Maret 19, 2016

RINTIK 7 - MANGATA

Sepasang manusia tidak saling kenal, duduk berdekatan di lokasi yang sama. Bertelanjang kaki di atas pasir basah tepian pantai. Memandang lautan berjam-jam tanpa tujuan. Tidak ambil pusing dengan keramaian di sekelilingnya.

Sedangkan sekelompok orang-orang mulai membentuk lingkaran menghadap api unggun. Sambil bernyanyi-nyanyi riang. Diiringi petikan gitar dan tabuhan galon. Sepasang manusia tidak saling kenal ini menoleh pun tidak. Bergeming. Tidak peduli. Pikiran mereka terlanjur ramai oleh sesuatu yang lain.

“Hah.” Perempuan itu melepaskan napas perlahan. Wajahnya kusut masai. Ada sisa-sisa air mata di sana. Sedangkan hatinya masih tetap menangis. Belum selesai merayakan kehilangan.
             Laki-laki itu menoleh ke arah perempuan asing itu. Baru tersadar ada orang lain berada tidak jauh dari tempat duduknya. Tempatnya berjam-jam cemas menanti harapan.
            “Hai.” Sapa laki-laki itu basa-basi. Lalu memperbaiki posisi duduknya yang sudah mulai terasa pegal.
            “Oh… ya.” Jawab perempuan itu sekenanya. Hanya untuk menghargai laki-laki asing yang sudah peduli menyapa kesendiriannya.
            “Sering ke pantai ini?”
            “Ini yang pertama.” Dan terakhir. Sambil merapikan ujung rambutnya yang menyentuh mata.
            “Oh….” Laki-laki itu kembali menatap lautan. Deburan ombak memecah karang. Udara pantai semakin menggigilkan badan.
            “Kamu?”
            “Ya?” laki-laki asing itu mengerutkan dahi. “Oh…. Baru juga.” Cukup malam ini saja.
Hening sejenak. Kembali sibuk dengan pikirannya masing-masing. Sekelompok orang-orang yang bernyanyi-nyanyi itu bertambah riang dengan banyaknya orang yang ikut bergabung.
            “Kenapa suka memandang lautan?” tanya laki-laki asing itu tanpa menoleh. Iseng melempar jauh batu karang yang terbawa ombak.
            “Tepatnya suka melototinya marah.” Perempuan asing itu menusuk-nusuk pasir dengan ranting pohon. Menyalurkan kekesalannya.
            “Boleh tahu kenapa?”
            “Karena punggungnya semakin menjauh. Dan aku tidak ada keberanian untuk mengejarnya.” Perempuan asing itu mengeluh. “Makanya aku ingin sekali marah. Marah pada diriku sendiri. Karena meskipun aku ingin sekali menggapainya. Tapi justru aku diam saja. Seolah membiarkannya semakin tidak terlihat oleh pandangan mata.”
            “Kenapa nggak coba dikejar?”
            “Apa masih ada gunanya mengejar-ngejar sesuatu yang sudah memutuskan sendiri untuk pergi?”
            “Mungkin ada.”
            “Apa?”
            “Setidaknya dia tahu masih ada yang mengharapkannya.”
            “Untuk apa?”
            Laki-laki asing itu mengendikkan bahu. Tidak yakin.
            “Kenapa suka memandang lautan?” perempuan asing itu balik bertanya.
            “Untuk memastikan ada yang akan kembali. Seseorang yang sedang mendayung perahu kecilnya menuju ke sini.” Laki-laki asing itu memungut rumput laut yang terbawa ombak.
            “Harapan?”
            “Ya. Meskipun aku juga nggak yakin dia akan pulang.”
            “Kenapa nggak coba dijemput saja?”
            “Apa masih ada gunanya, menjemput sesuatu yang sudah nggak ingin kembali?”
            Perempuan asing itu ingin berkata. Tapi ia tidak yakin dengan jawabannya.
            Lautan terlihat sudah cukup tenang dengan kesunyiannya. Kerumuman orang-orang yang bernyanyi-nyanyi tadi sudah mulai berkurang. Hanya tinggal beberapa orang yang masih duduk menghangatkan diri di sisa-sisa bakaran kayu. Sedangkan dua manusia asing yang tidak saling kenal itu, kembali sibuk dengan pikirannya masing-masing. Entah sampai kapan mereka akan duduk termangu memandang lautan.
“Lihat.” Laki-laki asing itu tiba-tiba menunjuk ke arah air laut. Ada bayangan yang nampak indah di sana membentuk seperti jalan.
“Mangata.” Perempuan asing itu tidak kalah antusias. Wajahnya tersenyum lebih ceria saat melihat bulan bersinar terang di atas bayangan itu. “Indahnya.” Lenyap sudah kesedihannnya.
“Harapan akan selalu ada.” Laki-laki asing itu bergumam. Perempuan asing itu ikut mengaminkan.
“Oh iya. Kita belum saling kenal.”
“Aku lebih suka seperti ini.”
“Maksudmu?”
“Aku memutuskan tidak akan lagi memandang lautan berjam-jam. Pantai ini pertama dan terakhir. Perkenalan kita cukup dengan percakapan saja. Tanpa perlu menyebut nama. Terkadang dengan mengenal nama seseorang, itu akan meninggalkan jejak untuk banyak hal. Salah satunya ingatan.”
“Dan kenangan. Baiklah, tanpa nama akan lebih mudah melupakan.” Laki-laki asing itu beringsut bangun. “Terima kasih untuk percakapan kita malam ini. Gabung sama mereka yuk?” laki-laki asing itu menunjuk arah segelintir orang  yang bernyanyi riang tadi.
“Aku masing ingin di sini. Sebentar lagi.”
“Baiklah. Aku duluan ya.” Laki-laki asing itu melempar senyum.
Dibalas dengan anggukan pelan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)