Maret 30, 2016

RINTIK 17 - HARI DENGAN LEBIH BANYAK DOA



Hei gadis yang lahir saat musim hujan. Desember. Apakabar hatimu hari ini? Masihkah membuncah harapan-harapan baik itu? Lalu kejutan apa yang kamu paling tunggu untuk menggenapkan kegembiraanmu?

Hari ini jika kamu mampu memandang seluruh wajah semesta. Niscaya wajah itu terlihat begitu cerah. Terpancar jelas rona bahagia di sana. Tercermin dari wajahnya yang penuh rasa syukur. Kedua bola matanya berbinar bercahaya. Lesung pipitnya terlihat sempurna bersamaan dengan lingkar senyum yang merekah penuh.
            Itu gambaran dari wajah semesta yang aku perhatikan hari ini. Cukup lama aku terpesona memandangnya. Langit biru sejauh mata memandang membuat aku terus bertasbih atas kebesaran-Nya. Dan sejujurnya aku tidak bisa lama-lama memandang rona wajahmu saat ini. Aku tidak ingin terlihat kaku karena terpaku tertawan.
            Hari ini hari yang teramat bersejarah dari kelahiranmu. Hari dengan lebih banyak doa-doa baik yang dipanjatkan. Hari dengan lebih banyak derma syukur diungkapkan.
            Jujur saja aku ingin sekali berada di dalamnya. Ikut merayakan dan merasakan buncah bahagianya. Tapi aku tidak tahu caranya. Alih-alih takut merusak suasana. Tidak ada setangkai bunga mawar. Tidak ada nasi tumpeng yang menggunung. Aku memilih cara paling aman. Diam-diam akan selalu ikut mendoakan.
            “Menurutmu apa hal terbaik yang dilakukan ketika sedang diingatkan tentang hari kelahiran?”
            “Bersyukur dan muhasabah diri.” Katamu. Sembali menuliskan sesuatu di secarik kertas. Entah apa.
            “Itu pasti. Secara alamiah dua hal itu yang biasanya akan kita lakukan pertama kali. Kalau untuk orang lain di luar dirimu sendiri?“
Sejenak kamu menoleh. Mungkin merasa terganggu karena aku tanya-tanya.
“Berterima kasih dan balik mendoakan mereka.”
“Ooh ok!” aku bergumam pendek.
“Kenapa gitu?” kamu meletakkan pulpen di atas meja. Mulai tertarik dengan percakapan kita.
 “Hanya tiba-tiba terpikir. Sepertinya sekali-kali juga perlu dibalik deh.” Aku menyeruput lemon tea yang kamu buatkan tadi.
“Maksudnya?” Kali ini kamu antusias bertanya.
“Bersyukur atas hadirnya orang-orang yang peduli dan sayang di sekitar kita. Muhasabah diri, sudah sejauh mana upaya kita membahagiakan mereka. Dan sekali-kali kita juga perlu berterima kasih kepada diri sendiri.”
“Ok! Untuk hal yang pertama sependapat. Untuk yang kedua masih tidak ngerti.” Tanganmu mulai sibuk membentuk origami hati.
“Banyak alasan untuk berterima kasih pada diri sendiri. Sebab, siapa lagi coba yang setiap detiknya berusaha menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Selain diri sendiri. Siapa lagi yang setiap hari masih mau bersemangat. Berusaha tetap senyum ketika sedang jenuh. Berusaha tetap berdiri tegak ketika sedang lelah. Selain diri sendiri. Siapa lagi yang mau mengerti seberapa keras kepalanya kita ini. Setiap hari mengikuti ego kita. Siapa lagi juga yang tahu sebenarnya kita sedang menyimpan sedih, gundah, mencemaskan banyak hal. Selain diri kita sendiri.”
“Hah…. Kamu benar. Kenapa baru kepikiran sekarang ya.”
“Sekarang cari cermin sana. Senyum sambil mengucap terima kasih sedalam-dalamnya kepada yang nampak di dalam cermin itu. Terus bilang deh, terima kasih banyak, sudah seusia ini masih mau jadi diri sendiri.” Aku menghela napas sejenak. “Semoga yang sederhana itu bisa menggenapi hari bahagiamu. Selamat hari lahir ya.”
“Huuuuu….. telat. Udah jam berapa ini baru ngucapin.” Kamu pura-pura cemberut. Sambil beranjak bangun. Sebelum pergi melangkah, kamu menyodorkan origami hati yang kamu buat tadi.
“Ini apa?” tanyaku tidak mengerti.
“Baca aja.” Katamu sambil berlalu.
Buru-buru aku membuka lipatan origami itu. Ah kamu selalu pandai membuat origami dalam berbagai bentuk. Lipatannya rapi sekali.
Ada sederet kata-kata tertulis di dalam kertas itu. Kalimat sederhana yang membuatku kehabisan kata-kata.
TERIMA KASIH.
Untuk sejauh ini Sudah mau menjadi bagian dari hari-hari bahagiaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)