Maret 03, 2016

KISAH SEBATANG PENA & SECARIK KERTAS

Ini kisah sebatang pena yang mengutarakan perasaannya lewat kata-kata. Di secarik kertas yang tidak pernah dibaca oleh seseorang yang spesial di hatinya. Tentang kisah secarik kertas yang diam-diam bahagia selalu dibubuhi kata-kata oleh sang pena. Meskipun ia tahu perasaan yang tertulis di sana, sama sekali bukan untuknya.

Begitulah kisah ini dimulai, dilatarbelakangi oleh kebiasaan yang terbentuk nyaman. Hampir setiap ada kesempatan untuk menyapa, sang pena selalu merasa perlu berterus terang tentang perasaannya. Tentang seseorang yang belakangan ini membuat hatinya berbunga-bunga. Membuat pikirannya penuh oleh angan-angan cinta. Sang pena langsung saja menumpahkan semuanya itu kepada sang kertas. Tanpa perlu bertanya lebih dulu sang kertas siap menerimanya atau tidak. Karena ia tahu sang kertas selalu bersedia mendengar celotehan rasanya itu, meskipun selalu membahas hal-hal yang itu-itu saja.

Sebenarnya sang pena hanya sibuk berasumsi tentang perasaannya. Menerka-nerka perasaan yang sedang berkunjung ke dalam hatinya. Dari seseorang yang belakangan ini menarik perhatiannya. Atau  akhir-akhir ini seperti sengaja menampakkan diri, bermain-main di zona rasa nyamannya. Ia sama sekali tidak ada keberanian untuk menanyakan kepastian. Atau sekedar memberitahukan perasaannya itu.

“Ah itu mah perasaanmu saja.” Sang Kertas berkomentar basa-basi.

“Aku takutnya begitu. Tapi aku terlanjur nyaman dengan perasaan seperti ini. Tapi aku takut juga kalau ternyata....... Ah sudahlah aku hanya ingin menikmatinya.” Sang Pena terus berceloteh, mengagung-agungkan perasaannya. “Biarkan aku sekedar menikmatinya.”

“Asal jangan berlebihan.... kau tentu sudah lebih berpengalaman. Aku hanya mengingatkan.” Sang Kertas bersimpati. Ini bukan pertama kalinya Sang Pena bertingkah seperti ini. Dulu pun demikian dengan akhir kisah yang sangat memilukan. Bertahun-tahun harus berjuang melupakan.

“Iya aku tahu. Tapi.... rasanya yang kali ini berbeda. Meskipun aku juga tidak ingin kembali terkurung di labirin rasa yang sama seperti dulu. Tapi bagaimana ya.... aaaaaaaaaa...... sungguh biarkan aku sekedar menikmatinya.”

“Semua orang punya kecenderungan membuat luka. Terlalu beresiko. Aku hanya ingin kamu lebih tahu diri. Dan tidak memaksakan keberuntungan.”

“Tentu.... aku tahu.... sungguh aku tahu....”

“Sebegitu menyilaukannya kah dia di matamu? Hati-hati yang terlalu terang cenderung bisa membutakan.”

“Dia memang terlalu sempurna untuk bisa dilewatkan begitu saja. Aaaaaaaa.... Ini memang sudah keterlaluan pesoananya.”

“Itu hanya perasaanmu.”


 Ini kisah sebatang pena yang mengutarakan perasaannya lewat kata-kata. Di secarik kertas yang tidak pernah dibaca oleh seseorang yang spesial di hatinya. Tentang kisah secarik kertas yang diam-diam bahagia selalu dibubuhi kata-kata oleh sang pena. Meskipun ia tahu perasaan yang tertulis di sana, sama sekali bukan untuknya.


Begitulah kisah ini dimulai, kebiasaan itu pun ternyata mulai berefek untuk Sang Kertas. Ia ikut berasumsi tentang perasaan. Menerka-nerka bagaimana jika dirinya yang ditakdirkan menjadi seseorang yang spesial di hati Sang Pena. Bagaimana perasaannya menerima pengakuan sebesar itu? Yang setiap hari selalu menjadi topik yang dibicarakan oleh Sang Pena. Ah mungkin akan sangat bahagia mendapat pengakuan rasa sebesar itu.Atau jangan-jangan hal yang demikian justru malah membakar hangus dirinya. Yang bukanlah siapa-siapa. Hanyalah secarik kertas yang kebetulan dipilih oleh Sang Pena untuk tempat mengutarakan perasaannya. Rahasia hati yang sama sekali bukan untuknya.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)