeluarkan kaos kakinya.

Ia menerimanya dengan sumringah dan mulai mengerjakannya. Kembali aku larut dalam lamunan.

"Bolehlah beri pak tua ini sedikit nasihat anak muda." Ujar pak tua tanpa menghentikan pekerjaanya.
Lagi-lagi aku terkejut. Seharusnya aku yang sedang butuh banyak nasihat bijak dari orang-orang seperti pak tua. Yang sudah banyak memakan asam garam kehidupan.

"Nasihat apa pak?" aku menanggapi menghargai permintaan yang tak terduga itu.

"Apa saja. Anak muda sudah sepantasnya banyak memiliki nasihat."

"Kenapa begitu pak? Bukannya seharusnya itu datang dari orang tua.  Seperti bapak yang lebih banyak pengalaman hidup." 

Ia menggeleng sambil tertawa. "Seharusnya anak muda sepertimu yang lebih jernih untuk memberikan nasihat. Tentang optimisnya kerja keras. Semangat juang, misalnya. Sedangkan orang tua sepertiku tinggal bongkoknya saja. Tidak perlu lagi memberikanmu nasihat apa-apa."

"Kok begitu pak?" aku benar-benar memicingkan mata tidak mengerti.

"Ya kalian tinggal melihat keadaan kami toh. Bagaimana usia sudah menggerogoti daya tahan tubuh ini. Renta bersama waktu. Kerutan wajah tidak lagi sedap dipandang seperti kala muda dulu. Cukup memperhatikan hal itu saja kau sudah mendapatkan banyak nasihat dari orang tua seperti kami. Tidak perlu lagi ada kata-kata. Mudah saja."

"Sedangkan dari anak muda seusiamu nasihat itu justru akan lebih banyak. Orang tua mah tinggal pikunnya saja." Ujar pak tua menyelesaikan pekerjaannya. "Jadi apa nasihat untuk orang tua ini?"

Aku masih sibuk mencerna kata-katanya tadi. Benar-benar tidak kepikiran nasihat apa yang aku punya. Bingung harus berkata apa.

"Mohon maaf pak, aku bingung mau kasih nasihat apa." aku menelan ludah. Merasa tidak enak kalau sampai mengecewakannya. "Cuma kalau mengutip dari perkataan khatib tadi, beliau mengingatkan untuk tidak perlu ragu berbuat kebaikan."

"Ya.. Ya.. Itu benar-benar nasihat yang sangat berharga. Terima kasih anak muda. Ini sepatunya sudah selesai."

"Aku yang seharusnya berterima kasih. Jadi berapa pak?" terima kasih untuk obrolan menariknya tadi.

"Sepuluh ribu saja." Pak tua merapikan semir sepatunya.

Aku menyodorkan uang lima puluh ribuan.

"Wah uangnya besar sekali. Tidak ada kembaliannya."

"Udah pak tidak apa-apa. Tidak perlu dikembalikan." kataku sambil memakai sepatu. Aku memang sedang ingin menderma lebih.

"Tidak sesederhana itu anak muda. Kewajibanmu hanya sepuluh ribu sebanding dengan hak yang seharusnya aku terima juga. Ini mah lebihnya banyak."

"Tidak apa-apa, saya ikhlas pak. Berarti sisanya memang sudah jadi hak bapak."

"Sudah dibilang tidak sesederhana itu anak muda." pak tua memegang pundakku yang sudah hendak bangun. "Jangan ke mana-mana dulu."

Pak tua mencegahku, pandangannya menyapu segala arah mencari sesuatu.

"Nah, woooy uduk." pak tua memanggil tukang makanan yang sedang berkeliling menawarkan dagangannya di sekitar masjid.

"Kau beli nasi uduk saja. Kalau kau hendak membelikanku juga itu lain soal. Aku pun tidak ingin menghalangi kau beramal. Kebetulan aku juga sudah lapar."

Aku mengangguk saja. Setuju.

"Nasi uduknya dua bungkus mang."

Pedagang nasi uduk melayani dengan baik. Aku memberikan satu bungkus kepada pak tua itu.

"Alhamdulillah, rezeki hari ini." Ia menerima dengan sumringah. Aku pun tersenyum mulai membuka bungkusan. "Kau juga makanlah bareng-bareng kami biar tambah seru." ujar pak tua kepada pedagang uduk itu.

"Eh maksud pak tua apa toh?" Pedangan nasi uduk tidak mengerti. Ia masih menunggu bayarannya.

"Ya kau juga makan uduk bareng kita. Masa kita cuma makan berdua saja. Masih banyak toh uduknya? Tenang anak muda ini yang bayar makananmu."

Aku mengangguk meyakinkan pedagang uduk itu. Meskipun ia masih tidak mengerti pedagang uduk itu pun ikut duduk menikmati uduk buatannya sendiri.

Nikmat sekali rasanya uduk ini. Setelah selesai. Pak tua menyodorkan uang lima puluhan tadi.

"Nih uangnya. Jangan lupa kau hitung juga nasi uduk yang kau makan tadi."

Pedagang nasi uduk itu mengangguk. Memberikan sisa kembalian. Masih ada sisa lima belas ribu.

"Nah kalau begini kan perhitungannya jelas. Aku ambil yang menjadi hakku sepuluh ribu. Ini aku kembalikan sisanya lima ribu. Kau masukkan sajalah ke kotak masjid." kata pak tua yang melihatku enggan menerimanya.

Aku mengangguk saja menghargainya.

"Manusia itu harus pandai menghitung yang menjadi hak dan kewajibannya di dunia. Kalau perhitungan di dunianya saja sudah lalai, bagaimana nasibnya nanti di akhirat yang perhitungannya sangat akurat?" pak tua berujar sebelum pamit kepadaku. Menyisakan aku yang tertegun lama memikirkan kata-katanya. Sampai lupa mengucapkan terima kasih atas pengalaman berharga siang ini kepadanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)