Maret 04, 2016

KISAH CACING TANAH & ULAT HIJAU : BAGIAN MAKANAN MASING-MASING

Seekor ulat baru saja terjun bebas dari sebuah ranting pohon. Hembusan angin pagi itu memang cukup kencang. Daun yang sedang ia nikmati tiba-tiba terlepas dari tangkainya. Padahal baru beberapa suap saja.

"Yahooooy...." Meskipun demikian ulat itu terlihat sangat menikmatinya. Berpegangan pada urat-urat daun, tubuhnya ikut melayang-layang di udara hingga mendarat di permukaan tanah.

"Aww......" Tiba-tiba saja terdengar suara hewan lain yang merintih kesakitan. Rupanya daun itu beserta seekor ulat hijau mendarat mulus di atas tubuh seekor cacing tanah. Yan kebetulan sedang menyembul ke permukaan tanah.

"Ups! Sorry... Sorry....." Ulat hijau turun dari daun itu, tahu diri meminta maaf meskipun sebenarnya itu bukan murni kesalahan dia. Hembusan angin yang mempunyai andil lebih besar untuk bertanggung jawab. 

Cacing tanah masih terlihat tidak senang.

"Gara-gara ulah kelompokmu itu, kami cacing tanah kekurangan stok makanan." Cacing tanah berseru protes. Sudah sejak lama ada yang mengganjal di dalam pikirannya.

"Lho kok begitu?" Ulat hijau heran, kenapa tiba-tiba ia menjadi sasaran kemarahan hewan lain.

"Iyalah. Kau kan yang setiap hari menggerogoti daun-daun muda pohon ini. Hingga tidak pernah sampai tua. Bangsa kami, cacing tanah sepanjang musim ini sudah jarang sekali melihat daun-daun kering berguguran. Sehingga harus mencari makanan alternatif lain. Padahal setiap hari bangsa kami yang menggemburkan tanah untuk keberlangsungan hidup pohon tua ini."

"Ya ampuuuun.... tentang itu toh rupanya." Ulat hijau menggeleng-gelengkan kepala. "Memangnya kau pikir perutku menampung daun sebanyak itu. Kelompok kami makan daun secukupnya sajalah, hanya sampai sebatas kenyang. Seharusnya kau sudah lebih tahu, pohon ini memang sudah terlalu tua. Tinggal tunggu keringnya saja. Daun-daun hijaunya pun sudah tinggal sedikit. Hanya tinggal di ranting-ranting muda saja."

"Ah itu hanya alasan kau saja." Cacing tanah masih tidak terima meskipun ia akui perkataan ulat itu ada benarnya. Pohon ini memang sudah tua, ia memang lebih tahu itu karena bisa melihat langsung bagaimana akar-akar pohon ini di dalam tanah sudah mulai membusuk. Entah kenapa hatinya hari ini memang sedang kesal sekali. 

"Sudahlah kawan, janganlah kita bertengkar hanya karena hal kecil. Toh rezeki kita sudah ada yang mengaturnya. Sudah ada bagian-bagiannya. Maafkan kelompokku kalau memang ternyata pernah menyusahkan bangsa kalian. Sungguh kami tidak ada maksud seperti itu." Ulat hijau berseru. "Oh iya mungkin ini sekalian saja aku pamit. Sebentar lagi masaku sebagai ulat akan segera berakhir, aku sudah harus berproses menjadi kepompong. Senang bertemu kau hari ini. Maafkan soal yang tadi." Ulat hijau pamit.

Cacing tanah hanya tertegun di tempatnya berdiri. 
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jejakmu akan sangat berarti dan tak akan pernah sia-sia :)